"Kamu yakin akan berangkat dengan kami?" Ainun bertanya sambil menatap Santi dengan khawatir.
"Iya, Mbak. Aku sudah sehat. Lihat, aku sudah bisa di ajak bicara dengan normal seperti biasa." Jawab Santi, meyakinkan Ainun yang terlihat masih ragu.
"Tapi, apa kamu tidak mau pemulihan dulu."
"Nggak usah, Mbak. Dulu aja waktu masih di rumah, tidak ada yang akan perduli kalau aku sakit. Kalau aku seperti kemarin, Ayahku akan menghilang sampai berhari-hari. Entah kemana dia pergi. Dia akan kembali setelah dua Minggu. Karena biasanya, pikiranku akan normal kembali setelah berhari-hari meringkuk sendirian."
Ainun menatap Santi dengan iba. " Semoga Allah mengangkat segala penyakitmu."
"Terimakasih do'anya, Mbak."
Ainun tersenyum seraya mengangguk. 'Baiklah, kalau kamu benar-benar yakin bisa ikut kami berangkat besok. Sekarang, kamu persiapkan pakaian kamu."
"Baju Muslimah ku cuma tiga, Mbak. Jadi, di tenteng pakai paper bag aja muat, kok."
"Astagfirullah, aku lupa, Santi. Maafkan aku."
"Nggak apa-apa, Mbak."
"Kalau begitu aku mau persiapkan pakaianku dulu ya."
"Iya, Mbak."
Ainun berjalan meninggalkan Santi menuju kamarnya.
Santi menatap Ainun sampai menghilang masuk ke kamarnya. Setelah puas menatap Ainun, Santi keluar rumah untuk mencari angin segar. Dia berjalan pelan sambil menghirup nafas dalam, menikmati sejuknya pekarangan rumah yang dia tempati sekarang.
"Hmm! Ada yang sedang bahagia kayaknya."
Santi menoleh, memastikan bahwa dia tidak salah dengar. "Kak Ari. Kamu dari mana, Kak?"
"Habis keluar sebentar sama Abi. Ada yang sudah kami beli untukmu."
Santi menautkan alisnya. "Untukku?" Tanyanya sambil menunjuk dirinya.
"Iya." Ucap Ari sambil mengacak-acak rambut Santi. "Aku masuk dulu ya." Sambungnya, berlalu dari hadapan Santi.
Dada Santi langsung berdebar. "Tunggu, Kak!"
Ari langsung menoleh. "Ada apa?"
"Jangan lakukan seperti itu lagi, Kak."
"Maksud kamu?"
"Jangan lakukan seperti yang Kak Ari lakukan tadi."
Ari terdiam, memikirkan hal apa yang dimaksud Santi. "Oh, maksud kamu, aku tidak usah mengacak-acak rambutmu, bukan begitu?"
Santi mengangguk pelan. "Iya, Kak."
"Kenapa? Apa kamu tidak suka?"
"B..bukan begitu, Kak. Tapi, aku tidak kuat."
"Kamu tidak kuat, kenapa?"
"Lupakan, Kak. Katanya, kakak tidak suka menyentuh yang bukan muhrim. Lalu yang tadi namanya apa?"
"Astagfirullah, maafkan aku, Santi. Aku tidak tau kenapa kalau padamu itu berbeda. Aku bahkan ingin mencubit pipimu."
"Apaan sih, Kak. Sudah, silahkan Kak Ari lanjutkan lagi langkah Kak Ari yang tadi tertunda."
"Kamu ada-ada saja, Santi." Ari sudah mengangkat tangannya untuk mengacak rambut Santi lagi.
"Ups, hampir lupa." Ucapnya sambil berlalu.
Santi tersenyum penuh arti. "Kenapa kau baik sekali padaku, Kak. Apakah kau..." Ucap Santi lirih. Matanya masih belum berkedip menatap kepergian Ari.
"Ah kamu apaan sih, Santi. Kalau berfikir yang masuk akal. Jangan berharap lebih. Syukur-syukur mereka mau menerimamu disini." Ucapnya menyadarkan dirinya sendiri sambil menepuk-nepuk pipinya.
Santi melanjutkan langkahnya menuju tempat paforit nya. Pinggir kolam ikan mini di taman rumah itu.
Setelah sampai, Santi duduk termenung sambil mengamati ikan yang lalu lalang di dalam kolam. "Semoga jalan yang ku ambil ini adalah jalan yang terbaik untukku." Ucapnya lirih.
* * *
"Bagaimana? Apa kamu bisa nyaman tinggal di ruangan yang ini?" Tanya Ainun, menepuk pundak Santi yang masih mengamati tempat tinggal barunya.
"Mudah-mudahan, Mbak." Jawab Santi tanpa mengalihkan pandangannya.
"Nanti sore, kamu akan dibimbing untuk mengucapkan dua kalimat syahadat oleh pemimpin Pondok Pesantren. Jadi, kamu harus latihan dari sekarang, agar kamu tidak tegang nanti. Aku mau ke ruangan ku dulu."
"Jadi, Mbak Ainun tidak satu ruangan denganku?"
Ainun tersenyum sambil menggeleng. "Tidak, Santi. Kamu akan satu ruangan dengan teman sekolahmu. Kamu berlima di ruangan ini. Yang berdiri di belakang kamu, semuanya teman sekelas kamu."
Santi menoleh ke belakang. "Hai!" Ucapnya, menyapa dengan sedikit malu-malu.
"Adik-adik, Kakak minta tolong sama kalian. Tolong terima Santi dengan segala kekurangannya. Jangan suka ghibah ya.. Saat ini, Santi ini non muslim. Jadi, dia ini calon saudara muslimah kita." Jelas Ainun.
Empat orang santri yang berdiri di belakang Santi hanya menganga tidak percaya. Dari tadi, mereka sudah bertanya-tanya saat mendengar percakapan Ainun dan Santi yang mengatakan, Santi akan dibimbing mengucapkan dua kalimat syahadat."
"Astagfirullahal'adzim, kenapa kalian bengong? Apa kalian tidak menerima keberadaan Santi disini?"
Empat santri itu langsung tersentak kaget mendengar ucapan Ainun.
"B..bukan begitu, Kak. Tapi, kami hanya terkejut. Kami akan menjadi teman yang baik untuknya." Jawab salah satu dari mereka.
"Alhamdulillah, kalau begitu terimakasih, adik-adik atas kebaikan kalian. Kakak titip Santi, ya."
Empat santri itu langsung mengangguk. "Iya, Kak." Jawab mereka serentak.
Ainun keluar dari ruangan itu, agar Santi dan teman-temannya lebih leluasa untuk berkenalan.
* * *
Sore ini, suasana di majelis ta'lim lebih ramai dari biasanya. Iya, karena sore ini seorang wanita muda akan di bimbing untuk mengucapkan dua kalimat syahadat untuk pertama kalinya.
Santi duduk di samping Ainun yang tersenyum haru menatapnya. Santi menatap sekitarnya yang terlihat seperti lautan manusia. Wajahnya terlihat semakin tegang saat mengetahui, bahwa semua mata tertuju padanya. Dia menarik nafas dalam, agar kegugupannya berkurang.
Ari mendekat dan duduk di depan Santi. "Semangat! Kamu pasti bisa." Ucapnya menyemangati. Setelah mendapat balasan senyuman dari Santi, dia langsung berlalu.
Bukannya mengurangi kegugupannya, senyuman Ari malah membuat jantungnya berdetak semakin kencang.
"Santi, tanganmu kenapa dingin sekali?" Tanya Ainun yang menggenggam tangan Santi dari tadi.
"Nggak tau, Mbak. Tapi, aku benar-benar gugup."
"Baca bismillah dulu, lalu serahkan semuanya pada Allah. InsyaAllah semua urusanmu akan berjalan dengan lancar." Ainun agak berbisik di dekat telinga Santi. "Kamu masih ingat kan, lafadz bismillah yang aku ajarkan?"
"Masih, Mbak. Aku kan menghafal dan memahaminya."
Ainun tersenyum. "Baguslah kalau begitu. Sebentar lagi, guru besar kita akan datang. Jadi, kamu bersiap-siap dan ingat! Kamu tenang dan jangan gugup. Semua akan baik-baik saja."
Santi hanya mengangguk pasrah.
Tidak lama menunggu, Pemimpin Pondok Pesantren yang mereka tunggu datang juga. Ainun mundur beberapa langkah. Setelah dipersilahkan duduk di depan Santi, beliau membuka acara peresmian Santi menjadi seorang mualaf.
Berbagai macam pertanyaan dilontarkan pada Santi. Gadis itu menjawabnya dengan lancar walaupun wajahnya terlihat sangat tegang. Dia meraba-raba Ainun yang tadi duduk disampingnya. Tapi, tidak ada siapapun di sampingnya. Santi tidak menyadari kepergian Ainun karena sibuk menenangkan pikiran.
Setelah acara selesai, Santi langsung bernafas lega. Air matanya meleleh tanpa Ia sadari. Tangis haru dari para santri yang menyaksikan Santi mengucapkan dua kalimat syahadat, terdengar pilu. Ainun yang duduk beberapa langkah di belakang Santi pun, tidak bisa menyembunyikan Isak tangisnya.
Ainun mendekati Santi untuk membawanya kembali ke asrama. "Kita kembali ke asrama. Kamu harus mandi setelah masuk Islam."
"Iya, Mbak. Tapi, kenapa Mbak Ainun nangis?"
Ainun mengusap air matanya. "Bukan aku saja yang nangis, Santi. Kamu lihat, para santri juga menangis mendengarkan kamu mengucapkan dua kalimat syahadat tadi. Ini bukan tangis kesedihan, Santi. Tapi, ini adalah tangis kebahagiaan kami yang menyaksikan bertambahnya saudara muslim kami."
Santi menghambur ke dalam pelukan Ainun. "Terimakasih, Mbak. Aku tidak akan sampai pada titik ini tanpa bantuan kalian."
Ainun hanya menepuk-nepuk punggung Santi. Bingung, mau menjawab apa ucapan gadis yang terisak dalam peluknya itu.
Ari mendekat ke arah mereka. "Bagaimana perasaanmu sekarang, Santi?" Tanyanya pelan, takut mengganggu gadis yang sedang larut dalam tangisnya itu. Tapi, dia lebih menjaga jarak karena menyadari tempatnya bukan lagi di rumahnya.
Santi melepaskan pelukannya dan menatap Ari. "Aku bahagia, Kak. Terimakasih, sudah membawaku ke dunia kalian yang indah ini."
Ari tersenyum. "Andaikan kamu halal untuk aku sentuh, aku ingin memelukmu erat, Santi."
"Ari! ini bukan di rumah, dek. Jadi, kakak mohon kamu jaga omongan kamu." Ucap Ainun yang tidak suka mendengar ucapan adiknya tadi.
Ari cengengesan. "Mereka tidak akan dengar, Kak."
Ainun hanya berdecak kesal lalu menarik tangan Santi untuk meninggalkan tempat itu.
* * *
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 141 Episodes
Comments