Menikahimu Tanpa Ridha Ummi
"Berhenti menyakiti Ummi dan Abi, Dek. Kasinan Abi dan Ummi, Dek."
"Kapan Ari menyakiti Ummi dan Abi, Kak? Kalian yang memaksaku untuk melakukan hal-hal di luar kendali."
"Tidak, Nak. Kami hanya ingin melihatmu menjadi manusia yang taat beragama, Nak. Kami tidak ada niat untuk membuatmu merasa tertekan." Ucap Bu Fatimah seraya mengusap-usap punggung anaknya.
"Kalau Ummi benar-benar menyayangi Ari. Hanya satu permintaan Ari, Ummi." Ucap Arianto sambil menggenggam tangan Bu Fatimah dengan erat.
"Apa, Nak? Jika Ummi mampu memenuhi keinginanmu. InsyaAllah, Ummi akan penuhi, Nak."
"Keluarkan aku dari pondok pesantren itu, Ummi. Ari capek di sana. Ari tertekan, Ummi."
Ainun langsung bangkit mendengar permintaan adiknya. Lalu..
Plak !
Tangan mulus Ainun berhasil menampar muka Arianto. "Permintaan macam apa itu, Dek?! Kamu malah semakin menyakiti Ummi dan Abi dengan permintaanmu itu."
"Sudah, Nak! Biarkan dia melakukan apapun yang dia mau. Abi sudah capek mengurusnya." Timpal Pak Akmal yang sudah tidak bisa menahan rasa kesalnya. Dia langsung beranjak meninggalkan ruang keluarga.
Arianto tersenyum kecut sambil memalingkan wajahnya, mengusap wajah bekas tamparan kakaknya tadi.
Bu Fatimah semakin sesenggukan. Dia tidak kuasa menahan rasa sesak di dadanya karena tingkah anak laki-lakinya.
"Kamu keterlaluan, Dek. Kamu tau dosa besar seorang anak yang membuat orang tuanya menangis ?"
"Aku tidak perduli, Kak Ainun mau bilang apa lagi. Aku sudah terlanjur menjadi anak yang tidak berbakti."
Arianto langsung berlalu.
Brak !
Bu Fatimah dan Ainun tersentak kaget.
Arianto membanting pintu ruangan itu sekuat tenaga.
"Maafkan Ummi, Ainun. Ummi gagal mendidik adikmu, Nak."
"Tidak, Ummi. Ini bukan salah Ummi. Mungkin, ini adalah ujian untuk keluarga kita, Ummi."
Bu Fatimah mengangguk, sesenggukan dalam pelukan anak gadisnya.
"Besok, Ainun akan kembali ke asrama, Ummi. Ainun akan mencoba menjelaskan pada pengurus pesantren."
"Terimakasih, Nak. Kamu sudah mau membantu Ummi."
Ainun tersenyum menatap Umminya. "Sekarang, Ummi istirahat dulu. Ini sudah larut malam. Tidak baik untuk kesehatan Ummi." Ucapnya, seraya menuntun Umminya kembali ke dalam kamar.
"Hubungi adikmu, Nak. Ummi mengkhawatirkan keadaannya."
"Jangan hubungi dia, Ainun. Biarkan saja dia berbuat semaunya."
Pak Akmal tiba-tiba muncul di belakang mereka.
Bu Fatimah menoleh menatap suaminya. "Ari itu anak kita, Abi. Bagaimanapun kelakuannya, dia tetap anak kita."
"Abi tau, Ummi. Tapi, untuk kali ini, dengarkan kata Abi. Biarkan Ari merasakan kerasnya kehidupan di luar sana. Mungkin, dengan cara ini, dia akan sadar. Betapa kita memperjuangkan kebaikannya, untuk kehidupan masa depannya."
Bu Fatimah kembali menitikkan air matanya. "Tapi, Ummi tidak kuat, jika harus melihatnya sengsara di luar sana."
"Untuk kali ini, kuatkan hati Ummi." Ucap Pak Akmal, lalu meninggalkan istrinya.
* * *
Sementara itu..
Seorang remaja laki-laki yang berumur sekitar dua puluh satu tahun, berjalan menyusuri trotoar jalan, menendang-nendang kerikil-kerikil kecil yang menghalangi jalannya. Air matanya menitik.
Dia adalah Arianto.
Dia menangis?
Iya, dia menangis. Dia menyesali perbuatannya yang telah membantah orang tuanya, hanya karena menginginkan kebebasan.
Arianto ingin bebas seperti kebanyakan remaja pada umumnya. Dia lelah hidup di pesantren. Sejak lulus dari sekolah dasar, Ummi dan Abinya memasukkannya ke pesantren, sampai saat ini, sudah kuliah semester enam. Sudah sering melanggar peraturan pesantren, agar bisa keluar dari tempat itu. Namun, selalu saja hukuman ringan yang dia dapatkan.
Namun, seburuk-buruk perangai seorang Arianto, dia masih mengingat dosa.
"Ampuni hamba ya Allah! Maafkan Ari, Ummi, Abi!" Teriaknya.
Ari duduk di tepi jalan, menundukkan kepalanya menahan Isak tangisnya.
Dia terkejut saat sebuah tangan menepuk pundaknya. Mengangkat kepalanya pelan. Mendongak, menatap seorang wanita yang berdiri di sampingnya.
Tengkuknya agak merinding melihat wanita yang berpakaian serba putih itu. Dia menatap sekeliling. Namun, tidak ada satupun orang lain selain mereka berdua.
Ketakutannya semakin menjadi saat memperhatikan wanita itu. Ujung bibirnya berdarah, pipinya agak lebam dan rambutnya sangat berantakan. Walaupun hanya diterangi lampu jalanan. Namun, Ari bisa melihat dengan jelas semuanya. Belum lagi, ada bercak darah di beberapa bagian pakaian wanita itu.
"K..kamu siapa?"
Wanita itu tersenyum manis. "Kamu jangan takut. Aku bukan hantu. Aku juga manusia, sama sepertimu."
Ketakutan Ari berangsur hilang mendengar pengakuan gadis itu. Dia menautkan alisnya, memperhatikan dengan seksama mata gadis itu. Matanya sembap seperti lelah menangis. "Kalau kamu manusia biasa, kenapa penampilanmu seperti hantu? Apa yang membuatmu tampil seburuk ini di hadapanku ?"
Wanita itu tersenyum kecut. "Aku tidak bisa menceritakannya padamu. Aku tidak mau membuka masalah pribadiku pada orang yang baru aku kenal. Tapi, sepertinya kamu juga sedang ada masalah, sama seperti aku."
Ari menarik sudut bibirnya. "Aku juga sama sepertimu, tidak mudah percaya dengan orang yang baru aku kenal."
Wanita itu tersenyum. Sepertinya, dia tertarik untuk berkenalan dengan Ari. Dia mengulurkan tangannya.
"Perkenalkan, namaku Santi Aurora."
"Maaf, aku tidak suka bersentuhan dengan lawan jenis." Ucap Ari, menangkupkan tangannya di depan dada. "Aku Arianto. Biasa di panggil Ari."
Wanita itu terlihat sedikit kecewa. Namun, dia kembali tersenyum. "Maafkan aku, tidak memahami ajaran agamamu."
Arianto terlihat keheranan. "Maksud kamu, apa?"
"Maaf, Ari. Aku non muslim." Jawab wanita itu.
"Astagfirullah.." Ucap Arianto terkejut.
"Kenapa? Apa kamu kaget?"
"B..bukan begitu. Tapi, ini adalah pengalaman pertamaku bertemu dengan saudara yang non muslim."
Santi tertawa kecil. "Pantesan, kamu terlihat kaget saat mendengar pengakuanku tadi."
Ari hanya tersenyum, tidak membalas ucapan Santi.
"Ini sudah larut malam, Ari. Kamu mau tidur dimana?"
Arianto hanya menggeleng, lalu menundukkan kepalanya.
"Aurora! Dimana kamu?! Cepat kembali sebelum kesabaranku habis!"
Muka Santi langsung terlihat tegang mendengar suara itu. Dia bertukar pandang dengan Ari.
"Siapa yang berteriak ma..."
"Dia Ayahku!" Santi langsung memotong pertanyaan Ari yang belum selesai.
Ari membelalakkan matanya.
"Bantu aku bersembunyi, agar dia tidak menemukanku. Aku mohon, Ari.
Santi menangkup kedua tangannya di depan wajah, berdiri bertumpu pada lutut. Memohon dengan sangat, agar Ari mau membawanya pergi dari tempat itu.
Tanpa berfikir panjang, Ari langsung meraih tangan Santi. Membawa gadis itu pergi, berlawanan arah dari sumber suara tadi.
Sambil berlari, Ari menoleh ke kanan dan ke kiri jalan untuk mencari tempat berlindung. Tidak mungkin mereka akan berlari menyusuri jalan. Karena ayahnya Santi terus mengejar mereka di belakang. Sekali-kali, Ari menoleh ke belakang untuk melihat keberadaan ayah Santi.
Pria itu masih mengejar mereka sambil terus berteriak, membawa sebuah pisau, mengumpat Santi yang menghindari amukannya.
Ari dan Santi berhenti di pertigaan jalan raya yang sudah sepi. Karena tidak ada kendaraan yang lalu lalang.
"Kita ke kanan atau ke kiri?" Tanyanya dengan nafas ngos-ngosan.
"Terserah kamu, Ari. Aku ikut kamu." Ucap Santi yang terlihat lemas.
Ari berbelok ke kanan. Dia berhenti sejenak, berfikir bagaimana caranya agar mereka bisa bersembunyi dengan aman.
"Kenapa kamu berhenti, Ari? Apa kamu menyesal telah membantuku?" Tanya Santi. Suaranya semakin lemah.
"T..tidak. Aku cuma sedang berfikir. Bagaimana caranya agar kita bisa mengelabui orang sangar itu."
"Dia ayyahku, Ari."
Ari tidak menghiraukan pernyataan Santi. Dia hanya menatap Santi sekilas.
Tiba-tiba, Ari berjongkok di dekat pohon bonsai yang berjejer rapi sepanjang jalan itu. Dia menarik tangan Santi, agar segera mengikuti yang dilakukannya.
"Kita kembali lagi ke tempat semula lewat sini. Tapi, apa kamu masih kuat untuk berjalan?" Tanya Ari pada gadis yang terlihat sangat lemah di sampingnya.
Santi hanya mengangguk pasrah. Daripada harus kembali lagi ke rumah neraka itu. Dia lebih baik mengikuti Ari, walaupun kehidupannya tentu akan berbeda. Tapi, setidaknya dia tidak akan tersiksa lagi.
* * *
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 141 Episodes
Comments