"Abi kemana saja, sih?! Kita capek nunggu Abi dari tadi." Ucap Ainun kesal sambil melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya.
"Abi ada urusan sebentar tadi, nak." Jawab Pak Akmal.
"Ummi kan sudah bilang sama Abi. Kalau Abi sibuk, nggak usah ajak kami keluar, Abi." Timpal Bu Fatimah, tidak kalah ketus dengan Ainun.
"Astagfirullahal'adzim, Ummi. Abi cuma pergi lsebentar. Urusannya mendadak jadi tidak bisa ditunda."
"Abi itu banyak alasan. Nggak pernah mau ngaku salah. Bilang maaf, kek, biar kami tidak terlalu kecewa karena lama menunggu."
Pak Akmal masuk ke dalam mobil tanpa menghiraukan ocehan istrinya.
"Kamu lihat kan, Ainun. Abi mu tidak pernah merasa bersalah. Dia selalu merasa, dirinya yang paling benar."
"Sudahlah, Ummi. Biarkan saja. Ayo kita masuk, ini sudah mau masuk waktu ashar.
Bu Fatimah akhirnya menuruti ucapan putrinya dan masuk ke dalam mobil.
"Ummi sudah capek ngomel?" Ucap Pak Akmal dari balik kemudi tanpa menoleh.
"Belum. Tapi nggak ada yang mau dengar." Timpal Bu Fatimah sambil mendengus.
Pak Akmal menarik sebelah sudut bibirnya. "Nggak baik terlalu banyak omong, istriku. Nanti mulutmu yang indah itu berbusa."
"Abi memuji, tapi Abi juga merendahkan." Timpal Bu Fatimah ketus.
"Ayo kita pulang, Abi, Ummi. Kok, malah berdebat." Ucap Ainun.
"Abi mu yang memulainya duluan, nak!"
"Jangan berdebat lagi, Ummi." Timpal Ainun lagi.
Pak Akmal hanya tersenyum melihat kekesalan istrinya."Bismillahirrahmanirrahim,"
* * *
Ari merenung, duduk bersandar di dashboard tempat tidurnya. Ucapan Abinya memutar-mutar di memori otaknya. Apa iya, dia tertarik pada Santi. Dia mendongak, membayangkan wajah imut Santi. Tiba-tiba, senyumnya mengembang.
"Aku kenapa jadi memikirkannya, ya?" Ucapnya pada dirinya sendiri.
Ari kembali memperbaiki duduknya, kejadian-kejadian berbeda saat dia bersama gadis itu memutar di kepalanya. Dia menautkan alisnya saat mengingat, bagaimana dia menarik tangan gadis itu dan menggenggamnya dengan erat.
"Astagfirullah, apa yang sudah aku lakukan. Aku sangat tidak suka bersentuhan dengan lawan jenis jika tidak sedang darurat. Tapi, ini malah aku yang menggenggam tangannya dan menariknya tadi." Ucapnya lirih. "Apa benar aku kata Abi?" Sambungnya.
Ari tertawa kecil saat mengingat ekspresi Santi saat jatuh ke kolam tadi. "Kasihan juga dia. Aku juga, kenapa mendorongnya sampai seperti itu."
Ari mengubah posisinya lagi, tidur telungkup dan menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut.
Sementara itu..
Santi duduk di depan meja riasnya sambil menyisir rambutnya yang basah. Dia masih mengomel, kesal pada Ari yang menertawakannya tanpa beban tadi. "Dasar Kak Ari jahat. Awas saja, nanti aku akan balas perbuatan mu."
Santi menatap bayangannya di cermin sambil melamun. "Kenapa aku merasa bahagia saat dia menggenggam tanganku tadi? Kenapa jantung ini terasa mau meledak pas aku jatuh menindihnya tadi?"
Santi senyum-senyum sendiri. "Hus! Kamu apaan sih, Santi. Tau diri dong, siapa kamu dan siapa dia. Jangan terlalu berharap lebih." Ucapnya seraya menghembuskan nafasnya kasar.
Tok tok tok!
Santi langsung menoleh ke arah pintu. Siapa yang mengetuk pintu kamarnya. Jangan sampai Ari. Dia tidak mau di benci Bu Fatimah lagi, gara-gara Ari ada di depan pintu kamarnya.
"Santi, buka pintunya. Ini aku, Ainun."
Santi langsung bernafas lega dan segera membukakan pintu untuk Ainun.
"Kenapa lama sekali sih, buka pintunya?" Protes Ainun.
"Maaf, Mbak. Aku di kamar mandi tadi."
Ainun langsung masuk dan mengamati isi kamar Santi. Paper bag yang di tenteng di tangannya, lupa dia serahkan.
"Kak Ainun bawa apa itu?"
Ainun mengangkat paper bag itu. "Oh iya, aku lupa. Ini untuk kamu." Ucapnya sambil menyerahkan paper bag itu pada Santi. " Itu kamu pakai besok."
"Ini apa, Mbak?" Tanya Santi sambil menerima paper bag itu.
"Itu baju. Kamu coba dulu, mudahan bajunya pas di badan kamu."
Santi membuka paper bag itu dan mengeluarkan isinya. Dia agak terkejut melihat model baju yang di bawakan untuknya.
"Mulai sekarang, kamu harus terbiasa menggunakan baju tertutup seperti itu." Ucap Ainun untuk menjawab semua rasa penasaran Santi.
"Ini namanya baju apa, Mbak?"
"Itu namanya gamis, Santi. Nanti di pesantren, hanya baju itu yang boleh di pakai santri saat di luar ruangan asrama."
"Maksud Mbak Ainun?"
" Jika kamu sudah di pesantren, kamu tidak akan asing lagi dengan baju gamis seperti ini. Baju seperti ini adalah baju yang di pakai para santri sehari-hari." Jelas Ainun.
"Oh, begitu, Mbak."
"Iya. Kamu boleh pakai baju kaos atau celana. Tapi, kalau sedang di dalam ruangan asrama. Kalau di luar, ya harus pakai baju yang begini."
Santi manggut-manggut mendengar penjelasan Ainun. Terus, kalau shalat juga harus pakai ini?"
"Shalat pakai mukenah, Santi. Sama sih dengan di rumah. Tapi, kalau untuk bajunya boleh bebas. Soalnya kan tertutup oleh mukenah. Ayo kamu coba dulu. Aku tunggu di sini.
Santi mengangguk, lalu masuk ke kamar mandi.
Ainun menganga tak percaya melihat gadis cantik yang membaluti tubuhnya dengan gamis yang baru saja Ia serahkan padanya. "Subhanallah, kau terlihat sangat cantik, Santi." Ucapnya seraya menutup mulutnya yang masih menganga kagum.
Mendengar Ainun memujinya, Santi tersenyum sumringah. Dia berputar-putar di depan Ainun, menunjukkan keanggunan dirinya.
"Telingamu kenapa jadi lebar gitu, Santi?"
Santi berhenti memutar dan meraba telinganya. "Telingaku kenapa, Mbak?"
"Ha..ha..ha.. telingamu jadi lebar, kau tidak mengerti maksudku apa?"
Santi menggeleng. Dia mendekati meja riasnya untuk bercermin. "Aku nggak ngerti, Mbak. Tapi, telingaku masih seperti biasa. Tidak ada perubahannya sedikitpun.
"Itu hanya perumpamaan, Santi. Itu perumpamaan karena tadi, kau terlihat sombong saat aku memujimu."
Santi menyebikkan bibirnya. Tapi, dia tersenyum kembali. "Tapi, aku beneran terlihat cantik kan, Mbak."
Ainun menghembuskan nafasnya. "Iya, kau memang cantik, Santi."
"Terimakasih, Mbak. Kau memang orang yang paling baik di dunia ini." Ucap Santi sambil mencubit gemas pipi Ainun.
"Tapi, kamu menyiksaku, Santi."
Santi langsung menghentikan aktivitasnya-. "Ups, maaf, Mbak."
"Kamu itu ya, Santi. Kamu coba pakai jilbabnya dulu, ini."
"Ini, bagaimana cara pakainya, Mbak?"
"Ini jilbab instan, Santi. Kau tinggal memakainya seperti ini." Ainun mempraktekkan cara memakai jilbab instan pada Santi.
"Oh, gitu ya, Mbak." Santi langsung mempraktekkan.
"Iya, Santi." Ainun memperbaiki jilbab Santi yang masih berantakan.
Santi tersenyum sambil menatap Ainun. "Bagaimana, Mbak?" Ucapnya, berlari ke depan cermin.
"Subhanallah, kamu semakin terlihat cantik, Santi."
"Al.. Al..Alhamdulillah.."
"Kamu ini, sudah satu bulan belajar Islam. Bilang Alhamdulillah aja, masih tersendat."
"Sabar, Mbak. Namanya juga orang belajar."
Ainun hanya tersenyum menanggapinya.
"Oh iya, Mbak. Kemana kalian pergi liburan? Apakah jadi ke pantai?"
"Bukan kami, Santi. Tapi kita. Kamu harus ikut. Aku tidak mau lagi mendengar alasan apapun itu."
"Mbak Ainun ini, lama-lama kayak Kak Ari yang tidak suka dibantah. Iya, Mbak, aku akan ikut." Timpal Santi sambil mendengus
* * *
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 141 Episodes
Comments