Menjelang sore, Arianto kembali ke rumah sakit. Dia membawakan baju ganti dan juga cemilan untuk menghindari rasa bosan. Dia berniat untuk menggantikan kakaknya yang sendirian sejak tadi pagi.
"Assalamualaikum, Kak. "
Ainun yang mendengar suara salam adiknya langsung mengangkat kepalanya. "Wa'alaikumsalam, Dek. Kenapa kamu lama sekali. Kakak kesepian disini, Dek."
"Maaf, Kak. Tadi aku shalat ashar dulu biar nggak shalat disini." Ari mengalihkan perhatiannya pada gadis yang memejamkan mata di dekat kakaknya. "Bagaimana keadaannya, Kak? Apa dia sudah sadar?"
"Sudah sih tadi, Dek. Tapi, dia cuma mengigau saja."
"Dia bilang apa, Kak." Tanya Ari seraya duduk di di sofa.
"Dia kayak orang trauma gitu, Dek." Ucap Ainun, antusias bercerita. "Dia berteriak-teriak histeris, Dek. Dokter sampai ikut menenangkannya tadi."
Ari terdiam mendengar penuturan kakaknya.
"Sebenarnya, apa yang kamu lihat semalam. Kenapa lukanya separah ini, Dek ?"
"Ari juga kurang tau, Kak. Dia yang tiba-tiba mendatangi Ari dengan keadaan yang sudah seperti ini. Ari sempat mengira dia hantu semalam."
Ainun membelalakkan matanya tak percaya. "Terus, kenapa kamu bilang, dia disiksa ayahnya pada Ummi dan Abi, Dek?"
"Itu memang kenyataannya, Kak."
Ainun menautkan alisnya, tidak mengerti maksud adiknya.
Ari menatap kakaknya. "Semalam, ketika dia sedang ngobrol dengan Ari. Tiba-tiba, ayahnya berteriak-teriak memanggilnya. Mukanya langsung pucat pasi, dia memintaku untuk membawanya pergi dari sana. Aku berfikir, apa iya, membawa anak orang kabur dari orang tuanya. Tapi, melihat kondisinya yang terlihat sangat memperihatinkan. Aku jadi kasihan melihatnya, Kak."
"Kenapa dia siksa, ya?"
"Sebenarnya, Ari juga penasaran, Kak. Tapi, tidak baik juga mencari tau urusan pribadi orang."
Perhatian mereka teralihkan pada Santi yang tiba-tiba merintih.
"Aku sakit, Ayah. Aku mohon, berhenti." Santi menggeliat.
Ainun dan Ari saling pandang. Mereka mendekati Santi.
Gadis itu terlihat membuka matanya. "A..aku dimana?" Gumamnya. Melirik jarum infus yang tertancap di punggung tangannya.
"Aurora, apa kamu sudah sadar?" Tanya Ari, sedikit membungkukkan badan.
Santi memperhatikan wajah Ari, mencoba mengingat, siapa laki-laki di depannya ini.
Ainun menarik lengan Ari, agar sedikit menjauh dari wanita itu. "Jaga jarak, Dek. Dia bukan muhrim kamu."
"Aww!! pelan-pelan, Kak. Lenganku sakit."
"Lenganmu kenapa, Dek?"
"Ada sedikit luka. Makanya, kakak jangan menyentuhnya."
Muka Ainun berubah khawatir. "Bekas apa, Dek?"
"Cuma tergores sedikit, Kak."
Ainun menyingkap lengan baju Ari. Mata Ainun terbelalak lebar. "Astagfirullahal'adzim, Dek. Ini bukan sedikit namanya. Lukanya dalam sekali." Ainun membolak balik lengan adiknya.
"Pelan-pelan, Kak. Sakit!" pekik Ari.
"Ayo, kita ke IGD sekarang." Ainun menarik tangan adiknya untuk keluar dari ruangan itu.
"Nggak usah, Kak. Ini cuma luka kecil."
Ainun memghentikan langkahnya. "Jangan bilang itu luka kecil, Dek. Luka kamu itu terbuka. Bagaimana kalau terjadi infeksi? Apalagi kalau Abi sampai tau. Bisa panjang ceritanya, Dek."
"Makanya aku menyembunyikannya. Jangan sampai Abi tau. Kalau Abi tau, itu berarti Kak Ainun yang mengadu pada Abi."
Ainun melongos. "Dasar kamu, Dek."
Ari hanya cengengesan.
Ainun menarik kembali tangan adiknya mendekati Santi. Mereka menatap Santi yang terlihat sedang melamun. Tampak, air matanya mengalir dengan sendirinya.
Ainun menatap iba wanita malang itu. Pelan, dia mendekati Santi dan menggenggam tangannya. "Bagaimana keadaanmu?" Tanyanya dengan suara pelan.
Ari hanya menatap kelakuan kakaknya.
"M..maaf. A..anda siapa?" Santi balik bertanya. Menarik tangannya dari genggaman Ainun.
Ainun tersenyum ramah. "Saya Ainun, kakaknya Ari."
"A..Ari? Apakah dia yang membawa saya kesini?"
Mendengar namanya disebut, Ari lebih mendekat kepada Santi. "Bagaimana keadaanmu sekarang, Aurora?" Tanyanya pelan.
Santi menggelengkan kepalanya. "J..jangan panggil aku Aurora, Ari. Tapi, panggil aku Santi."
"Kenapa?" Tanya Ainun yang sudah sangat penasaran dengan masalah yang dihadapi Santi.
"A..aku hanya lebih nyaman dipanggil Santi."
Ainun berfikir keras. Bagaimana caranya, agar Santi mau menceritakan masalahnya tanpa dia bertanya.
"Apa kamu sudah lebih baik sekarang, Santi?" Tanya Ari, langsung mengalihkan pandangannya. Takut, Ainun menegurnya lagi.
"Aku sudah baikan. Ari..."
Ari kembali menatap Santi. "Iya, ada apa?"
"T.. terimakasih, sudah mau membawaku pergi dari tempat itu."
Ari tersenyum. "Sama-sama. Tapi, apakah aku boleh menanyakan sesuatu padamu, Santi?"
Santi mengangguk. "Iya, silahkan."
"Sebenarnya, apa yang terjadi semalam? Kenapa kamu memintaku untuk membawamu pergi dari ayahmu?"
Santi terdiam, tatapannya terlihat kosong.
"Aku tidak akan memaksamu untuk menceritakannya. Namun, kami juga butuh keterangan darimu, agar kami bisa menentukan tindakan yang akan kami ambil selanjutnya."
Santi menatap Ainun dan Ari secara bergantian. "T..tapi, kalian harus berjanji, kalau kalian akan melindungiku darinya."
Ari dan Ainun mengangguk.
Santi menceritakan kekejaman ayahnya selama ini. Tangisnya pecah, air matanya mengalir deras.
Ainun duduk, mencoba menenangkan gadis malang itu. "Sudah, jangan menangis lagi. Kami mengerti alasan kamu ingin meninggalkannya sekarang." Ainun menghapus air mata Santi dengan ibu jarinya.
"A..aku mohon pada kalian. Jangan bawa aku kembali lagi ke rumahnya. Lebih baik, kalian meninggalkanku di jalanan daripada kalian membawaku lagi padanya." Ucap Santi sambil terisak.
"Tinggal saja di rumah kami." Ucap Ainun tiba-tiba.
"Tapi, Kak?" Timpal Ari.
"A..aku takut, tidak bisa menyesuaikan diri di lingkungan kalian." Jawab Santi yang memahami arti kata tapi dari ucapan Ari.
"Kalau sudah biasa pasti bisa." Timpal Ainun.
"Bukan begitu, Kak. Tapi.." Ucap Ari lagi.
"Kenapa?"
"Aku berbeda dengan kalian."Jawab Santi.
"Maksud kamu?" Tanya Ainun.
"Aku non Muslim."
Ainun membelalakkan matanya. "Maksud kamu. Kamu berbeda keyakinan dengan kami, Santi?"
Ari mengusap mukanya kasar. "Itulah alasanku tidak berani meminta pada Abi untuk mengajaknya tinggal di rumah kita."
Ainun langsung terduduk lesu. "Maafkan aku, Santi."
Santi tersenyum hambar. "Seharusnya aku yang minta maaf, Mbak. Aku yang menyusahkan kalian. Aku mau, kok jadi pembantu di rumah kalian. Yang penting aku aman dari Ayah."
Ainun dan Ari kembali saling tatap. Mereka saling memberi isyarat lewat mata, untuk menyetujui atau tidak permintaan Santi.
"Kita akan bicarakan dulu pada Abi dan Ummi. Nanti, apapun jawaban Abi, kami akan langsung memberi tahukan padamu." Ucap Ainun, agar tidak mengecewakan Santi.
"Terimakasih, Mbak. Terimakasih, Ari."
Ainun dan Ari mengangguk sambil tersenyum.
"Sama-sama, Santi. Semoga kamu cepat pulih." Ucap Ainun. Dijawab dengan anggukan oleh Santi.
"Mmm.., Kak. Ari keluar sebentar ya."
"Kamu mau kemana, Dek?"
"Ada yang harus Ari urus sebentar."
"Jangan lama-lama, Dek."
"Iya, Kak."
Ari langsung keluar. Sebenarnya, dia bosan di dalam ruangan itu. Belum lagi, kalau harus menjaga wanita yang bukan muhrimnya. Itu yang membuatnya tidak betah berlama-lama di dalam. Dia pergi ke kafe di depan Rumah Sakit itu untuk sejenak menenangkan pikirannya.
Kepalanya benar-benar pusing. Bagaimana tidak, kasusnya di pesantren belum kelar. Eh, malah sekarang dihadapkan dengan kasus yang lebih rumit.
Sambil menunggu pesanannya datang, Ari menelungkupkan wajahnya di atas meja.
"Tolong hamba, ya Allah." Gumamnya lirih.
* * *
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 141 Episodes
Comments
Nur hikmah
lnjut......
2021-10-06
0