Bab 8

Setiap berdekatan dengan Widya, wajah Kinar selalu  terbayang di pelupuk mata Pram, bagaimana sikap Kinar yang memberontak serta menganggapnya tidak ada membuat dada Pram terasa sakit. Hal itulah yang membuatnya sering mengabaikan Widya dan akhirnya lebih memilih  fokus ke pekerjaan, walaupun ia belum bisa memutuskan Widya sepenuhnya.

Atas  rekomendasi Singgih yang mengkhawatirkan kinerjanya, terpaksa Pram menambah asisten baru sebagai tangan kanannya yaitu Roby, yang kini mendampinginya makan siang bersama klien.

Saat melayangkan pandangan ke arah pintu keluar, tatapan Pram menjadi fokus pada satu titik. Pram tidak yakin kalau yang ia lihat  adalah Citra, karena penampilannya semakin cantik dan menawan dari pertemuan mereka dua minggu yang lalu. Pram menelan ludahnya. Istrinya itu tampak santai bersenda gurau dengan lelaki muda yang berjalan berdampingan dengannya. Orang yang melihat Citra pasti tidak akan menyangka bahwa umurnya sudah 36 tahun, karena dengan penampilannya sekarang tampak seperti berusia 30 tahunan.

Salah satu klien Pram yang bernama Ardi mengikuti arah pandangan Pram yang tampak fokus menatap ke luar ruangan. “Anda tampaknya tertarik dengan perempuan yang barusan lewat?”

Ucapan Ardi mengejutkan Pram. Ia langsung mengalihkan tatapannya pada Ardi. “Saya merasa … mengenalnya…” ucapan Pram terbata-bata.

“Namanya Citra Pramesti Prameswari. Saya mengenalnya saat bersama mengambil S3 di UI Depok, dua tahun yang lalu. Dia wanita yang hebat. Banyak yang tertarik padanya, tapi dia begitu fokus dan serius. Dia tidak pelit ilmu, banyak membantu kami ketika mengalami kesulitan …” Ardi begitu bersemangat menceritakan teman kuliahnya masa itu.

“Bagaimana kehidupan pribadinya…?” Pram jadi kepo mendengar cerita kliennya membuat Hasan salah satu kliennya ikut terpancing mendengar obrolan mereka.

“Yang ku dengar, ia mempunyai dua anak, dan suaminya seorang pengusaha besar. Jadi wajar aja dia menolak setiap lelaki  yang berusaha mendekatinya, karena kehidupannya sudah sempurna.”

“Yah, kecuali suaminya orang yang tidak pandai bersyukur…” sela Hasan membuat Pram merasa tersindir.

“Apa maksud pak Hasan?” Ardi mengernyitkan keningnya.

“Zaman sekarang kalau kita tak menguatkan iman, akan menghadapi godaan di mana-mana. Yang namanya godaan syahwat, itu yang terberat. Apalagi kita sebagai pengusaha, akan banyak perempuan yang tidak mempunyai urat malu, akan menjajakan kenikmatan dengan segala cara. Makanya pertebal keimanan, ingat ada anak istri yang menunggu kita di rumah.”

“Benar itu, pak. Sodara saya sekarang menyesal setelah ditinggal istri dan anaknya pulang kampung. Istrinya menggugat cerai, karena suami berselingkuh dengan tetangganya sendiri.” Ardi berkata seadanya.

“Kalau menurutkan nafsu, rumah tangga akan hancur berantakan. Itulah gunanya keimanan dan ketaqwaan. Saya sendiri sering di posisi itu…” guman Hasan seolah pada dirinya sendiri, “Tapi setiap memandang wajah anak-anak, saya merasa sedih. Selalu mereka yang jadi korban. Padahal saat kita meminta istri kita pada orang tua mereka, kita sudah berjanji akan membahagiakan anak gadis mereka, dan janji kita bukan hanya pada manusia, tetapi juga kepada Allah.   Setan akan membuat yang haram terasa indah, dan yang halal  menjadi  kurang bermakna.  Seperti cerita ulama,  lelaki yang suka berbuat zina, padahal sudah mempunyai istri. Jika anjing didandani pun akan membuatnya tertarik. Itulah manusia yang menuruti hawa nafsunya.”

Pram merasa tertampar mendengar perkataan Hasan yang memang dari sosoknya kelihatan agamis, dengan jenggot yang tertata rapi serta tuturnya yang santun dan menenangkan.

“Allah sudah mengingatkan kita sebagai imam, pemimpin dalam rumah tangga  untuk menjaga keluarga kita dari siksaan api neraka. Bagaimana cara kita menjaga mereka? Paling tidak bagi yang punya anak perempuan harus diajarkan cara menutup aurat yang benar. Sehingga menjaga pandangan yang bukan muhrim. Apalagi istri kita, sudah kewajiban kita untuk selalu mengingatkan mereka jika salah jalan. Begitupun kita sebagai suami,  jangan merasa selalu benar. Tidak ada rumah tangga yang lancar tanpa badai ataupun prahara. Yang penting ingat komitmen awal saat kita meminta istri kita pada orang tua mereka. Orang tua mana yang rela melepaskan anak gadisnya kalau hanya untuk menderita. Ingat kita juga punya anak. Jangan melupakan kesusahan istri saat mereka mendampingi, melahirkan anak-anak kita. Saya sendiri memberikan kebebasan kepada istri untuk berkarier dengan menjadi dosen di Medan.” Hasan berkata dengan panjang lebar.

Pram merasa kagum dengan Hasan, kliennya itu. Selama ini ia sudah malang melintang di dunia bisnis, baru kali ini ketemu sosok seperti Hasan, yang mampu memberikan pencerahan padanya, dan mampu membuka pikirannya yang selama ini tertutup. Akhirnya makan siang diantara mereka telah selesai.

“Aku ingin menyapa bu Citra. Rasanya nggak sopan, kalau hanya sekedar lewat.” tutur Ardi saat mereka bangkit dari kursi.

“Tidak masalah, menyapa sesama saudara muslim adalah termasuk adab kesopanan. Yang penting jangan melibatkan perasaan di dalamnya.” sela Hasan mengingatkan.

“Siap pak Ustadz.” Ardi tersenyum pada Hasan yang membalas tersenyum tipis ke arahnya. “Insya Allah saya akan selalu menjaga keluarga hingga ke Jannah.”

“Amiin…” Hasan mengaminkan doa Ardi.

Saat melewati rombongan Citra yang sedang asyik menikmati makan siangnya, mereka berempat langsung berhenti, membuat teman-teman Citra sontak memandang ke arah mereka.

“Selamat siang bu Citra…” sapa Ardi sopan.

Citra menghentikan makannya langsung memandang ke samping. Dan ia terkejut melihat Pram juga berada di depannya bertiga lelaki yang sebaya dengannya. Ia mengerutkan kening berusaha mengingat laki-laki yang menyapanya.

“Masih ingat, saya Ardi. Kita sama-sama di UI Depok saat…” Ardi mengulurkan tangannya, yang segera di jabat Citra dengan hangat. “Bu Citra banyak membantu saya saat itu.”

“Oh ya…” Citra tersenyum sehingga cetakan lesung pipit tergambar menambah manis senyumnya. “Maafkan saya. Kami baru makan siang. Apa bapak-bapak ini sudah makan? Mari silakan duduk menikmati makan siang bersama kami.”

Pram merasakan ada kesedihan mengelus hatinya, karena senyum manis itu bukan untuknya. Dan Citra tidak mempedulikannya, seolah-olah mereka tidak saling mengenal. Ia hanya fokus pada Ardi yang memang tampak lebih friendly.

“Bagaimana kabar keluarga bu Citra?” Ardi masih sok akrab, dan tidak menyadari bahwa pertanyaannya seperti tombak menusuk jantung Pram.

Selama ini Pram memang tidak pernah mengekspos foto diri dan keluarganya. Karena sejak awal Singgih sudah mengingatkan agar tidak menampilkan mereka di muka umum. Ini demi menjaga keamanan dan kenyamanan bagi anak-anaknya. Dengan terjadinya persaingan dunia usaha, tidak menutup kemungkinan adanya penculikan dan pembunuhan  untuk melemahkan lawan di dalam dunia usaha.  Dan Pram menyetujui hal itu, sehingga ia tak pernah menampilkan foto bersama dengan Citra maupun kedua buah hatinya. Hanya kalangan tertentu yang mengenal sosok keluarga kecil Pram.

Senyum Citra terbit lagi di bibirnya. “Alhamdulillah, mereka selalu sehat, tanpa kekurangan sesuatu apapun.” Ia menjawab dengan lugas.

Hasan segera mengode Ardi agar segera meninggalkan tempat itu. Karena terlalu lama takut  mengganggu santap siang mereka.

“Maaf bu Citra, jadi mengganggu. Silakan dilanjutkan makan siangnya.”

Citra hanya mengangguk, dan melihat keempatnya yang berjalan meninggalkan restoran. Hatinya merasakan kesedihan yang teramat dalam. Pram tampak dingin dan sorot wajahnya datar tak bersahabat.  Mungkin cinta di hati suaminya itu telah terkikis tak bersisa, dan hatinya telah diisi dengan nama lain.

“Eh, mbak Citra tau nggak, yang berdiri di samping mbak itu pak Pramono Erlangga Wijaya.” seru Puri dengan penuh kekaguman.

“Nggak boleh kagum dengan suami orang, non.” sela Marcel cepat.

“Hanya kagum doang, pak. Nggak mungkinlah aku jadi pelakor. Karena aku juga nggak ingin menyakiti sesama perempuan.”

Citra tersenyum hingga lesung pipinya keluar, “Udah kenyang nih. Alhamdulillah makasih ya, Sam. Besok lagi…” Ia menatap Puri. “Syukurlah kamu berprinsip seperti itu. Karena kebanyakan perempuan muda seusiamu udah nggak punya urat malu lagi.”

Keempatnya menatap Citra dengan heran mendengar nada bicaranya yang agak sinis dan penuh kekesalan.

“Wah, pengalaman pribadi, nih.” ceplos Ridwan sambil tertawa lebar mendengar percakapan ketiganya.

Citra terhenyak, ia segera menyadari situasi yang terjadi. “Nggak kok. Udah lewat waktu istirahat, nih. Yok kembali ngantor.” Ia meraih tas yang tersampir di kursi tempat ia duduk, dan menggandeng tangan Puri yang berjalan di sisinya.

 

 

 

 

Terpopuler

Comments

Sera

Sera

tunjukkan pesonamu citra.. buat dia menyesal karna telah menduakanmu

2024-06-20

1

Mia Roses

Mia Roses

bagus bangettt

2022-05-29

0

Paul Onti

Paul Onti

penasaran lanjutkan thor

2021-07-04

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!