"Apa yang terjadi. Kenapa Nara mengusik mu, Santi?"
"Dia selalu mengganggu Santi, Kak." Timpal Qonita.
"Tapi, kenapa?" Tanya Ari lagi, heran mendengar pengaduan Qonita.
"Dia tidak suka melihat Santi..."
"Jangan, Qonita! Tahan mulutmu untuk menceritakan semua tentangnya."
Qonita menatap Santi. "Kak Ari berhak tau perlakuan Nara terhadapmu selama Kak Ainun tidak disini, Santi."
"Siapa gadis yang bernama Nara itu, Ari?" Tanya Pak Akmal.
"Dia kekasihnya Kak Ari, Om." Timpal Santi.
"Dia yang disebut wanita ular oleh kakakmu itu?"
"I..iya, Abi." Ari mengalihkan perhatiannya pada Santi. "Katakan, Santi. Apa yang dilakukan wanita itu padamu." Ucap Ari sambil merengkuh pundak Santi.
"Jaga sikapmu, nak!" Pak Akmal memindahkan tangan Ari dari pundak Santi. "Ini pondok pesantren, nak. Bukan rumah kita. Jadi, kamu jangan semena-mena."
"Maafkan Ari, Abi. Tapi, Ari benar-benar tidak menyangka kalau Nara benar-benar mengusik ketenangan Santi di tempat ini."
"A..aku ke asrama dulu, Om, Kak Ari. Assalamualaikum," Santi langsung berlalu, berlari kecil meninggalkan Pak Akmal dan Ari yang masih menatapnya.
"Apa yang terjadi padanya, nak?" Tanya pak Akmal pada Qonita yang masih berdiri di depannya.
Qonita memberanikan diri menatap Pak Akmal. "N.. Nara selalu menyakitinya, Pak. Hari pertama Kak Ainun pergi. Nara menyeret Santi ke dalam ruangan asrama kosong yang sedang ditinggal pemiliknya shalat berjama'ah."
"Nara sekejam itu." Lirih Ari.
"Jangan menyela, Ari. Biarkan gadis ini menyelesaikan ceritanya dulu." Ucap Pak Akmal. "Lanjutkan, nak."
Qonita menatap Ari sekilas. Kesal karena masih saja tidak percaya dengan sikap Nara yang semena-mena. "Setelah dia menyeret Santi, dia mencengkram Santi dan menamparnya beberapa kali."
"Kenapa kalian tidak melaporkan perbuatannya pada pengurus pesantren." Teriak Ari, yang sudah mulai naik pitam.
"Pelankan suaramu, nak. Kamu menarik perhatian banyak orang." Ucap Pak Akmal.
Ari mengusap mukanya kasar. "Astagfirullahal'adzim, kenapa aku percaya pada omongan manis wanita itu."
"Kami mau melaporkan kejadian itu. Tapi, Santi mencegah kami, Pak. Dia sampai memohon-mohon, agar kami tidak melaporkan perbuatan Nara."
"Aku mohon, jangan sakiti dia. Santi sudah sangat lelah disakiti." Ucap Ari tiba-tiba.
Pak Akmal langsung menatap putranya heran. " Bisakah kamu meninggalkan kami, nak. Aku mau ngomong sama Ari."
Qonita mengangguk. "Aku pamit, Pak. Assalamualaikum,"
"Wa'alaikumsalam."
"Ayo, nak, kita kembali ke rumah."
Ari mengangguk pasrah, mengikuti langkah Abinya. Penyesalannya sedang memuncak saat ini. Telah mengabaikan semua nasehat kakaknya, nasehat orang tuanya dan teman-teman dekatnya demi gadis yang bernama Nara itu.
Pak Akmal menutup pintu kamarnya. Menuntun Ari untuk duduk di ranjang. Berbagai nasehat dia berikan pada putranya sepanjang perjalan menuju rumah Ismail.
"Kau memiliki perasaan pada Santi, nak. Matamu menunjukkan akan hal itu."
"Aku tidak mencintainya, Abi. Aku hanya kasihan padanya. Aku menyayanginya seperti rasa sayang seorang kakak pada adiknya."
"Jangan bilang begitu, nak. Abi merasa kamu tidak mengatakan itu karena Ummimu. Iya, kan?"
"Maksud, Abi?"
"Karena Ummimu tidak menginginkan Santi dekat denganmu. Itu adalah alasan mengapa kamu tidak berani mengatakan memiliki perasaan pada gadis itu."
"Tidak, Abi."
"Jangan berbohong, Ari. Abi tidak akan mencegahmu, nak. Jika kamu mencintainya. Setelah pendidikan kalian selesai, nikahi dia, nak. Dia adalah wanita terbaik untukmu. Itu hanya menurut pandangan pribadi, Abi."
"Kenapa Abi berkata begitu. Kenapa Abi tidak seperti Ummi, yang menentang. Bahkan ketika aku hanya memberikan sedikit perhatian pada Santi."
"Ummimu seperti itu, karena dia tidak tau asal usul Santi. Dia ingin punya menantu yang berkelas. Yang jelas keturunannya."
"Aku hanya ingin melindungi Santi, Abi. Tapi, aku tidak berniat untuk memilikinya."
"Jangan berkata begitu, nak. Kamu tidak tau apa yang akan terjadi padamu dan padanya suatu hari nanti. Mulai sekarang, perbaiki niatmu. Kamu sudah dewasa, Ari. Jangan gonta ganti pacar. Mereka juga manusia, nak."
Ari menunduk mendengar nasihat Abinya.
"Aku ingin mengajak Santi ke rumah ini, Abi."
"Tidak semudah itu, nak. Kita harus minta izin dulu pada Abah Habiburrahman."
"Abi yang minta izin."
"InsyaAllah, besok Abi bilang pada beliau."
"Nanti malam saja, Abi."
"Santi akan sekolah besok, nak."
"Pihak pesantren sudah meliburkan santri, Abi."
"Kamu ini, Ari. Selalu saja membantah."
Ari hanya tersenyum, menampakkan jajaran giginya yang rapi.
* * *
"Santi, kamu di suruh menghadap ke rumahnya Ustadz Ismail." Ucap seorang santri yang menyampaikan pesan dari Ari.
"Ada apa. Apa aku punya salah, sehingga disuruh kesana?"
"Aku tidak tau. Aku hanya di suruh menyampaikan kepadamu."
"Terimakasih kalau begitu."
Santi masuk ke dalam asramanya. Mencari tau keberadaan Qonita. Memintanya untuk menemaninya ke rumah Ismail.
"Kenapa aku harus takut. Mbak Ainun juga pasti ada disana." Ucapnya menghibur diri, agar kegugupannya berkurang.
Santi tidak mendapati Qonita di tempat tidurnya. "Mbak Qonita ! Ayo temani aku sebentar."
"Kamu mau kemana, Santi. Ini sudah mau masuk waktu ashar!" Teriak Qonita dari dapur.
Santi mengembangkan senyumnya dan mendekat ke arah dapur. "Ustadz Ismail memanggilku. Tapi, aku tidak tau ada apa."
"Benarkah?" Qonita langsung bangkit. " Aku sudah enam tahun di asrama ini, tapi tidak pernah sekalipun di panggil langsung ke rumah Ustadz Ismail."
"Aku juga tidak tau, Mbak."
"Hei, kau memanggilku Mbak sekarang, Santi."
"Aku sudah membaca biodata di ranjang mu. Usia Mbak Qonita lebih tua daripada aku. Jadi, mulai sekarang aku akan memanggilmu Mbak Qonita."
Qonita mendengus. "Terserah kamu sudah, Dek Santi."
"Hahaha.." Santi tertawa renyah. "Ayo makanya, antar aku kesana."
"Nanti saja ya, habis shalat berjama'ah."
"Apa Ustadz Ismail tidak akan marah, kalau aku telat?"
"Tidak akan, Santi. Ustadz Ismail itu adalah ustadz yang paling baik dan tampan. Orangnya lemah lembut dan sangat murah senyum."
"Ternyata Mbak Ainun sangat beruntung mendapatkan laki-laki berperangai seperti itu."
"Itu sudah jelas, Santi. Ayo kita wudhu dulu. Masakan ku sudah matang."
Santi mengangguk, " Aku yang duluan ya, Mbak."
"Iya, aku mau beres-beres dulu."
* * *
Santi duduk di ruang tamu rumah Ismail. Mengedarkan pandangannya. Menatap kagum keasrian ruangan yang ditata dengan sangat rapi.
Qonita langsung kembali lagi ke asramanya saat mengetahui kalau Santi akan menginap di rumah Ismail malam itu.
"Subhanallah, kapan aku akan punya rumah serapi dan sebersih ini." Ucap Santi lirih.
Lama menunggu tanpa ada orang yang menghampirinya. Santi jadi merasa malu. Benar tidak dia disuruh ke tempat itu, atau santri yang menyampaikan tadi salah orang.
"Besok adalah acara akad nikah Mbak Ainun. Mudah-mudahan aku bisa melihatnya secara langsung. Aku sangat merindukanmu, Mbak." Ucapnya lagi di tengah kesendiriannya.
"Aku juga merindukanmu, dek."
Santi terkejut, langsung berbalik. "Astagfirullah, Kak Ari. Aku tidak bilang merindukanmu."
"Tapi, tadi aku dengar kamu bilang merindukanku."
"Aku bilang, aku merindukan Mbak Ainun, Kak. Bukan Kak Ari."
"Assalamualaikum..ini kenapa ribut sekali." Ucap Ismail dan Ainun yang baru tiba. Diikuti oleh Pak Akmal dan Bu Fatimah di belakang mereka.
"Wa'alaikumsalam, Mbak Ainun.." Santi langsung berdiri dan menghambur ke dalam pelukan Ainun.
"Ini ada apa, dek. Apa kamu sedih ditinggal menikah?" Ismail mencoba meledek Santi yang mulai sesenggukan.
Santi menoleh. " Siapa yang tidak bahagia melihat Mbak Ainun bahagia. Tapi, aku sedih karena tidak ada lagi yang akan membimbingku seperti biasa."
"Kamu bisa datang ke rumah kami, dek. Pintu rumahku akan selalu terbuka untuk Santi Carlos."
"Itu bukan namaku, Kak."
"Ups, aku salah? Lalu nama panjang mu siapa?"
"Nama panjangnya Santi Aurora, Kak." Timpal Ari.
"Aku cuma bercanda. Siapa yang tidak akan mengingat nama gadis imut yang mengucapkan dua kalimat syahadat di pondok pesantren ini."
"Itu sangat benar, Kak." Timpal Ari lagi. membuat dada Santi langsung berdebar.
Santi menatap lama Ari.
"Sebenarnya, apa yang aku harapkan darimu, Kak. Kau bersikap baik padaku seolah-olah aku adalah orang yang penting dalam hidupmu. Jangan bersikap baik padaku, Kak. Aku takut tidak bisa mengendalikan perasaanku lagi." Batin Santi. Masih menatap Ari tanpa berkedip.
Ainun menyentuh paha Santi. "Ada apa, Santi? Apa kamu tidak nyaman di sini?"
Santi terkejut dan langsung menoleh. "B..bukan begitu, Mbak."
"Tapi kamu terlihat sedih."
Santi langsung mengusap air matanya yang mengalir tanpa Ia sadari. " I..ini air mata kebahagiaan, Mbak." Ucapnya, mengembangkan senyumnya.
"Kalau ada sesuatu yang mengganjal di hatimu. Katakan padaku. Jangan sembunyikan walaupun secuil masalah."
"Iya, Mbak."
"Padaku juga, Santi." Ucap Ari, tersenyum menatap wanita di depannya.
"I..iya, Kak." Jawab Santi tergagap.
* * *
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 141 Episodes
Comments