"Kamu jangan kurang ajar, Nara!" Teriak Ari kesal. Menarik kasar jilbab wanita yang tidak menghormati kakaknya sama sekali.
"Lepas, Kak Ari. Aku akan berteriak kalau Kak Ari tidak mau melepaskan jilbabku."
"Silahkan, aku tidak perduli. Mulai sekarang, jangan pernah menganggap ku orang yang spesial lagi. Aku tidak suka dengan sikapmu yang tidak menghormati kakakku sama sekali."
Air mata Nara mulai menetes. "Kenapa Kak Ari mengatakan itu, Kak? Aku menyayangimu. Bahkan, aku rela melanggar peraturan di pesantren ini, demi menemui mu, Kak. Dimana hati nurani mu?"
"Bukan aku yang meminta bertemu denganmu. Tapi, kamu, Nara. Kamu yang memohon-mohon padaku, agar datang menemui mu. Maafkan aku, Nara. Rasa cintaku padamu terkikis melihat sikapmu pada kakakku. Silahkan kamu pergi dan jangan pernah mengingatku lagi."
"Tidak semudah saat kau mengucapkan kata itu, Kak. Aku tidak semudah itu bisa melupakan mu."
"Silahkan kalian keluar dari ruangan ku! Aku akan menghubungi pengurus pesantren, jika kalian tidak keluar." Ucap Ainun, sedikit berteriak.
Nara mendekat, berusaha menggapai tangan Ari. "Kak Ari dengarkan aku dulu. Aku akan menjelaskan, kenapa aku bersikap seperti ini pada kakakmu..."
"Jangan sentuh aku, Nara! aku tidak suka. Kamu ingat perbuatan mu tadi. Sangat tidak terhormat. Aku jijik melihat tingkah mu yang tadi, Nara!" Ucap Ari sambil menggosok-gosok pipinya yang tadi dicium Nara.
"Sudah, Ari! kamu kembali ke asrama mu sekarang. Telingaku tidak biasa mendengar perdebatan seperti ini."
Nara menatap Ari dengan kesal. "Semoga kau bahagia dengan keputusanmu, Kak." Ucap Nara.
Langsung berbalik tidak memperdulikan perasaannya lagi.
Ari bergerak cepat mendahului Nara keluar dari ruangan itu. Menarik kasar sebuah gelang pemberian gadis itu dari pergelangan tangannya. "Ini punyamu. Silahkan kamu berikan pada laki-laki yang siap menerimamu dengan segala sifat buruk mu itu." Ari berbalik, berjalan cepat meninggalkan Nara yang masih terisak menatap kepergiannya.
Sementara itu..
Santi menelungkupkan badannya di atas ranjang. Teman-temannya yang tidak tau kenapa Santi tiba-tiba menangis, hanya duduk mengusap-usap punggung gadis itu. Mereka saling berbisik. Tidak tau bagaimana menenangkan gadis itu.
Santi juga bingung, kenapa air matanya meleleh ketika mendengar kalau gadis yang muncul secara tiba-tiba di ruangan asrama Ainun tadi adalah kekasihnya Ari. Dia bahkan sampai sesenggukan. Menangisi pria yang sudah menyimpan nama orang lain di hatinya.
"Santi, sebenarnya kamu kenapa? Tadi kamu terlihat begitu bahagia saat pergi ke ruangan asrama Kak Ainun. Tapi, sekarang kenapa kamu seperti ini?" Tanya Qonita. Teman satu ruangan Santi.
"A..aku tidak apa-apa. Kalian pergi saja."
Empat orang yang duduk mengelilingi Santi hanya saling pandang mendengar jawaban gadis yang masih sesenggukan dan enggan menampakkan wajahnya pada mereka.
"Sebentar lagi masuk waktu shalat ashar, Santi. Kita harus shalat berjamaah di Masjid."
"Iya, aku tau. Kalian duluan saja, aku tidak mau membuat kalian terlambat nanti."
"Kami akan menunggumu, Santi. Sampai kamu bisa menenangkan pikiranmu."
"Jangan menungguku. Aku tidak mau membuat orang lain menunggu."
"Kalau kamu memang tidak mau membuat kami menunggu, segera bersiap sekarang." Timpal Qonita lagi.
Santi menghembuskan nafasnya dengan kasar. Berbalik menatap teman-temannya yang masih duduk mengelilinginya. "Kenapa kalian masih disini. Kenapa kalian tidak pergi ke Masjid. Tinggalkan aku sendiri. Aku tidak apa-apa, kok."
"Kami dilarang meninggalkan kamu sendiri oleh Kak Ainun. Dia akan datang kemari. Tapi, masih ada urusan yang harus dia selesaikan dengan Kak Ari. Apa kamu ada masalah dengan pacarnya Kak Ari, Nara?"
"Maksud kamu apa, Qonita? aku tidak punya masalah dengan siapapun."
"Aku juga berharap begitu, Santi. Tapi, kamu harus tau, Santi. Nara itu adalah santri yang paling sering melanggar peraturan disini. Dia pernah dipecat. Tapi, entah apa yang membuatnya kembali lagi."
Santi terdiam mendengar penuturan Qonita. Merenung sekaligus penasaran dengan kejadian yang terjadi setelah dia keluar dari ruangan asrama Ainun tadi.
"Begini saja, Santi. Aku tidak akan shalat berjama'ah ke Masjid. Aku akan shalat di asrama."
"Jangan lakukan itu, Qonita. Aku tidak mau melihatmu mendapat hukuman gara-gara menemaniku."
"Aku akan minta izin, Santi." Ucap Qonita meyakinkan.
Tiga teman asrama Santi yang lain berangkat ke Masjid. Tinggal Qonita yang duduk diam menemaninya.
"Maafkan aku merepotkan mu, Qonita."
Qonita menatap Santi sambil tersenyum. Berharap, gadis itu mau menjelaskan kejadian yang menimpanya.
"A..aku tidak tau, kenapa air mataku tiba-tiba jatuh saat mengetahui siapa gadis yang tiba-tiba datang menemui Kak Ari di ruangan Mbak Ainun."
Qonita membuka lebar telinganya mendengar cerita Santi. "Memangnya.."
"Aku sedih, kecewa, sakit hati mendengar Kak Ari punya kekasih, Qonita." Tutur Santi, memotong ucapan Qonita.
"Kau mencintai Kak Ari, Santi." Timpal Qonita.
"Aku tidak tau. Apakah rasa ini cinta atau hanya sebatas kagum padanya. Tapi sungguh, aku benar-benar kecewa saat ini."
"Kau baru kelas satu SMA, Santi. Kau belum pantas untuk memikirkan cinta di usiamu yang sekarang."
Santi tersenyum. "Kita seumuran, Qonita. Andaikan aku tidak berhenti. Mungkin, sekarang aku sudah kelas tiga, sama sepertimu."
Qonita menatap Santi dengan heran. "Benarkah? tapi, kamu terlihat lebih muda dariku."
Santi tersenyum kecut. "Aku adalah gadis menderita yang bisa sampai di tempat ini karena kebaikan Kak Ari dan keluarganya."
"Maksud kamu?"
"Aku di tolong Kak Ari saat kabur dari ayahku yang kejam."
Qonita memperbaiki posisi duduknya. Menepuk pelan paha Santi yang duduk bersila di depannya. "Aku belum memahami maksud ceritamu, Santi."
"Suatu hari nanti kamu pasti akan tau. Aku kagum pada sosok Kak Ari, sejak pertama kali dia menyelamatkanku dari ayahku. Saat itu aku baru tau, kalau orang muslim tidak boleh bersentuhan antara laki-laki dan perempuan. Kak Ari menolak berjabat tangan denganku."
"Benarkah?" tanya Qonita, semakin penasaran dengan cerita Santi.
"Kak Ari sempat mengira aku hantu malam itu."
"Hah, kenapa?"
"Penampilanku yang kumal dan penuh dengan luka. Belum lagi, aku memakai pakaian serba putih dengan rambut yang berantakan. Siapa yang akan mengira aku manusia normal saat itu? Aku benar-benar kagum padanya. Caranya melindungi ku malam itu, cukup membuktikan kalau dia adalah sosok laki-laki yang bertanggung jawab."
"Subhanallah.. keluarganya Kak Ainun memang terkenal sangat baik di pondok pesantren ini."
"Mereka memang sangat baik, Qonita. Aku saja yang tidak mereka kenal sama sekali, di bantu. Apalagi yang sudah jelas asal usulnya. Belum lagi, saat itu aku agak sulit menyesuaikan diri di rumah Kak Ari karena keadaanku yang berbeda dengan mereka."
"Apakah karena itu kamu bersedia menjadi seorang mualaf?" Tanya Qonita lagi.
"Tidak. Aku memang ingin masuk Islam sejak aku kecil. Ini semua dari hati nurani. Bukan karena paksaan."
"Maha Suci Allah, Allahuakbar! semoga Allah yang Maha Kuasa memberkahi setiap langkahmu." Ucup Qonita. Terharu mendengar cerita Santi.
"Terimakasih sudah mau mendengar ceritaku, Qonita."
"Sebenarnya, aku ingin bertanya padamu sejak kemarin. Tapi, aku malu. Belum lagi, kamu selalu sibuk belajar membaca Al Qur'an."
Santi tersenyum. Air matanya yang masih menetes jarang, segera Ia usap. "Sudah adzan. Ayo, kita ambil air wudhu dulu."
'Eh, iya. Kamu duluan, Santi. Aku mau mempersiapkan tempat, menggelar sajadah dan mempersiapkan mukenah dulu."
Santi mengangguk. Beranjak bangun menuju kamar mandi.
Qonita menatap kepergian Santi. "Aku kira, kamu berasal dari keluarga bahagia, Santi." Lirihnya dengan suara pelan. Takut, Santi mendengar ucapannya.
* * *
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 141 Episodes
Comments