Di desa terpencil yang bahkan tidak tercatat di peta, Xu Hao lahir tanpa bakat, tanpa Qi, dan tanpa masa depan. Hidupnya hanyalah bekerja, diam, dan menahan ejekan. Hingga suatu sore, langit membeku… dan sosok berjubah hitam membunuh kedua orang tuanya tanpa alasan.
Dengan tangan sendiri, Xu Hao mengubur ayah dan ibunya, lalu bersumpah. dendam ini hanya bisa dibayar dengan darah. Namun dunia tidak memberi waktu untuk berduka. Diculik perampok hutan dan dijual sebagai barang dagangan, Xu Hao terjebak di jalan takdir yang gelap.
Dari penderitaan lahirlah tekad. Dari kehancuran lahir kekuatan. Perjalanan seorang anak lemah menuju dunia kultivasi akan dimulai, dan Xu Hao bersumpah, suatu hari, langit pun akan ia tantang.
Note~Novel ini berhubungan dengan novel War Of The God's.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YUKARO, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Latihan Berat Semakin Intens
Langit malam telah berubah menjadi lautan bintang yang tak bertepi. Di puncak gunung itu, udara membawa kesejukan yang menusuk kulit, namun bagi para kultivator, setiap hembusan angin justru terasa bagaikan aliran Qi murni yang menelusup masuk ke dalam tubuh. Xu Hao masih duduk bersila di atas batu datar, merasakan sisa getaran lembut dari penjelasan panjang Cuyo yang tadi seakan membuka tirai rahasia dunia baru baginya.
Tubuhnya memang lelah, namun hati dan pikirannya justru seperti nyala api yang baru saja disiram minyak. Kata-kata Cuyo masih bergema di benaknya. Penjelasan tentang Qi Refining, Foundation Establishment, hingga tingkatan True Immortal bagaikan lukisan luas yang terbentang di hadapannya, membuatnya sadar betapa panjang dan curamnya jalan yang harus ia tempuh.
Cuyo berdiri di hadapannya, siluetnya tampak kokoh di bawah cahaya bulan. Jubahnya birunya bergerak pelan mengikuti tiupan angin gunung. Dari sudut matanya, Xu Hao bisa melihat Lianxue berdiri beberapa langkah di belakang, tenang namun penuh perhatian, matanya yang jernih memandang padanya seakan menyimpan sesuatu yang belum diucapkan.
“Cukup untuk malam ini, Hao'er,” suara Cuyo terdengar dalam dan mantap. “Kultivasi bukanlah jalan yang dapat kau tempuh dengan terburu-buru. Malam ini kau sudah membuka pintu pertama. Sekarang, biarkan tubuh dan pikiranmu beristirahat. Esok hari adalah awal dari ujian yang berbeda.”
Xu Hao mengangguk pelan. Ia ingin sekali bertanya lebih banyak, tetapi ia merasa tubuhnya menuntut untuk tenang. “Baik, Paman,” jawabnya dengan nada hormat. Ia lalu bangkit perlahan, merasakan betapa otot-ototnya sedikit tegang setelah duduk terlalu lama.
Rumah kayu yang menjadi tempat tinggal Lianxue dan dirinya berdiri tak jauh dari tempat mereka berlatih. Saat Xu Hao melangkah menuju pintu rumah itu, langkahnya terdengar ringan di tanah berbatu, namun hatinya dipenuhi berbagai bayangan akan hari-hari yang akan datang.
Begitu ia mendorong pintu, suara engsel kayu yang sedikit berderit terdengar, disusul hangatnya udara dari dalam rumah yang membuatnya sedikit lega. Ia melangkah masuk, menutup pintu perlahan. Dari luar, cahaya lampu minyak yang redup memantulkan bayangan tubuhnya ke dinding, lalu perlahan menghilang ketika pintu menutup rapat.
Keheningan menyelimuti halaman kecil di depan rumah. Cuyo menatap pintu yang baru saja tertutup itu untuk beberapa saat. Pandangannya kemudian beralih pada putrinya, Lianxue. Cahaya bulan memantul di rambut hitamnya yang tergerai lembut, sementara matanya yang jernih tetap memandang penuh hormat pada ayahnya.
“Lianxue,” ujar Cuyo, suaranya rendah namun mengandung ketegasan yang sulit dibantah. “Besok pagi, latihlah fisik Hao'er. Jangan hanya sekali. Lakukan itu setiap hari. Ia harus menguatkan tubuhnya sebelum Qi yang ia serap dapat mengalir tanpa hambatan di setiap meridiannya.”
Lianxue mengangguk pelan. “Baik, ayah,” jawabnya dengan nada patuh, namun di balik suara itu ada sedikit nada prihatin. “Apakah… tubuhnya cukup kuat untuk menerima latihan fisik intensif?”
Cuyo menghela napas, pandangannya mengarah ke hamparan lembah di bawah gunung. “Justru karena tubuhnya lemah, ia harus menguatkannya. Ingat, fondasi fisik seorang kultivator sama pentingnya dengan dantian dan meridiannya. Tanpa tubuh yang kuat, energi yang besar hanya akan menghancurkannya dari dalam.”
Angin malam bertiup pelan, membawa aroma dedaunan dan tanah lembap. Suara binatang malam terdengar jauh di kejauhan, mengisi keheningan yang tercipta di antara ayah dan anak itu. Lianxue menunduk sedikit, menyembunyikan ekspresi yang tak ingin ia perlihatkan.
“Ayah akan datang setiap malam,” lanjut Cuyo, suaranya kini lebih lembut. “Aku sendiri yang akan membimbing kultivasinya. Namun latihan fisik… itu akan menjadi tanggung jawabmu.”
“Baik, ayah,” Lianxue kembali menjawab, kali ini dengan suara mantap. Di matanya, terselip sedikit kilatan tekad. Ia mengerti bahwa yang diminta ayahnya bukan sekadar tugas, melainkan amanah yang dapat menentukan hidup dan mati seseorang di jalan kultivasi.
Cuyo menatap putrinya lama, lalu mengangguk puas. “Kau memiliki hati yang lembut, Lianxue. Namun dalam melatih orang lain, jangan biarkan kelembutan itu menghalangi ketegasan. Latih dia seperti kau melatih dirimu sendiri… bahkan lebih keras jika perlu.”
Lianxue terdiam, lalu mengangguk. “Mengerti.”
Beberapa saat kemudian, Cuyo memalingkan wajah ke arah langit. Cahaya bulan menyorotkan sinar keemasan tipis pada wajahnya yang penuh pengalaman. Dalam hatinya, ia memikirkan masa lalu, masa kini, dan masa depan. Langkah yang diambil malam ini mungkin terlihat kecil, tetapi ia tahu, benih yang ditanam pada Xu Hao akan menentukan bagaimana badai besar yang akan datang dapat dihadapi.
Lalu Cuyo langsung melesat ke udara untuk kembali ke klan.
Malam di puncak gunung itu terus bergulir, bintang-bintang berkelip seakan menjadi saksi diam percakapan dua sosok yang memikul tanggung jawab lebih besar dari yang bisa dilihat mata.
Pagi berikutnya.
Cahaya fajar menyelinap perlahan di antara celah pepohonan pinus, menciptakan garis-garis cahaya tipis yang menari di udara berembun. Udara pagi membawa aroma segar dedaunan basah dan tanah gunung yang murni, menusuk paru-paru dengan kesejukan yang hampir membuat kepala terasa ringan. Suara burung-burung kecil terdengar dari kejauhan, namun selain itu, puncak gunung tetap sunyi dan sakral.
Xu Hao membuka mata dengan berat. Otot-ototnya terasa kaku dan nyeri, sisa dari latihan fisik kemarin masih melekat kuat di tubuhnya. Bahkan ketika ia mencoba menggerakkan bahunya, rasa sakit yang tumpul menjalar dari lengan hingga punggung. Meski begitu, ia tak mengeluh. Ia ingat pesan Cuyo malam tadi, bahwa tubuh adalah pondasi kultivasi.
Pintu rumah kayu terbuka perlahan. Lianxue berdiri di ambang pintu, siluetnya dibalut cahaya keemasan mentari pagi. Jubah latihannya yang sederhana berwarna biru muda, rambut hitamnya diikat tinggi, dan matanya yang jernih memandang lurus pada Xu Hao.
“Bangun,” katanya singkat, namun nada suaranya bukan sekadar perintah. Ada dorongan di dalamnya yang membuat Xu Hao tahu ia tidak bisa menunda.
Xu Hao mengangguk, bangkit perlahan, dan berjalan keluar. Begitu ia menginjak tanah halaman yang masih basah oleh embun, hawa dingin langsung merambat dari telapak kaki hingga ke tulang punggung. Lianxue sudah berdiri di tengah halaman, kedua tangannya di pinggang, menunggu.
“Hari ini latihan fisik kedua. Jangan harap lebih ringan dari kemarin,” katanya tanpa basa-basi. “Kau mungkin merasa lelah, tapi tubuhmu harus terbiasa menanggung beban. Setiap tetes keringat yang kau keluarkan akan menjadi jalan bagi Qi untuk mengalir lebih lancar.”
Xu Hao menarik napas panjang. “Mengerti.”
“Baik. Kita mulai dari lari keliling jalur gunung,” perintah Lianxue. “Tiga putaran penuh. Setelah itu, latihan kekuatan tubuh bagian atas, lalu latihan pernapasan.”
Xu Hao menelan ludah. Tiga putaran di jalur gunung bukanlah jarak yang pendek. Jalur itu berliku, naik-turun, dan sebagian tertutup akar-akar pohon yang licin karena embun. Namun ia tidak membantah.
Lianxue berjalan di depan, memimpin. Langkahnya ringan namun cepat, seolah medan sulit itu bukan apa-apa. Xu Hao berusaha mengikutinya, tapi baru lima puluh langkah, napasnya mulai memburu. Udara pagi memang sejuk, tetapi paru-parunya terasa panas, seperti terbakar dari dalam.
“Langkahmu terlalu berat,” suara Lianxue terdengar dari depan tanpa menoleh. “Gunakan pergelangan kaki, jangan seluruh telapak. Biarkan tubuhmu sedikit condong ke depan.”
Xu Hao mencoba menyesuaikan, dan memang, langkahnya menjadi sedikit lebih efisien. Namun rasa lelah tetap datang cepat. Keringat mulai membasahi pelipisnya, bercampur dengan embun pagi yang menempel di kulit.
Putaran pertama terasa seperti ujian mental. Putaran kedua mulai terasa seperti penyiksaan. Setiap kali ia ingin melambat, Lianxue akan menoleh sekilas dengan tatapan yang tajam namun tidak kejam. tatapan yang seolah berkata, jangan berhenti.
Saat mencapai putaran ketiga, kakinya terasa seperti diikat beban. Napasnya terengah-engah, dan ia hampir terpeleset di tanjakan licin. Namun tangan Lianxue tiba-tiba meraih lengannya, menariknya agar tetap tegak.
“Jangan jatuh. Jika kau jatuh di jalur kultivasi, kau mungkin tidak akan bangun lagi,” ucapnya datar, lalu melepaskannya kembali.
Ketika akhirnya sampai di halaman, Xu Hao hampir terjatuh berlutut. Keringat mengalir deras, tubuhnya bergetar. Namun Lianxue tidak memberi waktu banyak.
“Sekarang, dorongan tubuh. Lima puluh kali. Setelah itu, angkat batu ini,” ia menunjuk batu bundar seberat kira-kira dua puluh kati. “Sepuluh kali angkat di atas kepala.”
Xu Hao menatap batu itu, merasa tangannya sudah nyaris mati rasa. Namun ia menggigit bibir dan mulai bergerak. Dorongan tubuh pertama terasa berat, dorongan kedua membuat lengannya nyeri, dorongan ke tiga puluh membuat pandangannya mulai berkunang. Namun ia terus memaksa.
Setelah itu, ia berjongkok di depan batu bundar. Jari-jarinya yang basah keringat sedikit licin, namun ia menggenggam erat, menariknya dengan tenaga yang tersisa. Batu itu naik perlahan hingga setinggi dada, lalu dengan teriakan pendek ia dorong hingga di atas kepala.
Lianxue mengamati dengan seksama. Setiap gerakan Xu Hao diperhatikannya, bukan untuk mencari kesalahan, tetapi untuk mengukur sejauh mana ketahanan tubuhnya berkembang. Ia tahu latihan ini bukan hanya soal kekuatan otot, tetapi juga soal kemauan untuk tidak menyerah.
Setelah seluruh set selesai, Xu Hao terjatuh terduduk di tanah, napasnya berat seperti baru saja memanjat gunung dua kali.
“Cukup untuk latihannya,” kata Lianxue akhirnya. “Masuklah dan istirahat. Nanti kita lanjutkan lagi.
Begitu Lianxue mengucapkan kata “istirahat”, Xu Hao hampir tidak percaya telinganya. Tubuhnya terasa bagai diperas habis. Begitu ia masuk ke rumah kayu, napasnya masih tersengal, otot-ototnya kaku dan berdenyut seperti baru saja dipukul dari dalam.
Rumah kayu itu sederhana. lantai papan kasar, satu meja kecil di sudut, dan tikar jerami tipis untuk berbaring. Cahaya matahari menembus celah dinding, memantulkan debu halus yang berputar di udara. Xu Hao langsung duduk bersandar ke dinding, membiarkan dirinya merasakan denyut di seluruh tubuh.
Tangannya gemetar ketika ia menuang air dari kendi tanah liat ke cangkir. Airnya dingin, menyegarkan, namun juga membawa rasa perih di tenggorokan yang kering. Setiap tegukan seperti memadamkan bara di dalam dadanya. Ia minum perlahan, takut jika meminumnya sekaligus tubuhnya malah terguncang.
Meski rasa lelah mendominasi, Xu Hao mengingat pesan Cuyo tentang mengatur napas. Ia memejamkan mata, menyalurkan kesadarannya ke dantian bawah, mencoba merasakan sisa-sisa Qi yang ia serap semalam. Tidak banyak, tapi ada sedikit kehangatan yang berkumpul di sana, seolah tubuhnya sedang memulihkan diri dari luka yang tak terlihat.
Waktu berjalan lambat. Di luar, suara dedaunan bergesekan tertiup angin gunung, dan sesekali terdengar suara Lianxue berlatih pedang sendirian. Gerakan pedangnya cepat namun ritmis, terdengar seperti desir kain dan desingan tipis membelah udara.
Xu Hao membuka mata tepat ketika bayangan di lantai mulai bergeser, tanda matahari naik lebih tinggi. Waktu istirahat satu jam yang diberikan Lianxue hampir habis. Ia berdiri perlahan, menggerakkan bahu dan pinggang untuk melonggarkan otot. Rasa nyeri masih ada, tetapi tubuhnya sedikit lebih ringan daripada saat ia baru selesai latihan tadi.
Ketika Xu Hao keluar, Lianxue sudah menunggunya di halaman dengan sebatang tongkat bambu panjang. Tongkat itu halus, ringan, namun cukup kuat untuk melatih keseimbangan dan kelenturan.
“Kita lanjut,” ucap Lianxue singkat. “Latihan siang ini fokus pada kelincahan dan reaksi. Kekuatan ototmu belum cukup, jadi kita perkuat juga kecepatanmu. Dunia kultivasi tidak hanya tentang menyerang keras, tapi juga bergerak cepat.”
Xu Hao mengangguk.
Latihan dimulai dengan langkah-langkah berpola di atas jalur batu datar. Lianxue membuat garis imajiner di tanah dan menyuruh Xu Hao bergerak maju-mundur, menyamping, lalu melompat kecil, semuanya dalam ritme tertentu.
“Jangan biarkan kakimu kaku,” kata Lianxue. “Bayangkan tubuhmu seperti daun yang tertiup angin, tapi akar kakimu tetap kokoh.”
Mula-mula Xu Hao kesulitan mengikuti ritme. Nafasnya tersengal, dan setiap kali ia mencoba bergerak cepat, tubuhnya terasa lamban. Namun Lianxue tidak menghentikan latihan. Ia hanya sesekali mengoreksi posisi kakinya, atau memukul ringan betisnya dengan tongkat bambu agar ia sadar posisi.
Setelah beberapa siklus gerakan, mereka beralih ke latihan menghindar. Lianxue berdiri di depan, memutar tongkat bambu di tangannya, lalu mulai mengayunkannya ke arah Xu Hao—kadang rendah ke kaki, kadang tinggi ke bahu, kadang menusuk lurus ke arah dada.
Xu Hao harus menghindar tanpa menjauh terlalu jauh, menjaga jarak tetap. Awalnya ia sering terkena pukulan ringan di lengan atau pinggang, namun perlahan matanya mulai bisa membaca arah serangan sebelum tongkat bergerak penuh.
“Bagus. Gunakan pandangan mata, bukan pikiran. Pikirkan terlalu lama, kau sudah kalah,” ujar Lianxue sambil memutar tongkatnya cepat.
Setelah setengah jam, latihan berpindah ke kekuatan inti tubuh. Mereka memindahkan batu bundar dari satu sisi halaman ke sisi lainnya, lalu kembali, berulang-ulang. Batu itu tidak menjadi lebih ringan meski ia sudah mengangkatnya pagi tadi.
Matahari mulai condong ke barat. Cahaya keemasan membanjiri puncak gunung, membuat siluet pepohonan memanjang. Tubuh Xu Hao basah kuyup oleh keringat, napasnya berat, namun ia masih terus bergerak.
Ketika akhirnya Lianxue berkata, “Cukup untuk hari ini,” Xu Hao merasa seolah tubuhnya benar-benar diperas habis, tetapi juga anehnya… ia merasa lebih hidup.
Langkah kaki Xu Hao terasa berat ketika ia meninggalkan halaman latihan. Sinar matahari senja sudah mulai meredup, menyisakan cahaya keemasan yang menempel pada pucuk dedaunan. Angin gunung berhembus lembut, namun bagi Xu Hao yang tubuhnya penuh peluh, hembusan itu membawa rasa dingin yang merayap perlahan ke kulit.
Ia sempat menoleh ke belakang, melihat Lianxue membereskan tongkat bambu dan batu latihan. Gerakannya tenang, seakan ia sendiri belum lelah sama sekali, kontras dengan napas Xu Hao yang masih tersengal.
Begitu sampai di dekat rumah kayu, Xu Hao menurunkan beban di pundaknya, merentangkan tangan, dan menghela napas panjang. Otot-otot di punggungnya berdenyut, seolah protes karena dipaksa bekerja seharian. Namun di balik rasa nyeri itu, ada semacam kehangatan yang samar di bagian dantian bawahnya. Sejak Cuyo mengajarkan cara menyerap Qi, ia mulai peka terhadap perubahan kecil dalam tubuhnya. Rasa itu seperti bara yang diam-diam menjaga tubuhnya tetap hidup, walau ia merasa sangat letih.