Dr. Tristan Aurelio Mahesa, seorang dokter jenius sekaligus miliarder pemilik rumah sakit terbesar, dikenal dingin, tegas, dan perfeksionis. Hidupnya hanya berputar di sekitar ruang operasi, perusahaan farmasi, dan penelitian. Ia menolak kedekatan dengan wanita mana pun, bahkan sekadar teman dekat pun hampir tak ada.
Di sisi lain, ada Tiwi Putri Wiranto, gadis ceria berusia 21 tahun yang baru saja resign karena bos cabul yang mencoba melecehkannya. Walau anak tunggal dari keluarga pemilik restoran terkenal, Tiwi memilih mandiri dan bekerja keras. Tak sengaja, ia mendapat kesempatan menjadi ART untuk Tristan dengan syarat unik, ia hanya boleh bekerja siang hari, pulang sebelum Tristan tiba, dan tidak boleh menginap.
Sejak hari pertama, Tiwi meninggalkan catatan-catatan kecil untuk sang majikan, pesan singkat penuh perhatian, lucu, kadang menyindir, kadang menasehati. Tristan yang awalnya cuek mulai penasaran, bahkan diam-diam menanti setiap catatan itu. Hingga akhirnya bertemu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Langkah kaki Tiwi terdengar riang di lantai rumah sakit. Tangan kanannya memeluk kotak makan siang besar yang tadi pagi ia siapkan dengan penuh semangat. Aroma ayam kecap dan sup jagung masih tercium samar, meski sudah tertutup rapat.
Biasanya, supir keluarga Tristan yang akan datang menjemput kotak makan siang ke rumah. Tapi hari ini, Tiwi merasa lain. “Sekali-kali aku yang nganter. Biar dokter vampir itu tau kalau aku peduli!” katanya sendiri sambil nyengir, membuat beberapa pasien di lobi yang melihatnya jadi heran.
Begitu masuk, Tiwi langsung celingukan mencari meja resepsionis. “Mbak, ruangannya dokter Tristan yang ganteng-dingin itu di mana, ya?” tanyanya ceplas-ceplos pada suster yang berjaga.
Suster yang ditanyai sempat terkejut, lalu menutup mulut menahan tawa. “Dokter Tristan? Lantai tiga, ruang konsultasi utama. Tapi jangan bilang begitu keras-keras, nanti pasien ikut-ikutan.”
“Ah, gapapa. Biar terkenal kalau dia tuh vampir, eh maksudku dokter keren,” sahut Tiwi dengan percaya diri. Ia pun melenggang naik lift, tanpa peduli orang-orang masih berbisik menatapnya.
Sampai di lantai tiga, suasana lebih sepi dan hening. Hanya beberapa suster yang lalu-lalang sambil membawa berkas. Tiwi berjalan pelan menuju pintu bertuliskan Dr. Tristan Aurelio Mahesa, Sp.B. Ia hendak mengetuk, tapi langkahnya terhenti.
Suara dari dalam terdengar jelas.
“Tristan, aku serius… aku sudah lama suka sama kamu. Kenapa kamu terus menghindar? Bukankah kita sama-sama dokter, kita akan cocok sekali.” Suara seorang wanita, penuh nada memohon tapi juga memaksa.
Tiwi langsung membelalak. “Hah? Ada yang suka dokter vampir?!” bisiknya dengan wajah dramatis. Rasa kepo-nya mengalahkan segalanya. Ia menempelkan telinganya di pintu, bahkan sedikit mengintip dari celah kaca. Dan benar saja, di dalam ada seorang dokter wanita muda, berjas putih, rambut rapi, wajah cantik, sedang berdiri di depan Tristan.
Tristan sendiri hanya duduk dengan ekspresi datar, tangan terlipat di meja. “Dokter Arina, saya sudah bilang… saya tidak tertarik.”
“Tapi kenapa? Apa aku kurang cantik? Kurang pintar? Semua orang bilang kita pasangan ideal?” suara Arina meninggi, matanya berkaca-kaca.
Tiwi yang mengintip nyaris meledak. “Astaga, ini sinetron apa kenyataan? Dokter vampir digodain cewek kinclong dan dia diem aja kayak patung es. Nggak bener nih….”
Darahnya mendidih. Bukan karena cemburu atau mungkin iya sedikit tapi lebih karena ia merasa Tristan sedang dalam posisi terpojok. Dan ia, sebagai asisten rumah tangga sekaligus pengacau profesional, tidak bisa tinggal diam.
Tanpa pikir panjang, Tiwi mendorong pintu lebar-lebar.
“Sayangggg!” serunya keras sambil masuk, membuat Tristan hampir tersedak napas sendiri. “Ya ampun, aku nyariin kamu! Kok nggak bilang kalau ada tamu cewek cantik begini?”
Arina menoleh kaget, wajahnya langsung pucat. “Kamu… siapa?”
Tiwi melangkah mendekat, masih memeluk kotak makan siang. “Aku? Aku pacarnya Tristan, lah. Masa nggak tau? Ya ampun, Dokter Arina kan sering di rumah sakit, tapi gosip update gini aja ketinggalan.”
Tristan terperanjat. “Tiwi… apa yang kamu—”
“Awww, jangan marah, Sayang,” potong Tiwi cepat sambil duduk di sandaran kursi Tristan. Ia bahkan berani merangkul pundaknya. “Aku bawain makan siang loh. Nih, ayam kecap kesukaanmu. Kan kamu suka manis-manis, kayak aku.”
Tristan refleks menegang, wajahnya memerah. Sementara Arina tampak syok, lalu marah. “Kamu bercanda?! Dokter Tristan… ini benar? Kamu punya hubungan sama… anak kecil ini?”
Tiwi langsung menoleh, matanya membulat dramatis. “Eh, jangan salah loh, Mbak Dokter. Aku bukan sembarang anak kecil, kecil kecil gini aku ini sudah bisa buat anak kecil Lo. Aku juga limited edition! Bisa masak, bisa bikin rumah rame, bisa bikin dokter es batu ini senyum tiap pagi.”
“Tiwi!” Tristan akhirnya bersuara, membuat suasana hening. Tapi anehnya, ia tidak langsung membantah. Tatapannya justru campur aduk: antara malu, marah, sekaligus bingung harus bagaimana.
Arina mengepalkan tangan. “Aku nggak percaya. Tristan, katakan sesuatu!”
Tristan menghela napas panjang, menatap Tiwi sebentar. Dalam hatinya, ia ingin berkata bahwa semua ini salah paham. Tapi lidahnya kelu ketika melihat sorot mata Tiwi yang penuh keyakinan. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia membiarkan orang lain mengambil alih.
“Aku tidak ada kewajiban menjelaskan padamu, Arina,” jawabnya dingin. “Silakan keluar. Saya masih ada pasien.”
Arina terbelalak, lalu bibirnya bergetar. “Jadi… kamu lebih memilih dia daripada aku?!”
Tiwi mendecak, lalu dengan wajah sok manis menjawab, “Ya iyalah. Masa nggak liat? Aku lebih lucu, lebih rame, lebih original.”
“Dasar perempuan kampung!” Arina menjerit, lalu berlari keluar dengan mata berkaca-kaca.
Hening kembali menyelimuti ruangan. Tiwi baru sadar betapa cepat jantungnya berdetak. Ia menoleh pelan pada Tristan yang menatapnya tajam.
“Kamu…” suara Tristan rendah, nyaris bergetar. “Barusan kamu bikin apa?”
Tiwi menyengir kaku. “Hehe… misi penyelamatan? Kan kasian kalo kamu dipaksa-paksa gitu. Jadi aku improvisasi.”
Tristan menutup mata, mengusap wajah dengan kedua tangannya. “Astaga, Tiwi… kamu bikin aku jantungan.”
“Tapi berhasil, kan? Cewek itu pergi.”
“Dengan drama yang jauh lebih besar!”
Tiwi terkekeh. “Ya abis gimana, Sayang. Eh—maksudku Dokter.”
Tristan menatapnya lama. Lalu tanpa sadar, ujung bibirnya melengkung tipis. “Kamu gila.”
Tiwi mendengus bangga. “Gila itu bonus.”
Beberapa menit kemudian, Tristan membuka kotak makan siang yang tadi dibawa Tiwi. Aroma ayam kecap langsung memenuhi ruangan. Tiwi duduk di sofa sambil memperhatikan.
“Coba, Dok. Jangan bilang nggak enak, nanti aku mogok nulis sticky note.”
Tristan mengambil satu suap. Diam. Mengunyah perlahan.
Tiwi menunggu dengan wajah penuh antisipasi. “Gimana? Gimana?”
“…Lumayan.”
Tiwi melotot. “Lumayan? Itu doang? Padahal aku udah bela-belain ngerebus tulang ayam empat jam loh biar kaldunya mantap!”
Tristan menoleh dengan tatapan datar, tapi sudut bibirnya masih terangkat. “Untuk ukuranmu, lumayan itu sudah pujian.”
Tiwi mendengus, tapi diam-diam tersenyum lebar.
Kabar insiden itu menyebar cepat di rumah sakit. Suster-suster berbisik heboh, pasien ikut-ikutan kepo, bahkan dokter lain menatap Tristan dengan heran setiap kali lewat.
“Eh, katanya Dokter Tristan punya pacar baru?”
“yang benar?.”
“Masa dokter sekeren itu sama daun muda? Romantis banget ya kalau bener.”
Tristan hampir pusing setiap kali mendengar gosip beredar. Sementara Tiwi? Ia justru merasa bangga.
“Liat, Dok. Popularitasmu naik gara-gara aku. Harusnya kamu makasih,” ujarnya riang di rumah malam itu.
Tristan menatapnya tajam. “Popularitas macam apa? Sekarang semua orang mengira kita….”
“Pacaran?” Tiwi menimpali dengan senyum lebar. “Ya biarin. Kan cuma akting.”
Namun dalam hati, Tristan tahu: ekspresi Tiwi tadi siang bukan sekadar akting. Dan anehnya, ia tidak marah. Malah ada sesuatu yang menghangat di dalam dirinya.
Untuk pertama kalinya sejak lama, Tristan merasa… tidak sendiri.
Bersambung…
weezzzzz lah....di jamin tambah termehek-mehek kamu....🤭
Siapa sih orang nya yang akan diam saja, jika dapat perlakuan tidak baik dari orang lain? Tentunya orang itu juga akan melakukan pembalasan balik.
Lope lope sekebon Author......🔥🔥🔥🔥🔥
Tak kan mudah kalian menumbangkan
si bar bar ART.....💪🔥🔥🔥🔥🔥