Jingga Nayara tidak pernah membayangkan hidupnya akan hancur hanya karena satu malam. Malam ketika bosnya sendiri, Savero Pradipta dalam keadaan mabuk, memperkosanya. Demi menutup aib, pernikahan kilat pun dipaksakan. Tanpa pesta, tanpa restu hati, hanya akad dingin di rumah besar yang asing.
Bagi Jingga, Savero bukan suami, ia adalah luka. Bagi Savero, Jingga bukan istri, ia adalah konsekuensi dari khilaf yang tak bisa dihapus. Dua hati yang sama-sama terluka kini tinggal di bawah satu atap. Pertengkaran jadi keseharian, sinis dan kebencian jadi bahasa cinta mereka yang pahit.
Tapi takdir selalu punya cara mengejek. Di balik benci, ada ruang kosong yang diam-diam mulai terisi. Pertanyaannya, mungkinkah luka sebesar itu bisa berubah menjadi cinta? Atau justru akan menghancurkan mereka berdua selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shinta Aryanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Suami Istri Rahasia yang Kompak…
MC kembali bersuara lantang di atas panggung kecil:
“Baik, kita mulai dengan lomba pertama: estafet air pakai spons! Satu tim harus memindahkan air laut dengan spons dari ember besar ke botol kosong di ujung garis. Siapa yang paling cepat mengisi botol hingga penuh, dialah pemenangnya!”
Sorak-sorai langsung menggema. Beberapa tim bersiap dengan semangat, ada yang langsung mengikat rambut, ada pula yang sudah berlarian ke pinggir laut.
Jingga sudah loncat-loncat kegirangan.
“Yes! Ini permainan aku banget! Nisa, kamu bagian lari terakhir ya, biar aku yang ngisi duluan.”
Nisa menggeleng cepat. “Aku takut kecebur kalau ke laut.”
Savero, dengan wajah datar, langsung menyahut, “Kalau takut basah, kenapa ikut outing?”
Jingga langsung nyeletuk dengan nada jenaka, “
“Ya ampun, Pak Bos, ini outing, bukan gladi perang. Jangan tegang gitu, nanti pantainya stres.”
Beberapa staf dari tim lain sampai cekikikan mendengarnya.
Savero menurunkan kacamatanya sedikit, menatap tajam. “Kamu serius atau tidak?”
“Serius dong,” jawab Jingga sambil mengangkat spons seperti piala. “Tapi seriusnya ala-ala, kan main, bukan kerja rodi.”
MC memberi aba-aba keras:
“Siap… satu, dua, tiga!”
Semua tim langsung berlari. Jingga, yang jadi orang pertama, nyemplungin spons ke laut dengan gaya lebay, lalu lari sambil menjerit, “Air laut! Mohon kerjasamanya!” sampai penonton ngakak. Dia memang sempat terpeleset, tapi refleks langsung berguling, bangun lagi, dan… air di spons ternyata masih cukup banyak.
“Lihat, kan? Harus jatuh dulu biar ada seninya!” Jingga berseru, menyerahkan spons ke Savero.
Savero tidak banyak bicara, langsung ambil spons dengan wajah serius. Langkahnya stabil, tegap, tanpa tumpah sedikit pun. Semua orang sempat terdiam melihat kontras itu: satu ceroboh tapi penuh energi, satu lagi rapi dan presisi. Hasilnya? Botol mereka mulai terisi cepat.
Giliran Nisa, yang tadinya gemetaran. Jingga bertepuk tangan keras-keras sambil bersorak, “Ayo, Nis! Lari! Anggap aja kamu kejar diskon 70%!”
Savero, meski dingin, ikut menimpali pendek, “Jangan banyak berpikir. Fokus.”
Entah kenapa, kombinasi semangat jenaka dan instruksi singkat itu bikin Nisa benar-benar bisa lari cepat sambil cengengesan. Sponsnya penuh, botol makin cepat terisi.
Putaran berikutnya jadi lebih kompak. Jingga berlari dengan tawa, Savero dengan presisi, Nisa yang tadinya ragu malah ikut terbawa ritme. Penonton bersorak tiap kali tim mereka lewat, karena kombinasi gaya mereka kelihatan paling “hidup”.
Hingga detik-detik terakhir, botol tim Mahesa sudah hampir penuh, tapi tim Savero juga mengejar cepat. Savero yang mendapat giliran terakhir mencelup spons dalam-dalam, lalu berlari dengan langkah panjang seperti atlet. Jingga di belakangnya teriak heboh, “Gaspol, Pak Bos! Ayo, kayak kejar deadline tender milyaran!”
Sorakan pecah ketika Savero memeras spons terakhir ke botol, dan… airnya meluber sampai tumpah sedikit. Botol penuh lebih dulu daripada tim Mahesa.
MC langsung teriak, “Pemenang lomba estafet air: TIM ENAM!”
Semua penonton bersorak. Jingga langsung lompat kegirangan, menepuk tangan Nisa, lalu refleks nyaris mau menepuk pundak Savero… tapi buru-buru berhenti karena sadar itu bosnya. Mana sudah dipelototi pula.
“Yaaaay! Kita menang! Kan saya bilang tadi, seni jatuh juga berguna!” katanya sambil ngakak.
Savero berdiri tegak, wajahnya masih dingin, tapi nada suaranya lebih pelan. “Lumayan. Tidak seburuk yang saya kira.”
Jingga nyengir. “Ih, Pak Bos nggak bisa ya bilang ‘hebat’? Sekali-kali kasih pujian gitu, biar saya makin semangat.”
Savero menoleh sekilas, tajam tapi ada kilatan berbeda di matanya. “Jangan terlalu percaya diri. Baru juga menang sekali.”
Nisa menunduk sambil cengengesan. “Tapi jujur, aku nggak nyangka kita bisa juara.”
“Makanya jangan remehin tim absurd,” balas Jingga cepat, bangga.
Penonton masih ramai bersorak, bahkan beberapa tim lain nyeletuk, “Tim absurd jadi juara, nggak nyangka!”
Jingga malah menjawab sambil melambai, “Kami tim absurd yang solid, terima kasih!”
Setelah tim Savero mengejutkan semua orang dengan kemenangan di lomba pertama, MC kembali berdiri di tengah lapangan pasir.
...****************...
“Baiklah! Kita lanjut ke lomba kedua!” suaranya keras, penuh semangat. “Lomba ini… balap karung beregu! Satu tim tiga orang harus masuk ke karung besar, lalu lompat bareng sampai garis finish!”
Sorak-sorai langsung pecah. Beberapa orang ketawa ngakak membayangkan repotnya tiga orang masuk satu karung.
Nisa pucat. “Ya Tuhan… kita masuk satu karung?”
Jingga sudah jingkrak-jingkrak kegirangan. “Yes! Ini seru banget! Aku suka yang beginian.”
Savero menghela napas, melipat tangan di dada. “Ini… tidak efisien.”
“Pak Bos, outing tuh bukan rapat evaluasi tahunan. Gak ada yang peduli sama efisiensi, yang penting heboh!” jawab Jingga sambil ngakak.
Tak lama karung besar dibagikan. Jingga langsung nyemplung duluan, “Aku paling depan biar jadi pilot!”
Savero menatapnya datar. “Kamu itu paling ceroboh.”
“Makanya seru!” balas Jingga cepat, lalu menyuruh Nisa, “Nis, kamu di tengah aja. Tenang, kalau jatuh aku pasang badan.”
Nisa meringis. “Justru itu yang bikin aku nggak tenang, Jingga.”
Savero akhirnya masuk paling belakang, wajahnya penuh ketidakrelaan. Dari luar, tim mereka terlihat aneh: Jingga di depan dengan ekspresi super excited, Nisa di tengah kebingungan, dan Savero di belakang seperti tahanan yang dipaksa ikut.
“Siap, semua tim?” MC mengangkat tangan. “Satu… dua… tiga!”
Brukk! Semua tim mulai lompat. Ada yang langsung jatuh, ada yang terseret. Jingga dengan penuh semangat teriak, “Kiri! Kanan! Kiri! Kanan!” seperti komandan baris-berbaris. Tapi karena terlalu semangat, langkahnya sering lebih panjang.
“Jangan terlalu cepat!” suara Savero meninggi dari belakang.
“Aku tuh udah pas, yang di tengah aja kependekan kakinya!” Jingga membela diri.
Nisa hampir terjengkang. “Jangan salahin aku! Kalian berdua ini tinggi banget, aku kerdil sendiri!”
Penonton terbahak-bahak melihat mereka heboh sendiri di dalam karung.
Beberapa kali mereka oleng ke kanan, hampir jatuh, tapi anehnya selalu bisa seimbang lagi. Jingga ngakak sepanjang jalan, sementara Savero dengan wajah masam malah berfungsi jadi pemberat yang bikin karung tetap stabil.
Menjelang garis finish, tim Mahesa sudah duluan di depan. Jingga panik, “Pak Bos, kita kalah dong kalau gini!”
Savero mendesis pendek, tidak ada kalah dalam rumus hidupnya. “Lompat lebih jauh. Hitung.”
“Apa?!”
“Tiga kali lompatan panjang. Ikuti saya.”
Mau tak mau Jingga menurut. Savero menghitung, “Satu… dua… tiga!”
Brak! Mereka bertiga lompat super jauh. Jingga teriak heboh, Nisa hampir pingsan, tapi ajaibnya karung mereka mendarat stabil. Sekali lagi, lalu sekali lagi, dan di lompatan terakhir mereka berhasil menyusul setengah badan karung tim Mahesa.
Garis finish semakin dekat. Jingga teriak,
”Gaspol, Pak Bos! Inget tender milyaran!”
Savero tidak membalas, tapi ia menghentakkan karung kuat-kuat untuk lompatan terakhir.
Dhuuugg! Karung mereka melesat, jatuh persis di garis finish bersamaan dengan tim Mahesa. Semua penonton bersorak heboh.
MC sampai bingung, “Waduh… tipis banget ya pemirsa! Kita cek ulang videonya!”
Sementara itu Jingga sudah tergeletak di pasir, ngakak sampai perutnya sakit. “Astaga, serasa gempa bumi di karung tadi!”
Nisa meringis sambil tepuk-tepuk dadanya, “Aku… aku kira tadi jantungku copot.”
Savero hanya mengibaskan pasir dari lengannya, wajahnya tetap dingin. Tapi ujung bibirnya… nyaris tersenyum, meski buru-buru ia tutupi lagi.
Beberapa menit kemudian MC teriak, “Setelah dicek ulang… pemenangnya… TIM ENAM lagi!”
Sorakan makin riuh. Jingga langsung berdiri, melambai-lambai ke penonton seperti artis. “Terima kasih, terima kasih! Kami memang tim absurd tapi solid!”
Savero hanya menghela napas, tapi matanya mengikuti Jingga sekilas. Untuk pertama kalinya, ia mengakui dalam hati, keabsurdan gadis itu entah bagaimana bisa membawa hasil.
(Bersambung)…
langsung mp sama Jingga...
biar Kevin gak ngejar-ngejar Jingga
lanjut thor ceritanya
di tunggu updatenya