Mereka bilang, Malaikat ada di antara kita.
Mereka bilang, esok tak pernah dijanjikan.
Aku telah dihancurkan dan dipukuli, tapi aku takkan pernah mati.
Semua darah yang aku tumpahkan, dibunuh dan dibangkitkan, aku akan tetap maju.
Aku telah kembali dari kematian, dari lubang keterpurukan dan keputusasaan.
Kunci aku dalam labirin.
Kurung aku di dalam sangkar.
Lakukan apa saja yang kalian inginkan, karena aku takkan pernah mati!
Aku dilahirkan dan dibesarkan untuk ini.
Aku akan kembali dan membawa bencana terbesar untuk kalian.
- Damien Ace -
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ferdi Yasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10 Hanya Mengambil Langkah Mundur
Eve datang tepat waktu, seperti yang diinginkan Darren.
Namun, sejak awal duduk, pria itu tidak mengeluarkan sepatah kata pun.
Bahkan setelah Eve menghabiskan setengah dari minumannya, Darren masih diam, hanya menatapnya — lama, penuh pikir.
“Kalau tidak ada yang ingin kau bicarakan,” kata Eve akhirnya, mengangkat alisnya, “Kenapa memanggilku ke sini?”
“Aku ….” Darren menarik napas berat. “Aku baru saja menyatakan perasaanku pada Leana.”
Eve sempat tertegun, lalu tersenyum samar. “Hei, itu kabar bagus. Aku kira kau ingin membicarakan Miranda dan paket terormu tadi.”
“Aku tidak peduli dengan itu lagi,” sahut Darren cepat. “Siapa pun orangnya, cepat atau lambat dia akan muncul sendiri. Aku tidak punya waktu untuk mencaritahu.”
“Ya.” Eve mencondongkan tubuh sedikit, suaranya lembut. “Setiap orang punya caranya sendiri menyelesaikan masalah.” Senyum kecil muncul di bibirnya. “Lalu, bagaimana dengan Leana?”
“Dia menolakku.”
Eve langsung menatapnya tajam. “Lagi?”
Nada tak percaya terdengar jelas. Semua orang tahu Leana selalu di sisi Darren, mengurus segala kebutuhannya dengan telaten. Bukankah itu cukup untuk menumbuhkan sesuatu di antara mereka?
“Kenapa dia menolakmu?” tanya Eve cepat. “Apa dia sudah punya kekasih?”
“Tidak,” jawab Darren pelan. “Dia bilang … dia tidak bisa menerima seseorang yang belum selesai dengan masa lalunya.”
Darren menatap Eve dalam-dalam setelah mengatakan itu. Tatapannya memberi jeda, menunggu. Tapi Eve tampak tidak menyadari, atau mungkin memilih untuk tidak menyadari.
“Menurutmu.” Darren bertanya tenang, “Bagaimana aku harus menyelesaikan masa laluku?”
Eve mengerutkan kening. “Kenapa kau menanyakannya padaku?”
“Karena di masa laluku hanya ada kau.”
Kata-kata itu membuat Eve membeku.
Dunia di sekitarnya terasa diam untuk sesaat — hanya detak jantungnya yang terdengar di telinga.
Ia tidak pernah mengira Darren akan kembali ke titik itu. Lagi.
Mata mereka bertemu. Tatapan yang dulu pernah berarti banyak, kini terasa berat — sarat luka yang belum sembuh. Tak ada kata yang keluar dari bibir keduanya.
Darren akhirnya bicara lagi, suaranya datar tapi bergetar halus. “Leana bilang aku tidak pernah benar-benar memahami perasaanku. Katanya aku tidak pernah melupakanmu, hanya mengubur perasaan itu terlalu dalam. Dan ketika waktu yang tepat datang, perasaan itu akan tumbuh kembali.”
Eve menunduk. Kata-kata itu membuat pikirannya kusut — bercampur antara rasa bersalah, bingung, dan tidak nyaman.
“Bagaimana menurutmu?” tanya Darren lagi, suaranya lirih tapi tajam.
“Hanya seseorang itu sendiri yang bisa memahami perasaannya,” jawab Eve pelan. Ia menyelipkan rambut yang jatuh ke belakang telinga, menghindari tatapan Darren. “Kalau kau bertanya padaku apakah kata-kata Leana benar, hanya kau yang tahu jawabannya. Tapi … Darren, bukankah kita sudah terlalu sering membicarakan ini?”
“Kau bilang sering membicarakan ini?” Darren menatapnya tajam. “Selama ini hanya aku yang mengambil langkah mundur, Eve. Dan jika kau bertanya apakah ucapan Leana benar atau tidak … aku rasa, ya. Itu memang benar.”
Kata-kata itu membuat Eve kembali terdiam.
Sorot mata Darren kini penuh keyakinan, tanpa sedikit pun keraguan. Ia menatapnya seolah semua yang selama ini terpendam akhirnya menemukan jalan keluar — meski di hadapan wanita yang kini sudah bahagia bersama keluarga kecilnya.
“Apa yang kalian bicarakan? Kenapa serius sekali?”
Suara Alex tiba-tiba terdengar, muncul begitu saja di tengah-tengah mereka. Entah dari mana, entah sejak kapan ia berdiri di sana.
Eve tersentak kecil. Pembicaraan ini tidak menyenangkan, dan Alex datang tepat waktu—terlalu tepat. Ia berusaha menenangkan wajahnya, lalu tersenyum menyambut kedatangannya.
“Hei, aku sampai tidak sadar kau ada di sini, Alex.”
Alex merunduk dan mengecup bibir Eve, begitu saja, di depan Darren. Sekilas—namun cukup untuk membuat dada Darren terasa sesak.
“Duduklah di sini. Kau baru pulang? Bagaimana kau tahu aku ada di sini?” tanya Eve, menarik kursi di sisinya dengan nada hangat.
Alex melirik Darren sambil menaikkan sebelah alis. “Bagaimana aku tidak tahu di mana istriku berada?” katanya tenang, tapi dingin.
Lalu pada Darren, ia menambahkan, “Apa kau masih memiliki perlu dengannya? Jika tidak, aku akan membawanya pulang. Dia seharusnya sudah di rumah dan beristirahat sekarang.”
“Kami sudah selesai,” jawab Darren datar.
“Bagus.” Alex mengulurkan tangannya pada Eve. “Ayo pulang, Sayang.”
Eve menatap Darren sejenak, memberikan senyum tipis sebelum mengambil tasnya dan mengikuti Alex.
“Kenapa kau bisa tiba-tiba ada di sini?” tanyanya setelah mereka berjalan keluar.
“Apakah kau masih perlu menanyakan itu?”
Ah, tentu saja. Meskipun Alex mempercayainya mengendarai mobil sendiri, pria itu tidak pernah benar-benar berhenti mengawasinya.
“Mobilku di sana, Alex.” Eve menunjuk ke sisi lain.
“Biarkan saja. Aku akan mengirim orang untuk mengambilnya. Pulang denganku hari ini.”
Darren masih memperhatikan mereka dari balik jendela. Ia baru memalingkan pandangan ketika mobil Alex akhirnya pergi.
“Kau masih belum menjawab pertanyaanku,” kata Alex lagi, memecah keheningan di dalam mobil.
“Darren? Dia memintaku datang. Sebenarnya tadi pagi kami sudah bertemu karena dia meminta bantuanku,” ujarnya pelan. “Seseorang mengirim kue dari toko rotiku, tapi desainnya mengerikan—seperti sebuah teror. Aku sudah mencoba melacak nomornya, tapi sudah tidak aktif. Lalu tadi dia ingin bertemu lagi untuk membicarakan hal itu.”
“Dan?”
“Dia berpikir itu Miranda.”
Alex menatap lurus ke depan, ekspresinya tak berubah sedikit pun.
“Kau … tidak ingin mengatakan sesuatu?” tanya Eve, mencoba membaca wajahnya.
“Apa yang ingin kau dengar?”
“Kenapa bertanya padaku? Aku hanya menunggu apa yang ingin kau katakan tentang ini.”
“Biarkan saja dia menangani masalahnya sendiri. Dia sudah dewasa, tahu kapan saatnya butuh bantuan orang lain.”
“Bagaimana dengan Miranda? Bukankah dia sedang di penjara? Kau tidak ingin menanyakannya?”
“Aku sudah mengetahuinya.” Suaranya dalam, stabil. “Apa pun yang terjadi pada wanita itu, dia tidak akan bisa keluar dari sana.”
Alex menoleh, mengulurkan tangan membelai kepala Eve lembut.
“Jangan terlalu banyak memikirkan hal yang tak perlu. Cukup jaga dirimu … dan calon anak kita. Sisanya, biarkan aku yang urus.”
Andaikan Darren tahu hal ini—seberapa besar Alex mencintainya—apakah ia masih akan berani bicara omong kosong di depannya?
Mereka tiba di rumah dan langsung disambut Daisy yang berlari keluar begitu mobil berhenti.
“Ibu! Aku rindu sekali denganmu!” serunya sambil merentangkan tangan.
Namun sebelum sempat memeluk Eve, tubuh Daisy sudah diangkat oleh Alex. “Tidak rindu denganku?” tanyanya ringan.
“Mm … sedikit.” Daisy manyun, lalu menatap Ayahnya dengan ekspresi protes. “Itu salahmu, Ayah! Kau mengunci Ibu di kamar, jadi kami pergi ke rumah Nelly.”
Alex hanya mengangkat alis, sementara Eve menahan senyum.
Tapi Daisy belum selesai. Wajah cemberutnya berubah cerah lagi. “Oh iya, kalian tahu? Nelly hamil!”
“Sungguh?” Eve tampak terkejut. Mereka baru saja melangkah masuk ke ruang tamu. Di sana Nelly dan Nic sedang duduk menemani anak-anak mereka. Pandangan Eve langsung beralih pada Nelly.
“Nelly, apa benar kau hamil?”
“Ibu, kenapa kau tidak percaya padaku? Nelly memang hamil!” Daisy berkata penuh keyakinan, lalu menoleh ke Nic tanpa sadar apa yang baru ia lontarkan. “Nic juga bilang dia tidak tahu kenapa Nelly bisa hamil, padahal dia sudah mengeluarkannya di luar.”
Suasana mendadak membeku.
Eve terdiam kaku, menatap anaknya dengan wajah antara syok dan tak percaya, sementara Nic langsung pucat pasi.
“Benar, kan, Nic? Kau sudah mengeluarkan sampahnya di luar, kan?” Daisy mengulang dengan polos, tanpa dosa sedikit pun.
“Ya … sampahnya,” jawab Nic dengan senyum kaku. “Aku sudah mengeluarkan sampahnya di luar.”
Peluh dingin turun di pelipisnya. Ia bisa merasakan tatapan Alex yang, kalau bisa, sudah menembus tenggorokannya.
“Bu, apakah sampah bisa membuat seseorang hamil? Apa Ibu juga hamil karena Ayah memasukkan sampah ke tubuhmu? Kalau perutmu membesar nanti, apakah itu karena penuh sampah?”
Ruangan seketika menjadi senyap.
Eve memejamkan mata, menahan malu.
Alex menarik napas panjang, menunduk sedikit sambil menjawab dengan nada halus tapi sarat ancaman. “Bagaimana kalau kau tanya Nic saja? Dia dokter. Dia pasti bisa jelaskan dengan sangat baik.”
Daisy menoleh ke Nic, menunggu jawaban.
Nic menelan ludah. “Itu … tentu saja, ada adikmu yang tumbuh di perut Ibumu.”
“Lalu … dari mana sampahnya?” tanya Daisy lagi.
“Aa … bukankah kau mau bilang sesuatu ke Ibumu? Tentang undangan pesta ulang tahun?” Nic cepat-cepat mengalihkan topik, panik mencari jalan keluar.
“Oh! Aku hampir lupa!” Daisy bersinar lagi. “Ibu, aku dan Damien diundang ke pesta ulang tahun temanku. Boleh, ya?”
“Tentu saja. Di mana Kakakmu?”
“Di atas!” jawabnya cepat, lalu ia melompat turun dari gendongan Alex dan berlari menaiki tangga bersama Nelly.
Begitu semua sudah pergi dan rumah kembali tenang, suasananya berubah drastis.
Alex menatap Nic dengan tajam, langkahnya mendekat perlahan. “Bagaimana dengan orang misterius itu? Apa dia muncul lagi?”
Nic meneguk ludah. “Tidak. Tapi … kau harus mendengar sesuatu tentang anakmu. Bisa kita bicara di ruang kerjamu saja?”
***