NovelToon NovelToon
Obsesi Tuan Adrian

Obsesi Tuan Adrian

Status: sedang berlangsung
Genre:Obsesi / CEO / Diam-Diam Cinta / Mafia / Cintapertama / Balas Dendam
Popularitas:705
Nilai: 5
Nama Author: Azona W

Di tengah gemerlap kota yang tak pernah tidur, hidup mereka terikat oleh waktu yang tak adil. Pertemuan itu seharusnya hanya sekilas, satu detik yang seharusnya tak berarti. Namun, dalam sekejap, segalanya berubah. Hati mereka saling menemukan, justru di saat dunia menuntut untuk berpisah.

Ia adalah lelaki yang terjebak dalam masa lalu yang menghantuinya, sedangkan ia adalah perempuan yang berusaha meraih masa depan yang terus menjauh. Dua jiwa yang berbeda arah, dipertemukan oleh takdir yang kejam, menuntut cinta di saat yang paling mustahil.

Malam-malam mereka menjadi saksi, setiap tatapan, setiap senyuman, adalah rahasia yang tak boleh terbongkar. Waktu berjalan terlalu cepat, dan setiap detik bersama terasa seperti harta yang dicuri dari dunia. Semakin dekat mereka, semakin besar jarak yang harus dihadapi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azona W, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ada Yang Lain Sebelum Dirimu

Pagi pertama di Petunia Hill terasa asing bagi Elena.

Ia membuka mata dan mendapati dirinya di kamar luas berlapis marmer, tirai satin menjuntai dari langit-langit, dan lampu kristal menggantung dengan mewah. Tempat tidur empuk yang ia tempati jauh lebih nyaman dibanding sofa tuanya di rumah, tapi tidak membuatnya merasa tenang.

Semua ini bukan miliknya.

Ketika ia melangkah ke balkon, angin sejuk menyapa wajahnya. Dari ketinggian bukit, ia bisa melihat seluruh Verona, cahaya matahari pagi memantul di atap-atap bangunan. Indah. Tapi pemandangan itu justru terasa seperti pengingat bahwa ia terjebak.

Kota yang dulu bebas ia jelajahi, kini terlihat jauh, tak terjangkau.

Ketukan pelan terdengar di pintu. Seorang perempuan berusia tiga puluhan masuk dengan pakaian serba hitam rapi, wajahnya tenang namun dingin.

“Selamat pagi, Nona Marcellis,” katanya dengan suara datar. “Saya Clara, kepala pelayan di rumah ini. Mulai hari ini saya akan memastikan semua kebutuhan Anda terpenuhi. Jika ada yang Anda inginkan, silakan katakan. Tapi…” ia berhenti sejenak, matanya menusuk. “Ada aturan-aturan yang harus Anda patuhi.”

Elena menegang. “Aturan?”

Clara mengangguk. “Anda tidak diperbolehkan meninggalkan rumah tanpa izin Tuan Valtieri. Anda hanya boleh memasuki ruangan-ruangan tertentu. Dan setiap malam, pintu kamar akan dikunci dari luar demi keamanan.”

Elena merasa darahnya membeku. “Dikunci? Dari luar?”

Clara hanya menunduk sopan. “Itu perintah.”

.....

Hari itu berjalan lambat. Elena mencoba menyesuaikan diri. Sarapan mewah di meja panjang, lorong-lorong berlapis karpet merah, taman luas dengan patung-patung marmer. Semua tampak megah, tapi terasa dingin dan kosong.

Ia duduk sendirian di perpustakaan, mencoba membaca buku, tapi matanya terus melirik kamera kecil di sudut ruangan. Ia tahu ia sedang diawasi.

Setiap kali ia mendengar langkah kaki Adrian di lorong, jantungnya berdegup lebih cepat.

Sore harinya, Adrian akhirnya muncul. Ia masuk ke perpustakaan tanpa mengetuk, mengenakan kemeja hitam dengan lengan tergulung. Wajahnya teduh, tatapannya intens.

“Bagaimana hari pertamamu?” tanyanya tenang.

Elena menutup buku dengan cepat, berusaha menjaga jarak. “Seperti yang kuharapkan. Sebuah penjara yang mewah.”

Adrian tersenyum samar, mendekat. “Kau menyebutnya penjara. Aku menyebutnya perlindungan. Tidak ada yang bisa menyentuhmu di sini, Elena. Tidak ada yang bisa menyakitimu.”

Elena menatapnya dengan mata berair. “Kecuali kau.”

Adrian berhenti sejenak. Tatapan matanya mengeras, tapi bibirnya masih melengkung samar. Ia mendekat, menunduk hingga wajah mereka hampir sejajar.

“Mungkin benar,” bisiknya. “Tapi kau akan belajar… bahwa sakit yang kuberikan berbeda. Itu akan membuatmu semakin terikat padaku.”

Elena menahan napas, tubuhnya menegang. Ia ingin membenci setiap kata, tapi bagian kecil dalam dirinya, bagian yang ia benci mati-matian, terasa bergetar mendengar suaranya begitu dekat.

....

Malam kedua di Petunia Hill terasa lebih mencekik daripada hari pertama.

Elena berbaring di ranjang luas, tapi tak mampu memejamkan mata. Pintu kamarnya dikunci dari luar, dan suara klik gembok tadi sore masih bergema di kepalanya.

Aku benar-benar terjebak.

Akhirnya ia bangkit, mengenakan sweater tipis, lalu berjalan pelan ke balkon. Angin malam menusuk kulitnya, namun setidaknya memberi sedikit rasa bebas. Dari sana, lampu kota Verona berkelap-kelip seakan mengejek. Begitu dekat, tapi mustahil dijangkau.

Keesokan harinya, Elena memutuskan mencoba melanggar aturan kecil. Setelah sarapan, ia berjalan menyusuri lorong panjang, menuruni tangga marmer, lalu menuju pintu besar di ujung sayap rumah yang kemarin dilarang Clara masuki.

Tangannya ragu saat menyentuh gagang pintu.

Hanya sebentar… aku hanya ingin tahu apa yang mereka sembunyikan.

Tapi begitu ia memutar gagang, pintu itu terkunci rapat.

“Elena.”

Suara itu membuat darahnya dingin. Ia menoleh cepat. Adrian berdiri hanya beberapa langkah darinya, mengenakan jas hitam, wajahnya tanpa ekspresi.

“Apa yang kau lakukan?” tanyanya tenang, terlalu tenang.

Elena berusaha terdengar berani. “Aku hanya… ingin melihat rumah ini. Apa salahnya?”

Adrian melangkah maju perlahan, tatapannya menusuk. “Rumah ini bukan museum. Ada ruangan-ruangan yang bukan untukmu.”

Elena menggertakkan giginya. “Lalu apa yang sebenarnya ada di balik pintu ini? Rahasia kotormu?”

Adrian berhenti tepat di depannya, menunduk hingga wajah mereka hampir sejajar. “Elena… jangan memaksaku untuk mengajarkan pelajaran dengan cara yang tidak kau sukai.”

Napas Elena tercekat. Tubuhnya menegang, tapi matanya tetap menantang. “Aku tidak akan tunduk padamu.”

Adrian menatapnya lama, seakan menimbang sesuatu, lalu tiba-tiba tersenyum samar.

“Kau akan belajar, pada waktunya. Dan aku bersumpah… saat hari itu datang, kau sendiri yang akan membuka pintu ini untukku.”

Ia berbalik, berjalan pergi tanpa menoleh lagi. Tapi langkahnya yang tenang justru meninggalkan ketakutan yang jauh lebih dalam di hati Elena.

Sore harinya, Elena mencoba keluar ke taman. Udara segar sedikit menenangkannya. Ia berjalan di antara mawar merah yang terawat rapi, menyentuh kelopak bunga dengan hati-hati.

Namun rasa damai itu runtuh ketika ia melihat kamera kecil tersembunyi di balik dahan. Satu… dua… tiga… semakin ia perhatikan, semakin banyak kamera ia temukan.

Tubuhnya gemetar.

Tidak ada satu detik pun aku sendirian. Dia selalu melihat.

Elena kembali ke kamarnya, menutup tirai dengan kasar. Ia jatuh terduduk di lantai, memeluk lututnya, air matanya jatuh tanpa suara.

“Aku bahkan tidak punya ruang untuk bernapas…” bisiknya lirih.

Di ruang kerjanya, Adrian memperhatikan layar monitor besar. Setiap sudut rumah terpampang jelas dan di salah satunya, Elena terlihat duduk menangis di lantai kamar.

Damian berdiri di belakangnya, melipat tangan. “Kau membuatnya hancur terlalu cepat.”

Adrian tidak menoleh, matanya tetap pada layar. “Tidak. Aku membuatnya sadar. Rasa takut adalah pondasi terbaik sebelum membangun kepatuhan.”

Senyum tipis muncul di wajahnya saat melihat Elena menyeka air mata dengan putus asa.

“Dan pada akhirnya,” bisik Adrian, “ia akan menemukan bahwa satu-satunya tempat aman hanyalah di sisiku.”

.....

Malam turun dengan cepat di Petunia Hill. Langit gelap tanpa bintang, hanya kilatan lampu kota di kejauhan. Elena duduk di tepi ranjang, memeluk dirinya sendiri, tirai jendela tertutup rapat agar kamera tak bisa menatapnya.

Ketukan pelan terdengar di pintu. “Nona Marcellis?” Suara Clara terdengar datar seperti biasa.

Elena ragu, tapi akhirnya menjawab. “Masuklah.”

Pintu terbuka, dan Clara melangkah masuk dengan baki berisi teh hangat. Ia meletakkannya di meja, lalu berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat. Wajahnya tetap dingin, tapi ada sesuatu di matanya malam ini. Bayangan yang tak pernah Elena lihat sebelumnya.

“Minumlah. Akan membantu tidur Anda,” kata Clara.

Elena menatap gelas itu tanpa bergerak. “Tidur? Bagaimana aku bisa tidur kalau aku tahu pintu ini akan dikunci dari luar lagi?”

Clara tidak menjawab langsung. Ia hanya menghela napas pelan, lalu berkata, “Anda harus membiasakan diri. Semua orang di rumah ini melalui hal yang sama.”

Elena menoleh cepat. “Semua orang? Apa maksudmu?”

Clara terdiam lama, seolah menimbang apakah ia boleh bicara. Akhirnya ia menurunkan suaranya, nyaris berbisik. “Anda bukan orang pertama yang dibawa ke rumah ini, Nona.”

Kata-kata itu membuat Elena terhenyak. “Apa?”

Clara menatapnya tajam, seolah memperingatkan. “Saya sudah cukup lama di sini. Dan saya sudah melihat… perempuan lain. Sebagian bertahan, sebagian menyerah. Tapi satu hal selalu sama—tak seorang pun keluar dari sini dengan utuh.”

Jantung Elena berdegup kencang. “Kau bilang… ada yang lain sebelum aku?”

Clara menunduk sedikit, suaranya semakin lirih. “Saya tidak bisa menyebutkan nama. Tapi percayalah, Tuan Valtieri tidak pernah melepaskan apa yang ia anggap miliknya.”

Elena merasakan darahnya membeku. “Jadi… aku tidak punya jalan keluar.”

Clara menatapnya dengan mata yang samar-samar menunjukkan rasa iba, meski wajahnya tetap kaku. “Saya tidak bisa memberi Anda harapan palsu. Yang bisa saya katakan hanyalah… bertahanlah sebisa mungkin. Jangan melawan secara terang-terangan.”

Setelah Clara pergi, Elena duduk sendiri, tubuhnya bergetar. Kata-kata kepala pelayan itu terus bergema di telinganya.

Tak seorang pun keluar dari sini dengan utuh.

Air mata hangat jatuh di pipinya. Ia memandang ke arah pintu yang sebentar lagi akan dikunci dari luar.

Dan untuk pertama kalinya, Elena merasakan putus asa yang murni. Perasaan bahwa ia tidak lagi melawan seorang pria, melainkan melawan dunia yang telah dirancang khusus untuk menelan dirinya bulat-bulat.

Di ruang kerjanya, Adrian menutup buku catatan yang sedang ia baca. Matanya terarah ke layar monitor, di mana Elena terlihat duduk di ranjangnya, wajahnya muram, bahunya berguncang.

Ia menyesap wine merah, lalu tersenyum tipis.

1
Mentariz
Penasaran kelanjutannya, ceritanya nagih bangeett 👍👍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!