"Kamu kemana saja, Ari. Pesta hampir berakhir dan engkau baru kembali." Tegur Pak Akmal melihat putranya baru kembali dan duduk di sampingnya.
"Ada sedikit urusan, Abi." Jawab Ari singkat sambil memperbaiki posisi duduknya.
"Tidak bisakah kamu menunda sebentar saja urusan itu, nak. Ini acara pernikahan kakak kamu dan kamu menghilang begitu saja tanpa memberi tahu kami alasannya."
Ari menatap Pak Akmal. "Aku hanya khawatir, Abi. Aku hanya pergi memastikan kalau dia baik-baik saja."
"Nanti kita bicara lagi setelah acara ini selesai." Ucap Pak Akmal mengakhiri. Tidak mau perdebatannya akan menjadi panjang lebar dan mengganggu acara anak sulungnya.
Ari mengangguk dan berusaha untuk kembali fokus pada pesta. Namun, tatapan matanya tidak bisa berbohong kalau dia sedang gelisah.
Pak Akmal memperhatikan kelakuan putranya yang terlihat agak aneh. "Kamu sedang memikirkan apa, nak." Bisiknya.
Ari tersentak kaget. "T..tidak, Abi. A..aku tidak sedang memikirkan apapun."
Pak Akmal menghembuskan nafasnya dengan kasar. "Jangan berbohong, nak. Selesai acara ini kamu harus menjelaskan semuanya pada Abi. Jangan ada yang kamu sembunyikan dari Abi."
Ari hanya diam menanggapi ucapan Abinya.
Bu Fatimah yang berdiri di samping suaminya juga terdiam. Takut jika memberikan komentar masalah akan menjadi panjang.
Setelah pesta berakhir..
Pak Akmal langsung menyeret Ari masuk ke kamar yang ditempati Ari di rumah itu. Mereka capek. Tapi, Pak Akmal tidak suka menunda untuk menyelesaikan masalah.
"Abi, Ari lelah sekarang. Ari mau istirahat dulu. Besok Ari akan jelaskan semuanya." Ari mencoba merayu Abinya, agar tidak terus-menerus didesak.
"Tidak, nak. Masalah harus segera diselesaikan, agar tidak semakin besar."
"Tapi, Abi..."
"Ceritakan sekarang, Ari!"
Ari menghembuskan nafasnya. "Abi benar-benar keras kepala."
"Dan Ari putraku juga lebih keras kepala daripada aku." Pak Akmal tersenyum menatap putranya.
"Iya, Abi. Ari putramu ini memang lebih keras kepala daripada Abi."
"Kamu sendiri yang mengiyakan ucapan Abi."
"Iya.."
"Ayo, mulai."
"Tapi, Abi harus janji dulu, kalau Abi tidak akan menceritakan masalah ini pada Ummi."
"Kenapa?"
"Ari hanya takut, jika Ummi mengetahui masalah ini. Ummi akan kembali membenci Santi."
"Serumit itukah masalahnya, nak."
"Iya, Abi."
Pak Akmal menepuk pundak putranya. "Apa kamu tidak percaya pada Abi, sehingga Abi harus berjanji dulu baru kamu akan ceritakan semuanya?"
Ari tersenyum. "Abi tau sendiri kan bagaimana Ummi."
"Iya, nak."
Ari menatap Abinya." Tante menyinggung perasaan Santi di pesta tadi, Abi."
"Lalu.."
"Ari tidak tau apa yang dikatakannya pada Santi. Tapi intinya.. aku mendapati Santi sedang menangis sendirian di pinggir kolam ikan depan asrama santri putri itu, Abi."
"Apa kamu tidak menanyakan apa yang dikatakan Tantemu padanya."
"Tidak, Abi. Aku menyusul dua orang temannya yang aku minta mencari tau keberadaanya. Aku takut jika aku bertanya padanya, Qonita akan berprasangka buruk pada Tante."
"Jadi, apa yang terjadi sehingga kamu terlihat sangat khawatir sejak tadi."
"Santi menangis sampai sesenggukan, Abi. Dan dia mengatakan hal yang tidak aku harapkan. Apa lagi dia mengatakannya di depan kedua temannya itu."
"Apa yang dikatakannya."
"Dia mencintaiku, Abi. Tapi, aku tidak mungkin membalas cintanya."
"Kenapa tidak." Jawab Pak Akmal santai.
"Aku tidak mencintainya, Abi. Dan Ummi juga pasti akan menentangnya."
"Kamu mencintainya, Ari. Jangan bilang kalau kamu tidak mencintainya."
"Tidak, Abi.Aku tidak mencintainya."
"Lalu, apa tujuanmu melindunginya."
Ari terdiam sesaat. "A..aku tidak mau melihatnya disakiti."
"Kenapa kamu tidak ingin melihatnya disakiti."
"A..aku.."
"Kamu tidak bisa menjawabnya, kan?"
Ari menatap Abinya.
"Kenapa kamu menatap Abi, nak. Jangan tanyakan pada Abi kebenaran ucapan Abi tadi. Tanyakan pada hatimu." Pak Akmal menunjuk dada Ari. "Apa kamu benar-benar mencintainya atau hanya sekedar ingin melindunginya seperti ucapan mu."
Ari langsung menunduk, merenungi kebenaran kata-kata Abinya.
"Sekarang, kamu shalat. Minta petunjuk pada Allah."
Ari mengangkat kepalanya, kembali menatap Abinya.
Pak Akmal tersenyum sambil menepuk-nepuk pundak anaknya. "Selamat berjuang. Assalamualaikum.."
Pak Akmal meninggalkan Ari yang masih bingung dengan perasaannya.
"Wa'alaikumsalam, Abi."
Sementara itu...
Santi menyembunyikan seluruh tubuhnya di bawah selimut. Teman-temannya yang baru kembali hanya menatapnya dengan heran.
Hanya Qonita yang mengetahui kejadian yang sebenarnya terjadi, mendekat dan duduk di pinggir ranjang yang ditempati Santi.
"Apa kamu baik-baik saja, Santi."
Hening, tidak ada jawaban. Santi pura-pura tidur, agar teman-temannya yang lain tidak ada yang curiga.
Salsa yang terakhir masuk ruangan ikut mendekat dan duduk di samping Qonita.
Qonita meletakkan jari telunjuknya di depan bibir agar Salsa tidak berisik. "Besok kita tanyakan padanya." Bisiknya di telinga Salsa.
Salsa langsung meninggalkan ranjang Santi untuk beristirahat.
Keesokan harinya..
Usai melakukan pembersihan di majelis ta'lim, Qonita dan Salsa mengajak Santi untuk diam di tempat itu.
"Kita istirahat dulu, Santi. Nanti kita kembali." Ucap Salsa.
"Tapi aku belum mandi."
"Nggak apa-apa, kok. Kita kan masih libur sekolah. Jadi mandinya bisa nanti dulu." Timpal Qonita
Santi hanya tersenyum pasrah.
"Ayo, kita duduk di bawah pohon nangka itu."
Salsa menarik tangan Santi agar mengikutinya.
"Kenapa kalian membawaku kesini?" Santi bertanya sambil mendudukkan tubuhnya di bawah pohon nangka itu.
"Ada yang ingin kami tanyakan padamu."
"Tentang apa, Mbak Salsa?"
"Masalah semalam."
"Masalah apa?"
"Kamu itu terlalu bertele-tele, Salsa. Tanyakan langsung pada poinnya, agar Santi tidak bingung." Timpal Qonita.
Salsa memutar bola matanya. "Masalahmu dengan Kak Ari semalam, Santi."
"K..kenapa Mbak Salsa menanyakan itu. A..apa Mbak Qonita menceritakan semuanya padamu."
"Dia bersamaku semalam, Santi. Ketika Kak Ari menanyakan keberadaanmu, aku mau ke kamar mandi bersama Salsa."
Santi menunduk. "A..apa Mbak Salsa mendengarkan semua yang aku katakan pada Kak Ari."
"Tidak, Santi. Aku pergi saat Kak Ari mendekatimu. Itulah mengapa aku bertanya karena aku penasaran."
"Salsa itu teman baikku, Santi. Dia tidak mungkin menceritakan masalahmu pada orang lain."
"Jujur, Santi. Aku iri melihatmu berpacaran dengan Kak Ari. Aku juga ingin di cintai oleh laki-laki yang sangat perhatian sepertinya." Ucap Salsa antusias
Santi langsung menatap Qonita. Bertanya pada gadis di depannya dengan isyarat matanya.
Qonita hanya mengangkat bahu.
"Kenapa kamu diam, Santi. Apa kamu tidak bahagia ketika Kak Ari memperlakukan mu seperti itu."
"Aku harus bahagia untuk apa, Mbak?" Santi balik bertanya
"Kamu salah paham, Salsa. Santi dan Kak Ari tidak ada hubungan apa-apa." Timpal Qonita.
Salsa sedikit terkejut. "T.. tapi, semua santri mengatakan kalau Kak Ari dan Santi itu ada hubungan khusus."
"Itu karena Kak Ari memberikan perhatian yang lebih pada Santi." Timpal Qonita lagi
Santi hanya menunduk mendengarkan dirinya diperdebatkan oleh dia gadis di samping kiri dan kanannya.
"Maksud kamu?"
"Kak Ari hanya ingin melindungi Santi. Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri kalau dia akan selalu melindungi Santi."
"D..dari mana Mbak Qonita tau?" Santi mengangkat kepalanya. Segera mengusap air matanya yang sudah merembes dari tadi.
"Kak Ari sendiri yang mengatakannya padaku semalam, Santi."
Santi tertegun. "Kenapa sesakit ini rasanya, Mbak?" Air mata Santi kembali mengalir deras. Menepuk-nepuk dadanya yang terasa sesak.
"T..tapi, Kak Ari menatapmu dengan tatapan yang berbeda, Santi. Aku bisa melihat kalau dia juga menyimpan rasa kagum untukmu." Salsa mengusap-usap punggung Santi yang sesenggukan.
Santi menggeleng pelan. "Tidak, Mbak. Dia mencintai Nara. Dia hanya ingin melindungi ku seperti yang dia katakan. Dia hanya takut kalau ayahku mengetahui keberadaan ku."
"Kamu pasti aman di tempat ini, Santi. Tapi, sepertinya mulai sekarang kamu harus menghindar darinya." Ucap Qonita.
"Aku memang akan melakukan itu, Mbak. Aku tidak mau semakin mencintainya. Melihatnya akan membuat rasa ini semakin menyiksaku."
"Bukan itu maksudku, Santi. Kita akan mengetahui apa Kak Ari benar-benar hanya ingin melindungimu atau mencintaimu."
Santi tersenyum kecut. "Itu hanyalah mimpiku, Mbak, dicintai oleh laki-laki baik seperti Kak Ari. Biarlah aku memendam rasa ini sendiri. Aku berharap, rasa ini akan terkikis seiring dengan berjalannya waktu."
"Kamu jangan terlalu lemah, Santi. Cinta itu perlu perjuangan, bukan dibiarkan terkikis." Ucap Salsa
Santi kembali tersenyum kecut. " Tapi aku tidak mau memperjuangkan cinta yang bertepuk sebelah tangan, Mbak. Biarlah Allah yang mengatur segalanya."
Qonita dan Salsa hanya mengangkat bahu. Tidak bisa menggoyahkan keputusan Santi.
"Ayo, Mbak. Kita kembali ke asrama kita melewatkan sarapan kita." Santi beranjak bangun. Mengibas-ngibaskan bagian bawah gamisnya yang kotor karena duduk di atas rumput tadi.
"Tunggu, Santi!" Qonita menggenggam tangan Santi yang masih menunduk.
"Ada apa lagi, Mbak?"
"Apa kamu yakin, tidak akan memperjuangkan cintamu."
"Tidak, Mbak." Jawab Santi singkat.
"Kami akan membantumu."
"Terimakasih, Mbak. Tapi aku tetap pada pendirian ku." Santi melepaskan tangan Qonita yang menggenggam tangannya. Melangkah meninggalkan Salsa dan Qonita yang masih duduk di atas rumput.
"Bagaimana kalau Kak Ari juga mencintaimu. Apakah kamu akan tetap menghindar darinya."
Santi menghentikan langkahnya. "Itu hanya harapan, Mbak Qonita. Terimakasih sudah mau mendengarkan keluh kesah ku. Aku duluan, assalamualaikum."
Santi berlari kecil meninggalkan Salsa dan Qonita. Air mata yang sempat mengering, kembali mengalir dengan deras.
* * *
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 141 Episodes
Comments