Bab 13

Roby mendengarkan  curahan hati bossnya dengan penuh perhatian. Pram menceritakan semua permasalahan yang tengah ia hadapi tanpa menutupi sedikitpun dari Roby. Ia percaya Roby adalah orang yang tepat untuk tempat ia curhat, dan ia tak ingin sembarangan mengumbar aib dalam rumah tangganya.

Sejenak pikiran Roby bekerja, pantaslah sudah hampir dua bulan ia bekerja menjadi asisten Pram dan bolak-balik ke rumahnya tapi tidak pernah bertemu dengan istri bossnya itu. Dan ia bukan tipe orang yang kepo ingin tau urusan orang lain, kecuali memang ia dilibatkan, maka sedapat mungkin ia akan berusaha melakukan apapun yang terbaik.

Roby hampir tak percaya mendengar cerita Pram tentang hubungan terlarangnya dengan Widya sang sekretaris, membuat ia menelantarkan keluarganya. Memang ia agak curiga melihat sikap Widya, setiap keluar dari ruangan bossnya penampilannya selalu acak-acakan dan riasannya sedikit belepotan.

“Aku benar-benar menyesal, Rob.” lirih Pram. “Citra dan anak-anak meninggalkan rumah sudah hampir dua bulan. Dan putri tertuaku tidak mau bertemu denganku. Anak-anakku memilih pindah ke Solo tempat mertuaku, dan Citra lebih memilih pindah ke apartemen. Sikapnya yang dingin telah menyakiti perasaanku…”

Roby melongo mendengar pengakuan Pram. Otak encernya berhasil merangkai semua. Berarti bu Citra yang menjadi tim auditor adalah nyonya boss. Perempuan itu tampak sempurna, dan ia mengakui tak bisa melepaskan pandangan sedetikpun saat melihatnya pertama kali.

“Maafkan saya, pak. Sudah sejauh apa hubungan anda dengan bu Widya?” Roby memberanikan diri menanyakan hal itu pada Pram.

“Aku masih memiliki batas dalam hubungan kami. Memang ku akui, segala keperluan dan belanja bulanan Widya selalu ku penuhi, kecuali untuk hubungan biologis. Selama belum ada ikatan pernikahan tak mungkin aku melakukannya. Aku masih waras.”

“Apakah sudah tidak ada rasa cinta lagi terhadap istri bapak?” Roby mendadak kepo. Ia benar-benar penasaran, bagaimana tidak bossnya lebih memilih sekretarisnya ketimbang istrinya yang cantik natural dengan body sempurna.

Pram tercenung sesaat, “Rasa cinta itu ku rasa masih ada. Hanya aku merasa jenuh, karena kesibukan kami berdua, sehingga komunikasi diantara kami semakin berkurang.”

“Bagaimana dengan bu Widya? Apa bapak benar-benar mencintainya?”

“Awalnya kurasa Widya mampu membangkitkan gairah hidupku. Tapi saat Citra membawa anak-anak pergi, apalagi melihat Kinar yang begitu terluka aku merasa sedih. Tidak menyangka perbuatanku telah menyakiti mereka.”

Roby diam mendengarkan curhatan bosnya. Ia mulai yakin, Widyalah yang mengganggu rumah tangga bosnya itu. Dengan penampilan Widya yang seksi dan dandanan yang menor, serta tatapan dan tutur katanya yang manja, tak mungkinlah Pram tidak terjatuh dengan rayuannya. Roby menggeleng-gelengkan kepala tak percaya  dengan apa yang ia bayangkan dengan perbuatan keduanya. Ia mendengar Pram menghela nafas dengan berat, pandangannya menerawang jauh.

“Akulah yang meminta Citra untuk menjauh, karena aku mulai berkomitmen untuk menjalin hubungan yang serius dengan Widya.”

Roby terhenyak, “Anda memang bodoh, boss.” Rutuk Roby dalam hati, kesal dengan perbuatan Pram.

“Mungkin kau menganggap aku bodoh…”

Roby terperanjat mendengar ucapan Pram yang mengetahui umpatannya. Ia tak berani menatap wajah Pram. Mukanya menekuri karpet masjid, seperti anak kecil yang diomeli ibunya karena ketahuan berbohong.

“Semenjak  bertemu dengan istriku pada acara kuliah umum kemaren, ku lihat ia berubah. Semua orang begitu mengaguminya. Ia tampak menarik. Dan Citra telah membuktikan bahwa  tanpa aku ia mampu melakukan apapun…” Pram menelan ludah getir, “… padahal, aku yakin, saat  mereka meninggalkan rumah, pasti akan  kembali lagi, karena aku terbiasa memanjakan mereka dengan segala fasilitas dan kemewahan yang ada. Ternyata dugaanku salah, aku tak bisa jauh dari mereka. Apalagi melihat Citra sekarang, terus terang aku tidak suka melihat lelaki yang dekat dengannya.”

Roby masih menyimak perkataan bosnya. Ia nggak berani berkomentar, cukup menjadi pendengar yang baik, karena ia yakin, bossnya tau mana yang terbaik untuk dirinya saat ini.

Pram memandang ke luar mushala, ia melihat dari kejauhan, mobil yang membawa rombongan makan siang telah kembali. Tatapannya terus mengikuti para auditor yang berjalan menuju kantornya. Ia dapat melihat  wajah Citra yang selalu tersenyum lepas berbicara dengan rekannya. Kecemburuan tiba-tiba menyeruak di dadanya. Rasa yang sudah lama hilang kini kembali lagi.

Ia pernah mengalami hal itu saat  melihat kedekatan Citra dengan  ketua BEM di kampus mereka, padahal ketua BEM kampus adalah sepupunya sendiri, yaitu Anggoro. Seminggu ia merajuk, hingga Citra berhasil merayunya dengan mengajak dinner romantis, satu hal yang tak pernah mereka lakukan selama berpacaran, apalagi sifat Citra yang acuh dan jutek.

“Aku ingin memperbaiki hubungan kami. Aku tak rela siapapun memiliki Citra. Dia adalah istriku dan ibu dari anak-anakku. Aku akan mengakhiri hubungan dengan Widya.” tegasnya.

Roby menggelengkan kepala tak percaya. “Maafkan saya, pak.  Bukannya saya merasa pintar dari anda, tapi saya pernah mendengar ungkapan, jangan main-main dengan tiga hal ini, marahnya orang sabar, kecewanya orang setia dan diamnya orang yang ceria.”

“Apa maksudmu?” Pram menatap Roby, “Apa menurutmu  tidak ada kesempatan bagiku untuk memperbaiki hubungan kami? Walau dunia melawanku, aku akan memperjuangkan kembali keutuhan rumah tangga kami.”

Roby tersenyum, “Saya percaya bapak mampu melakukannya. Yang penting stok kesabaran bapak harus diperbanyak. Karena bu Citra bukan perempuan sembarangan.”

“Jangan bilang kau tertarik padanya. Dia bukan perempuan muda lagi. Umurnya 36 tahun dan sudah mempunyai anak gadis.” Pram merasa Roby menyindirnya.

“Kalau ibu tertarik apa salahnya, karena beliau memang perempuan yang pesonanya susah untuk dilupakan. Siapa sih yang mampu menolak, tampilan luarnya saja seperti baru usia 25 tahun…”

“Bug!” pukulan keras mendarat di rahang Roby  membuatnya meringis. Tidak menyangka gurauannya mendapat tanggapan yang berlebihan dari bossnya.

“Maafkan saya pak. Saya hanya bercanda. Saya hanya mendo’akan semoga Allah segera menyatukan kembali keluarga pak Pram.” Roby berkata dengan tulus.

Pram merasa lega mendengar ucapan Roby, “Terima kasih atas dukunganmu. Ku harap mulai sekarang kau membantuku menghadapi ini semua. Dan tolong, segala kerjaan yang melibatkan Widya kau handle, aku percaya padamu.”

“Siap, boss.” Roby mengangkat tangan dengan posisi hormat, membuat Pram tertawa kecil. Bebannya terasa lebih enteng di pundaknya.

Ponsel Pram berbunyi, panggilan dari Widya yang memberitahukan bahwa para auditor telah melaksanakan tugas dan akan meninggalkan kantor mereka  membuat Pram mempercepat langkahnya yang diikuti Roby di belakangnya.

Tanpa Pram dan Roby sadari jam telah menunjukkan pukul 5 sore. Mereka berdua telah melewatkan makan siang karena pembicaraan yang menguras waktu dan emosi kedua belah pihak. Namun sebuah harapan baru telah membuat Pram  lebih bersemangat. Ia yakin, semua keluarga akan mendukung keputusannya.

Pram segera menutup rapat dan mengucapkan terima kasih atas kunjungan yang telah dilakukan auditor di perusahannya. Mengingat ia  belum makan siang, ia menawarkan pada Ridwan cs untuk makan  bersama.

Tetapi mereka berlima kompak tidak menerima tawaran itu. Dan memilih mengakhiri tugas mereka serta ucapan terima kasih karena telah membantu proses kelancaran melaksanakan tugas  hingga selesai pada waktunya.

Penasaran dengan tempat tinggal Citra, Pram meminta Roby mengikutinya saat mobil telah membawa rombongan untuk kembali ke tempat tugas. Ternyata kelimanya langsung kembali ke kantor dan mengambil kendaraan masing-masing.

Pram merasa geram karena melihat  Citra turun dari mobil dinas kantor dan menaiki mobil yang sudah dibukakan pintunya oleh lelaki yang ia curigai tertarik dengan istrinya. Ia terus meminta Roby mengikuti mobil itu hingga memasuki apartemen yang tidak terlalu mewah di jalan Kuningan. Samuel segera turun dan membukakan pintu untuk Citra, dan itu tak lepas dari pandangan keduanya.

“Wah, ini mah berat saingannya boss. Bagaimana ibu nggak meleleh. Saya saja merasa tersanjung…” Roby tersenyum melihat pemandangan yang tidak jauh dari mereka.

“Plak…” tangan kekar Pram memukul mulut Roby yang kelewatan.

Roby merasa geli sendiri melihat kecemburuan bossnya, tapi belum ada keberanian untuk mendekati Citra. “Kita samperin boss?” tanya Roby begitu melihat mobil Sam yang sudah berlalu meninggalkan Citra.

“Nggak usah. Cukup aku tau tempat tinggalnya saja. Masih ada waktu besok.” sela Pram cepat, sambil memberikan isyarat agar Roby segera memutar balik mobil mereka.

 

 

Terpopuler

Comments

Sera

Sera

saatnya kau berjuang...

2024-06-20

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!