Santi sesenggukan dalam pelukan Ainun. "Mbak Ainun janji kan, akan kembali lagi kesini?"
"Iya, Santi. Aku tidak mungkin tidak kembali. Calon suamiku ada disini."
Ari yang terlihat berjalan dari kejauhan mengalihkan perhatian Santi. "Kenapa Kak Ari kesini lagi, Mbak. Apa kekasihnya itu akan datang menemuinya di ruangan Mbak Ainun seperti kemarin?"
"Tidak, Santi. Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi lagi. Lagi pula, Ari sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi dengannya. Kamu jaga jarak dengannya. Nara itu seperti ular berbisa, yang akan mematok mu tanpa kamu sadari."
Ada rona kebahagiaan terpancar dari wajah Santi saat Ainun mengatakan, kalau Ari sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi dengan Nara.
"Assalamualaikum.."
Ari mengucap salam seraya mencium tangan kakaknya. "Apa kabar, dek. Apa kamu baik-baik saja?"
"Aku baik, Kak." Jawab Santi canggung.
"Ingat, Santi. Jaga jarak dengan Nara selama aku tidak ada disini." Sambung Ainun.
"Iya, Mbak."
"Ada apa dengan Nara, Kak. Kenapa Kak Ainun berpesan seperti itu pada Santi."
"Aku hanya tidak mau melihat Santi terluka karena mulut pedasnya, Ari."
"Nara tidak seburuk itu, Kak."
"Itu hanya berlaku padamu, Ari. Tapi tidak pada kami."
"Maksud, Kakak?"
"Jangan bahas gadis itu, Ari. Ayo kita berangkat. Pak Parjo sudah menunggu kita di gerbang."
"Semoga selalu dalam lindungan Allah, Kak." Ucap Santi. Melepaskan tangan Ainun yang dia genggam sejak tadi."
"Kamu tidak mendoakan ku juga, dek?" Tanya Ari sambil tersenyum. Mendekati Santi yang berdiri beberapa meter di depannya.
"Untuk Kak Ari juga. Semoga Allah selalu melindungi mu di setiap langkahmu."
"Amiinn." Jawab Ari. " Jaga dirimu baik-baik. Kami akan kembali seminggu lagi."
Ari menepuk pelan kepala Santi. Kebiasaan yang belum bisa dia hindari walaupun Santi berulang kali memperingatinya.
Dada Santi berdebar. Tapi, dia tidak memprotes tindakan Ari tersebut. "Iya, Kak." Jawabnya singkat.
Air mata Santi kembali menetes saat Ainun dan Ari berjalan menjauh, meninggalkannya di tempat itu. Setelah puas menatap kepergian mereka, Santi mengusap air matanya. Dia berbalik untuk kembali ke asramanya.
Sebuah tepuk tangan dari arah samping menghentikan langkahnya. Santi menatap ke arah gadis yang memberikannya tepuk tangan itu. "N..Nara." Lirihnya pelan.
Santi berusaha menghindar dengan berjalan lebih cepat.
"Berhenti!" Teriak Nara.
Santi menghentikan langkahnya. Namun, dia enggan untuk menoleh.
Nara lebih mendekat dan mendorong Santi, agar masuk ke dalam ruangan asrama di sampingnya. Mengapit Santi di tembok asrama itu, agar tidak bisa kabur darinya. "Kenapa kamu menghindar dariku. Aku tau kalau kamu mencintai Kak Ari." Nara mengernyitkan bibirnya. "Aku benci melihatnya seperti itu padamu. Dia tidak suka disentuh aku. Tapi, dia bahkan dengan sengaja menepuk kepalamu seperti tadi."
"K..kak Ari memang selalu melakukan itu padaku."
"Kau bahagia kan, melihat kak Ari seperti itu padamu."
Santi hanya terdiam. Matanya tajam menatap gadis yang sedang mencengkram pundaknya.
"Aku bahkan sampai memohon untuk hanya sekedar menyentuh tangannya. Aku sampai menangis untuk hanya sekedar menjabat tangannya. Kamu tau dia bilang apa."
Santi masih diam dan terus menatap Nara.
"Dia bilang, kita bukan muhrim, Nara. Aku akan memberimu kebebasan untuk menyentuh anggota tubuhku, jika kamu halal untukku." Mata Nara menatap setiap inci wajah Santi. Mencengkram dagu gadis itu dengan kuat. "Apa yang spesial dari dirimu, Santi!" Ucapnya sambil menghentak wajah Santi dengan tangan kirinya.
"Lepaskan aku, Nara." Santi memberontak mencoba melepaskan dirinya dari cengkraman Nara.
Qonita yang baru datang dari luar langsung menarik tangan Nara. "Apa yang kamu lakukan, Nara? Apa kamu belum puas, membuat keributan? Nyawamu tinggal satu disini, Nara. Jangan banyak tingkah kalau kamu masih ingin bertahan."
"Kamu jangan ikut campur, Qonita. Aku hanya mau memperingatkan gadis mualaf ini, agar dia tidak berani lagi mendekati Kak Ari."
"Santi tidak mungkin bisa menghindar dari Kak Ari, Nara. Mereka tinggal di satu rumah yang sama."
Santi masih diam mendengar perdebatan dua orang di depannya. Mengusap-usap dagunya yang terasa nyut-nyutan karena tindakan Nara tadi.
"Terserah! intinya, aku tidak suka melihatnya dekat dengan Kak Ari."
"Ayo, Santi. Jangan ladeni ucapan orang yang kurang waras ini."
Qonita menarik tangan Santi, agar segera meninggalkan ruangan itu.
Santi segera mengikuti langkah Qonita. kembali ke asramanya.
"Aku hanya orang baru disini. Tapi, kenapa gadis itu sangat beringas padaku, Qonita?" Ucap Santi. Duduk di ranjangnya yang berantakan.
"Memang begitu sifatnya dia, Santi. Jika dia merasa sesuatu itu adalah miliknya. Maka dia tidak akan tinggal diam dan akan menyingkirkan siapapun itu yang merebut miliknya itu."
"Tapi, Kak Ari itu bukan suaminya. Kenapa dia berfikir seperti itu."
"Allah menciptakan manusia dengan rupa dan sifat yang berbeda, Santi. Jadi, jangan tanyakan kenapa dia bisa berfikir seperti itu.
"Astagfirullahal'adzim,"
"Ayo kita makan dulu, aku sudah masak untuk kita makan."
"Kenapa kita masak sendiri di tempat ini. Aku dengar di pondok pesantren yang lain. Para santri di tanggung."
"Justru dengan begini, kita bisa mandiri."
Santi hanya tersenyum menanggapinya.
* * *
Pak Akmal memeluk kedua anaknya. "Maafkan Abi tidak bisa menjemput kalian."
"Tidak apa-apa, Abi." Jawab Ari, tersenyum menatap Abinya.
"Kamu benar-benar menepati janjimu, nak?"
"Janji apa, Abi?"
"Janjimu untuk menjadi anak yang baik dan tidak lagi melanggar peraturan yang berlaku di pesantren."
"InsyaAllah, Abi."
Ainun mendengus. "Wanita ular itu masih mengejar Ari, Abi. Dia bahkan berani me..."
"Kak! jangan mengatakan apapun pada Abi. Aku akan menjadi anak yang baik dan tidak akan lagi ketemuan dengan Nara."
Ainun memutar bola matanya, kesal mendengar ucapan adiknya. "Terserah kamu, dek."
Bu Fatimah yang baru tiba, duduk di depan suami dan kedua anaknya. "Ada masalah apa ini. Kenapa kalian heboh sekali."
"Tidak ada apa-apa, Ummi." Ucap Ari segera.
"Wanita ular itu mengejar-ngejar Ari, Ummi." Ucap Ainun membantah ucapan adiknya.
"Maksud kamu?"
"Itu, Ummi. Pacarnya Ari yang membuat kasus dengan Ari kemarin. Dia mencari Ari di ruangan ku, Ummi."
"Tidak baik bilang begitu, nak. Siapapun dia, bagaimanapun caranya bersikap, dia tetap hamba ciptaan Allah." Tegas Pak Akmal.
Ainun terdiam mendengar teguran Abinya.
"Apa kamu tidak merasa berdosa, nak. Mengatakan ciptaan Allah itu seperti itu?"
Ainun kembali mendengus. "Aku tidak suka dengan sifatnya, Abi."
"Berhenti egois dan merasa dirimu yang paling benar, nak. Belum tentu Allah meridhoi perbuatan mu itu."
Ari menatap kakaknya yang menunduk mendengar nasihat Abinya. "Maafkan aku, Kak. Aku akan benar-benar memutuskan hubungan dengan Nara jika itu membuat kan Ainun tidak nyaman."
Ainun menatap adiknya. "Tapi, gadis itu sangat sulit dibilang begini begitu, Ari. Aku bingung denganmu. Apa yang membuatmu bisa jatuh cinta padanya."
"Aku hanya penasaran dengan dia, Kak. Teman-teman bilang, pacaran dengan dia banyak untungnya. Setelah aku tau maksud mereka, aku menyesal, kak."
"Seharusnya kamu fokus pada kuliah kamu, nak." Timpal Bu Fatimah. "Jangan memikirkan wanita dulu, sebelum menuntaskan kuliah kamu."
"Kalau Abi berbeda pendapat dengan Ummi kamu. Kalau kamu memang butuh wanita untuk menyemangati mu. Menikah, nak. Abi tidak akan melarangmu. Daripada kamu terus-terusan mendapat hukuman di pesantren karena sering ketemuan."
"Abi itu apaan, sih. Jangan mengajarkan anak untuk nikah muda, Abi. Mau kasih makan apa anak orang nanti " Timpal Bu Fatimah ketus.
"Tidak, Abi. Ari akan benar-benar berubah sekarang dan fokus pada kuliah Ari.
"Baguslah kalau begitu, nak. Abi akan tunggu perubahan itu."
* * *
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 141 Episodes
Comments
☠⏤͟͟͞R🎯™𝐀𝖙𝖎𝖓 𝐖❦︎ᵍᵇ𝐙⃝🦜
semangat ari persikab dan berperilaku dewasalah kamu
2022-04-05
0