Pram memijit kepalanya yang tiba-tiba berdenyut. Kehadiran Widya memang telah membuatnya bersemangat dalam menjalani hari yang sangat membosankan. Hubungan terlarangnya dan Widya baru berjalan dua bulan, dan ia sangat menikmati itu. Selama ini Pram adalah tipe lelaki setia, dia tak akan menduakan orang terkasihnya. Saat panah asmara Widya menancap di jantungnya, ia mulai mencari celah untuk menghindari Citra yang saat ini adalah istri sahnya.
“Mari kita berpisah…” ujar Pram sambil memandang Citra istrinya, yang sudah mendampinginya selama 14 tahun. Bayangan Widya sekretarisnya yang seksi begitu kuat dalam pikirannya saat ini, sehingga ia tak bisa memikirkan hal lain.
Citra terperangah, tidak menyangka kata-kata itu akan tercetus dari suaminya, ayah dari anak-anaknya serta satu-satunya lelaki yang telah mengajarkan arti cinta dan kebahagiaan yang hingga detik ini begitu membuatnya bahagia.
Suasana hening, karena Kinar serta Damar telah memasuki kamar tidur mereka di ruang atas. Hanya detak jam dinding yang melingkupi keduanya.
“Apa mas tidak memikirkan perasaanku serta kebahagiaan Kinar dan Damar ?” Citra menatap wajah suaminya yang kelihatan gelisah. “Kita sudah menikah 14 tahun, tidak bisakah mas bertahan demi anak-anak?” Ia berusaha menahan kesakitan yang tiba-tiba menggerogoti relung hati yang terdalam.
“Pernikahan kita terasa hambar.” Pram memijit kepalanya, “Dan aku sudah memikirkannya 3 bulan belakangan ini Untuk Kinar, aku akan membicarakan pelan-pelan dengannya. Apalagi dia sudah kelas 2 SMP, pasti akan mengerti dengan permasalahan kita.”
Citra menghela nafas gerah, “Kita tidak ada masalah. Mas lah yang membawa perempuan dalam pernikahan kita, sehingga mendatangkan permasalahan dalam rumah tangga kita.”
“Kamu tidak boleh menyalahkan orang lain atas kekurangan yang ada padamu.” ujar Pram ketus. Suaranya terdengar marah mendengar perkataan Citra.
“Kekurangan apa yang mas maksud? Bukankah aku selalu melayanimu baik lahir maupun batin…” tukas Citra cepat.
Pram tercenung, memang ia akui Citra tidak memiliki kekurangan, bahkan nyaris sempurna. Tetapi kesibukan mereka berdua yang membuat intensitas ketemu menjadi jarang. Apalagi semenjak Citra di angkat sebagai Kepala Bagian Audit di kantornya membuat ia sering bepergian. Sedangkan ia sebagai pengusaha yang memiliki beberapa cabang di Indonesia juga jarang berada di rumah.
“Sudahlah Citra, aku tidak ingin memperpanjang perdebatan ini.” Pram menatapnya dengan datar. “Aku sudah bosan dengan pernikahan kita.”
“Astagfirullahaladjim, mas…” Citra terperangah mendengar ucapan suaminya.
Mata yang selama ini menatap Citra dengan penuh cinta dan kelembutan sudah tidak tergambar di sana, yang tampak hanya sinar dingin dan tak bersahabat.
“Apakah semua ini karena Widya sekretarismu itu?” tanya Citra blak-blakan. Ia tak ingin Pram bersandiwara serta berbohong lebih lama yang akan berdampak tidak baik dalam kehidupan rumah tangga mereka.
Pram termenung sesaat, bayangan sekretarisnya yang berbicara lemah lembut dan mendayu-dayu serta sering memujinya membuat Pram merasakan kembali jiwa mudanya. Dan harus ia akui, perlakuan Widya berubah terhadapnya. Dia mulai berani menyentuh dan dengan sengaja berpakaian seksi di kantor.
“Mas, katakan sejujurnya, jangan ada kebohongan. Aku siap mendengar apapun alasanmu. Karena aku merasa pernikahan kita selama 14 tahun ini baik-baik saja. Kita telah membangun bahtera rumah tangga dengan pilar kepercayaan dan kejujuran. Kalau itu sudah tidak berarti bagimu, setidaknya pikirkan anak-anak…” airmata Citra sudah tidak terbendung.
Ia tak menyangka bahwa Pram yang pulang dari perusahaan lebih awal bukan untuk mengajak mereka makan di luar, seperti kebiasaan mereka selama ini. Tetapi malahan menyampaikan sesuatu yang benar-benar di luar dugaan dan menyakitkan hatinya.
Sebenarnya ia tak ingin mencurigai suaminya, tetapi minggu lalu, saat ia sedang menghadiri seminar Perpajakan di Ballrom sebuah hotel bintang lima, tak sengaja matanya menatap sepasang laki-laki dan perempuan yang bergandengan tangan memasuki mobil. Ia mengenal mobil itu adalah milik Pram suaminya. Tetapi perempuan itu…
Citra tak mau berspekulasi, hanya membuang waktu. Ia tetap fokus mengikuti seminar. Setelah kegiatan selesai, ia terburu-buru mampir ke mall untuk belanja kebutuhan bulanan. Saat melangkahkan kaki ke alat kecantikan wanita, matanya nanar menatap sang suami digandeng perempuan berpakaian rapi press body yang sedang memilih produk skin care.
“Mas Pram …” Citra memanggilnya lirih.
Pram terkejut melihat Citra sudah berdiri di hadapannya. Ia tertangkap basah sedang menemani sekretarisnya belanja. Sebenarnya bukan kesengajaan Pram melakukan hal ini, setelah menjamu kliennya makan siang, dengan terpaksa ia menuruti keinginan Widya yang mengajaknya mampir ke mall, karena produk kecantikannya habis.
Widya memandang Citra dengan acuh. Tangannya masih bergelayut mesra di lengan Pram yang kokoh, “Mas yang ini aja deh…”
“Kita akan membicarakan ini di rumah,” ujar Pram datar.
Keduanya langsung berjalan meninggalkan Citra yang kini terpaku tak percaya menyaksikan pemandangan yang begitu menyakitkan.
Citra berusaha mengingat perempuan yang berjalan bersama Pram. Akhirnya bayangan sekretaris Pram yang bernama Widya langsung tercetak di otaknya.
“Aku merasakan pernikahan kita semakin hambar.” Perkataan Pram memangkas lamunan Citra. Ia menatap Citra dengan perasaan yang sukar dilukiskan. Tak dapat ia pungkiri kesedihan juga menggores hatinya karena telah menyakiti hati perempuan yang telah memberinya keturunan yang sempurna. Tetapi pesona Widya telah membutakan mata hati dan pikirannya.
Citra mengusap airmata yang tak terkendali membanjiri pipinya yang mulus, “Apa mas tidak memikirkan perasaanku. Kita menikah atas restu orangtua, dekat selama dua tahun dan menikah 14 tahun, tak bisakah mas bertahan hingga anak-anak dewasa?”
Pram mengalihkan pandangannya dari wajah Citra. Terus terang ia semakin merasa bersalah, tapi keegoisannya menutup semua kenyataan yang dikatakan Citra. “Sudahlah, Citra. Aku tidak ingin berbohong lebih lama. Memang ku akui aku telah menjalin hubungan serius dengan Widya akhir-akhir ini.”
Citra terperangah, jawaban Pram benar-benar telah menjatuhkan harga dirinya membuat hatinya pecah berkeping-keping tak tersisa, tidak ada raut penyesalan di wajah Pram saat mengatakan hal itu.
“Apakah mas sudah memikirkan ini dengan matang.” lirih Citra nyaris tak terdengar, “Bagaimana dengan orang tua kita. Apa mas tak memikirkan perasaan mereka?” Citra masih berusaha menarik ulur hubungan mereka.
“Aku akan mengurus semuanya. Karena kesehatan mama mulai menurun, aku akan menunda membicarakan hal ini dengan beliau. Mulai besok, aku akan pindah ke apartemen, karena lebih dekat dengan kantor. Jadi aku tidak membuang waktu terlalu lama di jalan,” pungkasnya.
“Baiklah, jika itu sudah menjadi keputusan mas. Tetapi ku harap, sebelum proses perceraian kita tetaplah tinggal di rumah. Biar Kinar dan Damar tidak terlalu terpukul. Dan aku akan memberi pengertian kepada Kinar dan Damar dengan pelan.”
Pram mengangguk ia menatap Citra dengan perasaan serba salah, “Maafkan aku, atas keadaan ini. Mulai malam ini aku akan tidur di kamar tamu…” Pram beranjak meninggalkan Citra yang masih termangu di meja makan.
Citra menepuk dadanya dengan kuat. Sedapat mungkin ia menahan tangis di depan Pram. Seumur hidup ia tak pernah meminta belas kasihan pada siapapun apalagi mengemis cinta pada seorang lelaki. Walaupun ia tau, sudah kewajibannya sebagai seorang istri untuk mempertahankan rumah tangga. Tapi ia sadar, perasaan tak bisa dipaksa. Jika seseorang ingin berpisah, lebih baik kita lepaskan. Jika memilih bertahan, tentu akan lebih menyakitkan. Yang ia pikirkan sekarang adalah anak-anaknya. Bagaimana ia memberi pengertian pada mereka, bahwa mama dan papanya akan berpisah.
Mbok Siti yang tak sengaja mendengar pembicaraan majikannya mengurut dada dengan perasaan sedih. “Ya Allah, jagalah keutuhan rumah tangga tuan dan nyonya. Mereka orang baik dan saling menyayangi. Janganlah Kau pisahkan mereka…” Ia mengusap air mata yang mengalir tiba-tiba di pipinya yang mulai keriput.
Di dalam kamar, Citra meremas dadanya yang terasa sakit. “Ya, Allah apa yang terjadi dengan pernikahan ini. Kenapa sesakit ini? Aku tidak sanggup berpisah dengan mas Pram, aku terlalu mencintainya. Berikan aku jalan keluar ya, Allah.”
Citra memandang foto pernikahan mereka yang tercetak besar di dinding kamar. Senyum keduanya tergambar jelas di foto itu. Pelukan mesra Pram menghangatkan tubuh hingga jiwanya. Biduk rumah tangga mereka yang mengalami pasang dan surut, hingga terlahir Kinar dan Damar, tetapi mereka tetap mampu menghadapi angin serta badai yang menerpa, karena kekuatan cinta. Tapi kini….
Semalam-malaman Citra tidak bisa tidur, ia berusaha mengingat perubahan sikap Pram yang tidak pernah lagi hangat di dalam keluarga. Semenjak Pram mengambil kuasa penuh kantor pusat menggantikan papanya yang meninggal 6 bulan yang lalu, ia semakin sibuk. Tetapi hubungan suami istri mereka masih seperti biasa. Ia teringat, saat pertama kali penyerahan kekuasaan pada suaminya dan ikut mendampingi Pram di perusahaan.
Di sana ia melihat ada seorang perempuan yang tampak lain saat memandang suaminya. Tapi Citra tidak terlalu memikirkan hal tersebut, ia yakin cinta Pram terlalu kuat untuk dirinya dan keluarga mereka.
Kecurigaannya bermula saat Pram sering menerima telpon di malam hari ketika mereka mulai memasuki peraduan. Citra masih tidak peduli. Namun jadwal family time dengan membawa anak-anak untuk jalan-jalan atau sekedar makan di restoran sudah tidak pernah lagi mereka lakukan dengan alasan Pram yang selalu sibuk. Hingga Citra melihat bekas lipstick di kerah kemeja Pram membongkar kecurigaan Citra.
Pram berusaha mengelak, sehingga pertengkaran tak bisa dihindari. Citra masih berusaha sabar menghadapi Pram. Ia tetap ingin mempertahankan keutuhan rumah tangganya, tetapi Pram berusaha menghindar dengan selalu pulang malam, di saat semua sudah tidur.
Dan malam inilah puncak dari semua permasalahan dan kekacauan dalam rumah tangga mereka yang sudah tidak bisa dihindari. Dan Pram tampaknya sudah mengambil keputusan sepihak untuk kenyamanan dirinya sendiri, tanpa memikirkan perasaan Citra dan kedua buah hatinya.
Pagi hari saat Citra menuju ruang makan, ia tidak melihat lagi sosok Pram. Hanya ada Kinar dan Damar yang sudah bersiap ke sekolah dengan di antar pak Maman sopir yang sudah mengabdi selama puluhan tahun.
“Papa sudah berangkat ya…?” tanya Citra sambil mencium kening Kinar dan Damar penuh kasih sayang. Kedua buah hati mereka yang masih memerlukan bimbingan dan kasih sayang kedua orang tua untuk tumbuh kembang dalam menjalani kehidupan.
“Ya, Ma. Papa bilang ada rapat. Kemungkinan papa nggak pulang, langsung ke Bandung ada undangan dari teman lama papa.” Kinar menjelaskan. “Kenapa mata mama bengkak, habis menangis ya … “
Citra tercekat, walaupun Kinar tergolong introvert tetapi ia sangat perhatian pada mamanya. “Nggak kok. Mama hanya nggak bisa tidur tadi malam. Jadi mata mama bengkak…” elak Citra.
“Mana aku lihat…” Damar yang baru kelas 4 SD sok perhatian, “Ya, temanku bilang mamanya sering menangis karena akan bercerai dengan papanya.”
“Deg…” terasa irisan sembilu mengoyak hati Citra. Ia memeluk anak lelakinya berusaha menguatkan hatinya.
Kinar menatap Citra penuh rasa keingin tahuan, “Apa mama dan papa akan berpisah?”
Citra menggelengkan kepala cepat, “Tidak sayang. Mama dan papa baik-baik saja.” Ia segera mengalihkan perhatian keduanya. “Ayo cepat, pak Maman udah nungguin tuh. Ntar terlambat.” Citra langsung memeluk kedua anaknya dan memberi kecupan sayang bagi keduanya.
“Yang sabar ya, Nya.” Bik Siti mengejutkan Citra yang masih termangu di teras rumah mengantarkan kepergian dua buah hatinya.
Citra tersenyum tipis. Ia tidak tau kepada siapa untuk mencurahkan kesedihan hatinya. Sikap dingin Pram begitu menyakiti perasaannya. Tapi ia harus kuat bertahan. Perjuangan baru saja dimulai.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
YuWie
tidak ada hujan tidak ada badai..tiba2 ngajuin pisah..siapa yg gak shock... aq bacanya emosiii bestieee
2024-11-06
0
Sera
jadi ikut nyesek
2024-06-20
0
Yanti Sanusi
baru baca 2 bab sdh termehek mehek. karyamu selalu mengaduk2 hati thor. Dengan kalimat2 yg bagus, rapi, menyentuh.
2023-04-27
0