Bab 3

Sudah dua minggu berlalu sejak pembicaraan terakhir mereka. Pram masih pulang ke rumah saat malam hari dan akan berangkat saat pagi menjelang, membuat intensitas pertemuan dan komunikasi mereka semakin jarang.

Siang itu jam makan siang, Citra menjemput Kinar dan membawanya makan siang di restoran yang berada di mall. Ia bermaksud membicarakan rencana perpisahan  mereka dengan Kinar. Saat menunggu Kinar  yang masih berjalan bersama teman akrabnya tiba-tiba tepukan lembut mendarat di bahu Citra.

“Eh, Cicit… udah lama nggak ketemu...”

“Curut….” Citra terlonjak melihat Cucu Anggita teman akrabnya saat SMA. “Subhanallah, makin seksi aja kamu…”

Mereka berdua berpelukan karena sudah tidak berjumpa selama 17 tahun.   Keduanya adalah sahabat dekat tanpa rahasia, sehingga punya panggilan kesayangan masing-masing. Komunikasi mereka terputus semenjak Cucu mengikuti orang tuanya yang ASN pindah tugas ke Sumatera.

“Bagaimana kabarmu?” Cucu menghenyakkan tubuhnya di samping Citra.

“Aku baik-baik saja.” Citra tersenyum menanggapi tingkah kawannya yang tidak berubah tetap tomboy dan rambutnya di cat pirang. “Anakmu sudah berapa?”

“Tawarin minum dulu, kek. Aku kehausan ini.”  ujar Cucu sambil memainkan rambut pirangnya. “Eh, apa kamu masih bersama  si ganteng sepupu sultan itu?”

Citra tak dapat menahan senyumnya, “Yah, dia udah memberiku buntut 2 orang.”

“Mantap, cuy.” Cucu mengacungkan dua jempolnya turut berbahagia, langsung meneguk lemon tea milik Citra yang masih utuh.

Pandangan mata Citra melongo melihat 2 orang memasuki restoran di mana ia berada saat ini, dengan tertawa riang seolah dunia milik mereka berdua sambil bergandengan tangan. Di tangan perempuan nampak beberapa paper bag, Pram juga membawa dua paper bag di tangan kanannya namun keduanya tidak menyadari kehadiran mereka.

“Papa ada hubungan apa dengan perempuan ini?” Kinar tiba-tiba sudah berada di depan Pram dan Widya sekretarisnya. “Papa nggak malu jadi jongosnya dengan membelanjakan dan membawakan belanjaan perempuan ini?” teriakan Kinar memancing semua mata yang ada di dalam restoran itu.

Pram terperangah, ia tidak menyangka akan ketemu putrinya saat akan makan siang bersama sekretaris kesayangannya itu, tapi Widya tak peduli ia malah memeluk pinggang Pram dengan mesra.

Cucu dan Citra terkejut melihat kejadian di hadapan mereka. “Maafkan aku, Cu. Rumah tangga kami sedang tidak baik-baik saja. Ini nomor telponku. Nanti hubungi aku…” Citra beranjak mendekati putrinya.

“Kinar nggak akan pernah memaafkan papa… “ Ia berlari dengan penuh luka.

Pram terkejut mendengar ucapan Kinar, dan tatapannya bertemu dengan Citra yang langsung membuang muka penuh kemarahan, dan berlalu berusaha menyusul Kinar yang tak kelihatan jejaknya.

Cucu berjalan menghampiri keduanya, “Wah, kelihatan seru ini. Apa kabar  mas Pram…”

Pram mengalihkan tatapannya pada Cucu dan berusaha mengingatnya. Ia melepaskan tangan Widya yang masih menempel di pinggangnya.

“Aku  Cucu sobat SMA Citra. Hati-hati dengan ulat bulu yang jadi pelakor. Apa nggak ingat  perjuangan Mas Pram mendapatkan Citra, masih banyak lo yang menginginkan dia…” Cucu langsung melenggang meninggalkan keduanya dengan  perasaan  kecewa bercampur amarah, karena ia sangat menyayangi Citra yang sudah banyak berjasa dalam kehidupannya dan kedua orangtuanya.

“Mas, jadi nggak kita makan. Aku udah lapar nih.” Widya berkata dengan manja. Ia tak mempedulikan tatapan yang mencemooh dari pengunjung lain terhadap mereka.

“Kita kembali ke kantor saja. Pesan makanan online, aku nggak enak sama pengunjung yang ada di restoran ini. “ Pram mengusap wajahnya dengan gusar. Ia mengambil paper bag yang terletak di atas meja, dan berjalan menahan rasa malu. Apa kata orang, seorang pengusaha dilabrak anak perempuannya karena ketahuan berselingkuh.

Dengan perasaan dongkol, Widya mengikuti langkah Pram. Tapi ia masih bisa tersenyum, karena Pram telah memenuhi keinginannya untuk membeli beberapa gaun serta tas edisi terbaru serta beberapa barang  branded  lain.

Kinar mengurung diri di dalam kamarnya. Citra menunggu di depan kamar  Kinar berharap anak gadisnya keluar. Untung saja Damar  baru diantar pak Maman untuk pergi les, jadi ia akan membujuk Kinar dan berbicara dari hati ke hati.

“Mbak, keluarlah. Mama membawakan makan siang untukmu.” ujar Citra lirih. “Mama nggak ingin mbak sakit…”

Dengan malas Kinar membuka pintu kamarnya. Keduanya duduk berhadapan di tempat tidur. Wajah Kinar tampak sembab dengan hidungnya yang memerah.

“Mama suapin, yah…” Citra mengulurkan sendok yang sudah berisi nasi dan lauknya.

Kinar menerima suapan dari mamanya sambil berderai air mata. Tenggorokannya terasa tercekat tidak bisa menelan makanan.

Citra mengulurkan gelas minuman, “Kita harus kuat. Mama nggak mau mbak sakit, kita bertiga akan saling menjaga.”  Citra berusaha menahan air mata yang ingin meluncur bebas. Ia harus kuat di depan Kinar untuk menjaga perasaannya.

“Kinar malu, Ma. Teman-teman di sekolah selalu membicarakan papa.”

Citra terperangah, “Maksud mbak  apa?”

“Mereka mengejek Kinar dan menceritakan perselingkuhan papa dengan sekretarisnya.” Kinar berbicara dengan mata berkaca-kaca,

“Mbak nggak usah percaya dengan gosip di luaran. Papa nggak mungkin melakukan hal itu.” Citra masih berusaha membela Pram.

“Kinar tau sejak dua bulan yang lalu, karena Dila teman sekelas Kinar ponakan sekretaris papa. Dia bilang papa dan tantenya akan segera menikah…” Kinar terisak-isak menumpahkan kesedihannya.

Air mata Citra tak tertahan lagi. Ia langsung memeluk Kinar dengan sedih. Keduanya saling menumpahkan air mata penuh luka.

“Dila juga menunjukkan foto-foto saat papa jalan sama tantenya. Selama ini papa ngga lembur. Tapi kencan sama selingkuhannya.” Kinar tersedu  sedan di pelukan Citra.

“Kamu  sudah  keterlaluan, mas.” Citra mengumpat dalam hati mengetahui kenyataan yang terjadi antara suaminya dan sekretarisnya.

Di ruangan bawah Pram tergesa-gesa kembali dari kantor. Ia tidak sanggup melihat wajah luka yang tergambar di raut Kinar. Ia  berjalan ke atas menuju kamar Kinar yang terbuka sedikit. Terdengar suara tangisan Kinar.

“Kinar lebih baik nggak punya papa, seperti Adi. Jadi tidak merasa malu…”

“Hus, mbak nggak boleh ngomong gitu.” Citra  berusaha membujuk Kinar. “Papa nggak bermaksud melukai  mbak.”

“Apa papa nggak memikirkan kita. Apa papa sudah tidak sayang lagi pada kita….”

“Kinar…” Pram memasuki  kamar dengan perasaan berkecamuk, “Maafkan, papa…”

Mata Kinar menyorotkan kemarahan saat Pram berjalan mendekati mereka, “Kinar nggak mau ketemu papa. Kinar nggak punya papa tukang selingkuh.” Ia menjerit histeris.

Citra merengkuh Kinar dengan kuat. Air matanya  semakin deras mengalir menganak sungai di pipinya. Tangannya menepuk punggung Kinar berusaha menenangkannya.

“Lebih baik Kinar nggak punya papa.”  Ia menangis meraung-raung membuat Citra semakin terluka melihat kondisi putrinya.

Citra memandang Pram dengan wajah penuh air mata, “Tolong mas keluarlah…”

Tanpa terasa air mata Pram menetes. Ia tak menyangka perbuatannya menggoreskan luka yang teramat dalam pada putri kesayangannya. Ia merasa tak tega melihat  orang yang ia sayangi mengalami kesakitan yang begitu hebat.

Keheningan melingkupi kamar itu. Pram meremas rambutnya  berjongkok di luar kamar Kinar. Ia belum bisa mengambil keputusan, karena perasannya terhadap Widya juga sangat kuat.

“Ma, Kinar ingin pindah sekolah?” disela sedu sedannya Kinar berucap lirih.

Citra melepaskan pelukannya dan menatap Kinar, “Memangnya kenapa sampai pindah sekolah? Nanti mbak  harus menyesuaikan diri lagi, mencari kawan itu kan tidak mudah.” Citra masih berusaha menenangkan putri sulungnya.

“Kinar nggak mau ketemu Dila lagi. Ia dan kawan-kawannya suka mengejek Kinar. Kinar pengen pindah ke Solo ke tempat eyang putri.”

Pram menajamkan pendengarannya. Putrinya ingin pindah ke kota mertuanya. Suasana kembali hening.

“Mama akan membicarakan hal ini dengan papa terlebih dahulu.”

“Aku nggak punya papa.” Kinar kembali histeris, dan Citra kembali menenangkannya. “Mama nggak tau perasaan Kinar. Mama telah dibohongi papa selama ini. Tapi Kinar nggak bisa. Pokoknya Kinar nggak mau bertemu papa. Biarkan Kinar tinggal bersama eyang putri di Solo.”

“Baiklah, sayang. Mama akan menuruti keinginanmu.” Citra menganggukkan kepala menyetujui keinginan Kinar. Ia yakin kondisi Kinar tidak baik, jika terus bertahan di rumah ini.

Setelah Kinar mulai tenang dan tertidur  Citra turun dari tempat tidur dan berjalan ke bawah melihat Damar yang baru pulang di jemput pak Maman.

“Assalamu’alaikum…” Damar berlari menghampiri dan mencium tangannya.

“Wa’alaikumsalam.” Citra langsung memeluk tubuh mungil anaknya.

“Mbak mana, Ma?” Damar celingukan tidak melihat Kinar yang biasanya jam segini sudah santai di depan tv menonton drakor favoritnya.

“Mbak sedang istirahat di kamar.” ujar Citra lembut, “Sekarang mas Damar mandi ya…”

“Siap mama.” Ia langsung berlari kecil menuju kamarnya.

 

 

Terpopuler

Comments

YuWie

YuWie

ikut sendu aku klo sdh berhubungan sama anak.

2024-11-06

0

Sera

Sera

gak bisa bayangin perasaan kinar yang lihat papanya....

2024-06-20

0

Paul Onti

Paul Onti

hikshiks

2021-06-27

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!