Ainun dan Ari mendekati Pak Akmal yang sedang menonton berita di televisi. Mereka saling mengisyaratkan dengan mata, siapa yang akan lebih dulu mendekati Abi mereka.
Pak Akmal menoleh. "Ada apa? Kenapa kalian berdiri di sana?" Tanyanya pada kedua anaknya. "Duduk, sini." Pak Akmal menepuk sofa di sebelahnya agar kedua anaknya lebih mendekat.
Ainun dan Ari berjalan lebih mendekat pada Abi mereka. Duduk di sofa kosong, tidak ada yang berani mengangkat wajah mereka karena Pak Akmal belum mengatakan akan memaafkan kesalahan Ari yang tempo hari.
Pak Akmal mematikan televisi. Beralih menatap kedua anaknya secara bergantian. "Apa ada hal yang ingin kamu sampaikan, Ainun? atau mungkin kamu, Ari? Mungkin,bkamu sudah berubah pikiran dan mau kembali lagi ke pesantren."
Ari mengangkat wajahnya, menatap Pak Akmal yang masih menunjukkan wajah kesal padanya. "Kami kesini bukan mau membahas hal itu, Abi."
"Lalu, untuk apa kalian mendatangiku?" Timpal Pak Akmal dengan ketus.
"Ini masalah gadis yang tempo hari dibawa Ari ke rumah ini, Abi." Jawab Ainun.
"Ada apa dengan gadis itu? Apa dia sudah sehat? Kalau dia sudah sembuh, suruh sopir mengantarnya pulang, agar kalian tidak direpotkan lagi oleh dia."
"A..anu, Abi." Ucap Ainun, takut-takut. "Ga..gadis itu..anu, Abi."
"Ngomong yang jelas, Ainun! Abi tidak paham dengan kata ini anu kamu itu." Tegas Pak Akmal.
Muka Ainun langsung berubah pucat. "Ini yang Ainun takutkan, Abi. Belum aja Ainun ngomong, Abi sudah ngomong ketus sama Ainun." Timpal Ainun, protes dengan sikap Pak Akmal.
Pak Akmal tertawa kecil. "Oh, ternyata putri Abi sudah berani protes sekarang."
"Abi, sih. Ketus aja sama Ainun. Kan, Ainun jadi takut sama Abi."
Ari hanya menunduk. Enggan ikut berkomentar. Dia tau, Pak Akmal masih marah padanya.
Bu Fatimah tiba-tiba muncul. "Apa yang sedang kalian bahas?" Ucapnya, seraya meletakkan nampan di meja depan suaminya.
"Nggak tau. Putra dan putrimu belum mengeluarkan suara mereka." Timpal Pak Akmal.
"Abi bohong, Ummi. Ainun sudah mengeluarkan suara tadi. Tapi, Abi menjawab Ainun dengan ketus. Kan, Ainun jadi takut, Ummi." Adu Ainun pada umminya.
Bu Fatimah tersenyum sambil mengusap kepala putrinya. "Masalah apa yang mau kamu adukan pada Abi, Nak?"
"Masalah gadis yang kemarin, Ummi."
"Ada apa dengan gadis itu? Apa dia sudah sembuh dan siap menghubungi keluarganya?"
"Kok, pertanyaan Ummi dan Abi sebelas dua belas, ya." Ucap Ainun.
Arianto masih menunduk, diam seperti patung.
"Masa sih, Nak?"
"Iya, Ummi." Jawab Ainun. Dia beralih menatap adiknya yang hanya diam mendengar perdebatannya.
"Dek, kenapa kamu diam saja? Tolong Kakak menjelaskan pada Ummi dan Abi." Pinta Ainun.
Ari hanya melirik kakaknya lalu kembali menunduk. "Kakak saja yang menjelaskan. Nanti Ari bantu kalau ada yang Kakak lupakan."
Ainun menghembuskan nafasnya dengan kasar. "Kamu ya, Dek. Kamu yang bawa anak orang kemari. Eh, malah kakak yang repot."
"Jelaskan pada Abi, ada apa!" Ucap Pak Akmal, memotong perdebatan anaknya.
"Tuh kan, Ummi. Suara Abi serem banget." Ucap Ainun lagi.
"Ini sudah malam, Nak. Sebentar lagi waktu istirahat Abi kamu. Kalau kamu menunda, kasihan Abi kamu. Nanti waktu istirahatnya tersita untuk mendengarkan keluh kesah kalian." Jelas Bu Fatimah.
"Maaf, Abi." Ucap Ainun.
"Mmm.." Jawab Pak Akmal.
"Begini, Abi...."
Ainun mulai bercerita. Mulai dari Santi yang selalu disiksa oleh ayahnya. Sampai pada akhir cerita, Santi yang memohon untuk tidak dipulangkan ke rumahnya. Namun, dia masih belum berani mengatakan, kalau Santi berbeda dengan mereka.
Pak Akmal menyimak cerita anaknya sampai selesai. Dia memperbaiki posisi duduknya setelah Ainun menyelesaikan ceritanya. "Lalu, maksud kalian sekarang. Kalian mau meminta Abi dan Ummi untuk mengizinkan gadis itu tinggal di rumah ini?" Tebak Pak Akmal.
"Iya, Abi. " Jawab Ainun dan Ari kompak.
"Abi tidak mempermasalahkan hal itu. Namun, ada syarat yang harus dia penuhi sebelum Abi menyetujui permintaan kalian."
"Apa itu, Abi?" Tanya Ainun.
"Dia harus menaati peraturan yang berlaku di rumah ini. Seperti, tidak boleh telat bangun, shalat tepat waktu, selalu mengikuti kegiatan keagamaan di Masjid dan peraturan-peraturan rumah yang lain."
Ainun dan Ari saling pandang. Bingung, bagaimana menyampaikan pada Abi mereka.
"Kenapa? Apa dia keberatan?"
"Mm..bukan begitu, Abi. Tapi..."
"Tapi apa, Ainun?" Tanya Pak Akmal, tidak sabar.
"Dia..dia..anu, Abi."
"Apa?"
"Dia non Muslim, Abi, Ummi." Jawab Ainun, menatap Abi dan Umminya secara bergantian.
Pak Akmal tertegun mendengar penuturan putrinya. Dia terlihat sedang berpikir.
"I..itulah yang sulit Ainun katakan pada Abi sejak tadi." Ucap Ainun, takut melihat Pak Akmal yang tidak merespon ucapannya.
Pak Akmal menatap putrinya sekilas, lalu kembali pada aktivitasnya, tertegun.
Bu Fatimah ikut menunggu respon suaminya. "Bagaimana, Abi?"
Setelah terdiam beberapa saat, Pak Akmal menghembuskan nafasnya dengan kasar. "Begini saja, Nak l. Bawa gadis itu pada Abi. Abi ingin bicara empat mata dengannya." Ucapnya kemudian.
"Baik, Abi." Jawab Ainun.
* * *
Setelah Santi di perbolehkan pulang oleh dokter. Ainun dan Ari membawa Santi menghadap pada Pak Akmal sesuai dengan permintaan Pak Akmal beberapa hari yang lalu.
Santi terlihat tegang. Mukanya terlihat pucat pasi. Namun, Ainun berulang kali menenangkannya dan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja.
Ainun menuntun Santi menuju ruang kerja Pak Akmal. "Tenang, Santi. Abi tidak sejahat yang kamu pikirkan, kok."
"Aku takut, Mbak. Apa Abinya Mbak Ainun marah, karena permintaanku?"
"Sepertinya, tidak. Kemarin, pas kami mengatakan tentang kamu. Abi terlihat biasa-biasa saja. Abi hanya ingin bicara langsung dengan kamu."
Santi menarik nafas dalam-dalam. "Semoga semuanya baik-baik saja." Ucapnya sambil mengelus dada.
Ainun tersenyum menatapnya. "Semoga Allah melindungi mu."
Santi menatap Ainun tanpa ekspresi.
"Assalamualaikum, Abah." Santi mengetuk pintu ruang kerja Abi nya.
"Wa'alaikumsalam, masuk!"
Muka Santi semakin tegang. Dia meremas jarinya yang saling bertautan, menggigit bibir bawahnya. Keringat dingin tampak mengucur dari pelipisnya.
Pak Akmal tersenyum menatap gadis yang terlihat ketakutan itu. "Jangan takut, Nak. Aku tidak akan menyiksamu seperti yang dilakukan Ayahmu."
Santi menarik sudut bibirnya mendengar ucapan Pak Akmal. "Terimakasih, Om." Jawabnya kaku.
"Bagaimana keadaanmu, Nak?"
"Sudah baikan, Om."
"Jangan tegang, Nak. Santai saja. Aku cuma mau bertanya padamu."
Santi menunduk. "I..iya, Om."
Ainun mengusap-usap punggung Santi.
"Ainun dan Ari sudah menceritakan padaku, semua yang kamu ceritakan pada mereka. Dan sekarang, pertanyaan Om, apa benar kamu menolak untuk dikembalikan pada keluargamu?"
Santi mengangguk. "I..iya, Om. Aku takut kalau harus kembali lagi kepada Ayah."
"Apa kamu mau tinggal di rumah kami?"
Santi mengangguk lagi.
"Tapi, seperti yang kamu tau, Nak. Keyakinan mu berbeda dengan kami. Apa sekiranya, kamu bisa nyaman, jika tinggal bersama kami?"
Santi terdiam. Bingung, mau menjawab apa pertanyaan Pak Akmal yang ini.
"Dan satu lagi, Nak. Ainun dan Ari tidak tinggal di rumah ini. Tapi, mereka berdua tinggal di pondok pesantren. Om hanya khawatir. Jika mereka sudah kembali ke pondok nanti, kamu akan kesepian disini dan tidak punya teman. Bukannya Om menolak kamu di rumah ini, Nak. Tapi, Om hanya khawatir kamu tidak nyaman tinggal bersama kami."
Santi mengangkat kepalanya. " Apa aku terlihat buruk dimata Om?"
"Tidak, Nak. Siapa bilang kamu buruk. Kita ini sama-sama makhluk. Tidak baik mengatakan makhluk ciptaan Tuhan itu buruk." Timpal Pak Akmal.
Santi memberanikan diri menatap Pak Akmal. "Aku bersedia mengikuti keyakinan kalian. Ajari aku agama Islam, Om. Aku mau belajar tentang Islam."
Pak Akmal tampak terkejut mendengar keputusan tiba-tiba Santi. Dia menautkan alisnya heran."Apa yang melatar belakangi mu ingin belajar agama Islam, Nak?" Tanya Pak Akmal. "Apa karena kami?" Sambungnya.
"Tidak, Om. Aku memang tertarik belajar Islam. Bahkan, sejak aku kecil."
"Alhamdulillah," Ucap Pak Akmal dan Ainun serentak.
"Aku ingin ikut Mbak Ainun tinggal di pondok pesantren, Om. Apa boleh?"
"Tentu saja, Santi." Jawab Ainun dengan antusias.
"Tapi, peraturan di pondok pesantren itu ketat, Nak. Om takut, kamu tidak bisa menyeimbangi dirimu dengan peraturan disana."
"Aku akan mencobanya, Om. Aku mohon, Om mau membantu aku."
Pak Akmal tampak berpikir. "Begini saja, Nak. Om akan meminta Ainun dan Ari untuk menginformasikan dulu pada pengurus pesantren. Jika pengurus pesantren sudah menyetujuinya. Baru kamu menyusul kesana.
"Tapi, Abi."
"Tapi apa, Ainun?"
"Ari kan harus menjalani hukumannya, Abi."
"Astagfirullahal'adzim, Abi lupa, Nak."
"Ari punya salah apa, Mbak?" Tanya Santi tiba-tiba.
"He..he.. nanti juga kamu akan tau."
"Kalau begitu kita akan bahas ini nanti malam. Kalian bisa meninggalkan ruangan ini."
"Alhamdulillah, ayo Santi, kita keluar. Kamu butuh jalan-jalan untuk menyegarkan pikiran kamu." Ucap Ainun, menarik tangan Santi, agar segera mengikuti langkahnya.
Santi tersenyum sambil mengangguk.
* * *
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 141 Episodes
Comments
Nur hikmah
lnjut....yes.....plarian yg bgus....god santi
2021-10-06
0