Bab 11

Keempat rekan Citra sudah menjalankan tugasnya di bagian masing-masing. Sementara Citra masih terpaku sendirian menunggu staf dan manajer SDM yang sedang mempersiapkan berkas di atas meja di ruangan pertemuan itu.

Ia masih sibuk membuka chat dari Kinar dan Damar yang mulai melaksanakan evaluasi menjelang kenaikan kelas. Ia sangat bersyukur, kondisi Kinar semakin membaik, dan tidak pernah menyinggung Pram lagi. Keluarga di Solo benar-benar dapat diandalkan. Dan Citra tak keberatan setiap akhir pekan terbang ke Solo untuk mengunjungi kedua buah hatinya, karena ia hidup dan berjuang untuk mereka.

Ketukan di pintu menghentikan kegiatan Citra, Roby berjalan menghampirinya. “Ibu telah ditunggu pak Pram di ruangannya.” ujar  Roby sambil membungkukkan badan.

“Lho, bukannya di ruangan ini…” Citra seolah berguman sendiri tapi masih tertangkap telinga Roby. Ia masih belum beranjak dari kursi yang ia duduki.

“Saya hanya menyampaikan perintah pak Pram, bu. Maafkan saya…” Roby membungkukkan badannya pada Citra, dan masih berdiri menunggunya.

Dengan perasaan enggan Citra mengikuti langkah Roby menuju ruangan direktur utama yang tertutup rapat. Belum sempat Roby mengetuk pintu, Widya keluar dari ruangan tertutup itu.

Citra melengos melihat lipsticknya yang tampak belepotan, dan Widya menatapnya dengan penuh kepuasan sambil menjilat bibirnya sendiri. “Tidak tau malu. Mungkin urat malunya udah putus. Dasar benalu…” batin Citra berusaha menahan emosinya.

Ada yang sakit, tapi tak berdarah, itulah yang kini dirasakan Citra. Kenapa perasaan sakit ini masih terasa di hatinya. Apakah cintanya masih kuat terhadap Pram, sehingga sakit itu tetap terasa? Ia berusaha membuang kepedihan yang kembali menggerogoti hatinya.

Mulai sekarang ia harus mengenyampingkan perasaan pribadi. Toh ia dan Pram akan berpisah, tak lama lagi status mereka akan berubah, mungkin saat inilah waktu yang tepat untuk membahas akhir hubungan mereka. Citra sudah menguatkan tekadnya untuk menanyakan berkas yang harus ia tanda tangani, karena sampai hari ini mereka sudah tidak pernah berkomunikasi, otomatis Pram tidak tau tempat  tinggalnya sekarang, dan ia malas untuk kembali ke rumah besar yang kini telah ia dan anak-anak tinggalkan. Ia sendiri tidak tau, mungkin rumah itu telah memiliki nyonya yang baru sekarang.

“Silakan duduk bu Citra…” Roby mempersilahkan Citra duduk di sofa, karena  Pram masih berkutat di meja kerjanya, dan Roby langsung keluar dari ruangan meninggalkan mereka berdua.

Keheningan melingkupi ruangan itu. Citra tak peduli, ia menyadari bahwa Pram beberapa kali memandangnya dari meja kerjanya. Tapi Citra menyibukkan diri dengan berkas yang berisi kuisioner  yang telah ia dan timnya susun  untuk audit kali ini.

Tak dapat Pram mungkiri, bahwa kehadiran Citra kali ini benar-benar merobohkan dinding yang berusaha ia bangun untuk komitmennya bersama Widya. Perempuan sempurna yang ia miliki tapi ia sia-siakan hanya karena nafsu yang tak dapat ia kendalikan. Tapi beruntung Allah telah mengembalikan kesadarannya. Ia ingin segera bertobat dan mengembalikan keutuhan rumah tangganya, merengkuh mereka kembali ke dalam kehangatan keluarga.

“Apa bisa kita mulai, tuan Pramono Erlangga Wijaya?” Nada datar Citra mengejutkan Pram yang masih sibuk berkutat dengan pemikirannya sendiri.

Pram berjalan menghampiri Citra dan duduk di sampingnya tanpa jarak. Pesona Citra benar-benar telah membuat ia kembali pada akal sehatnya. Ia benar-benar merindukan kebersamaan ini. Tangannya meraih remot untuk mengunci pintu ruangan agar tidak ada yang mengganggu komunikasi mereka.

“Kamu semakin cantik.” ujar  Pram tanpa basa-basi memandang Citra dan tak melepaskan pandangannya sedetikpun. Ia menghirup aroma wangi yang menguar dari tubuh istrinya, sambil memejamkan mata ia menyandarkan tubuhnya pada sofa, mengingat kembali kehangatan yang sempat hilang belakangan ini.

“Baru nyadar…” Citra berguman dalam hati. Ternyata tak salah ia mengikuti saran Cucu untuk memanjakan diri ke salon dan merubah penampilan serta mengikuti kelas Yoga untuk memperkencang body, agar tak kalah dengan pelakor yang berkeliaran di luar sana. Ia mengulum senyum saat mengingat ucapan Cucu yang mengatakan bahwa Pram pasti akan klepek-klepek  saat melihat penampilan barunya.

Pram melihat senyum tipis tersungging di sudut bibir Citra, membuatnya merindukan bibir merah merekah itu. Ia mendekatkan wajahnya ke arah Citra, “Aku sangat merindukanmu. Dua bulan tak bersama telah membuatmu berubah.” Ia tak melepaskan tatapannya sedetikpun dari Citra. Tangannya mulai bergerak meraih pinggang ramping di sisinya. Ia merindukan aroma wangi tubuh istrinya.

“Cih…” Citra mendengus dalam hati. Ia merasa jijik sendiri, melihat bekas lipstick yang masih menempel di bibir Pram, dan menjauhkan posisinya dari Pram.  Ia sadar bagaimana hubungan keduanya, karena melihat bibir masing-masing yang belepotan lipstick.

Melihat Citra yang tak menanggapinya membuat Pram tak kehilangan akal. Ia menarik tangan Citra dan menggenggamnya dengan erat. Tapi Citra menepiskan tangannya, namun genggaman Pram begitu erat, menyalurkan kehangatan yang selama ini sangat dirindukannya.

Airmata Citra tak terasa menetes, rasa kesakitan akibat penolakan kembali terbayang di pelupuk matanya. “Maafkan saya, pak Pramono Erlangga Wijaya. Tak bisakah kita bersikap profesional, saya datang ke sini karena tugas negara.” Citra melepaskan tangannya dari genggaman Pram.

Pram menatap Citra dengan lembut, tapi yang ditatap membuang muka. “Aku bangga saat melihatmu menjadi narasumber pada kegiatan itu. Semua orang kagum padamu. Istriku benar-benar perempuan hebat.”

Citra tersenyum sinis, “Berkat keputusanmu agar kita berpisah, membuatku mampu untuk mengembangkan sayap lebih tinggi. Dan aku sangat berterima kasih padamu, pak Pramono Erlangga.”

Pram merasa tersindir atas ucapan Citra. Ia memegang dagu Citra tapi dengan cepat ditepis Citra. Pram merasa sedih atas sikap serta penolakan Citra.

“Maafkan atas kesalahanku selama ini. Kepergian kalian dari rumah membuatku kesepian…” tutur Pram lirih. “Bagaimana kabar anak-anak terutama Kinar.”

“Anda tak perlu khawatir, mereka berbahagia walau tanpa seorang ayah.” Citra berkata dengan datar. “Memangnya mudah aku memberikan maaf untukmu…” batin Citra.

Pram menatap Citra lekat. Ingin rasanya ia memeluknya dengan erat dan tak melepasnya sedetikpun. Namun ia merasa Citra telah membangun tembok yang kokoh diantara mereka. Kata-katanya begitu dingin, tanpa perasaan.

“Aku menyadari perbuatanku selama ini yang telah menyakiti kalian…” Pram menghela nafas berat. “Dan aku ingin memperbaiki semua dari awal.” Ia telah bertekad untuk mengakhiri hubungannya dengan Widya sebelum semuanya terlambat. Tangannya membelai rambut Citra dan mencium wanginya yang lembut dan menenangkan. “Aku baru menyadari berapa beruntungnya aku memiliki istri yang pintar dan sempurna, Selama ini aku telah menyepelekanmu. Aku menganggap perempuan lain lebih baik, padahal istriku  begitu sempurna…”

Citra beranjak dari kursi dan berpindah sehingga posisi mereka kini berhadapan, “Maafkan aku tuan Pramono Erlangga. Perkataanmu selalu ku ingat. Jadi jangan lah anda menelan ludah kembali. Itu adalah perbuatan yang menjijikkan.” Citra menatap Pram datar, kali ini ia harus tegas.

Pram tak menghiraukan ucapan Citra. Ia membalas tatapan Citra, keduanya saling berpandangan berusaha menguji ketahanan masing-masing.

 

 

 

 

Terpopuler

Comments

Sera

Sera

lanjutt...

2024-06-20

0

Ros Sulta

Ros Sulta

tewas gak..

2022-04-02

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!