Kania, gadis yang hidupnya berubah seketika di hari pernikahannya.
Ayah dan ibu tirinya secara tiba-tiba membatalkan pernikahan yang telah lama direncanakan, menggantikan posisi Kania dengan adik tiri yang licik. Namun, penderitaan belum berhenti di situ. Herman, ayah kandungnya, terhasut oleh Leni—adik Elizabet, ibu tirinya—dan dengan tega mengusir Kania dari rumah.
Terlunta di jalanan, dihujani cobaan yang tak berkesudahan, Kania bertemu dengan seorang pria tua kaya raya yang dingin dan penuh luka karena pengkhianatan wanita di masa lalu.
Meski disakiti dan diperlakukan kejam, Kania tak menyerah. Dengan segala upaya, ia berjuang untuk mendapatkan hati pria itu—meski harus menanggung luka dan sakit hati berkali-kali.
Akankah Kania berhasil menembus dinding hati pria dingin itu? Atau akankah penderitaannya bertambah dalam?
Ikuti kisah penuh emosi, duka, dan romansa yang menguras air mata—hanya di Novel Toon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon akos, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10. HARI PERNIKAHAN
Kania berdiri di dua sisi mata pisau, keduanya tajam dan siap melukai dirinya kapan saja. Sisi pertama adalah penjara pernikahan yang mengerikan.
Siapa yang tidak kenal Tuan Bram? Namanya selalu jadi perbincangan di setiap sudut kota, terutama di kalangan wanita yang mengaguminya dari kejauhan. Pria tampan itu memang tak pernah gagal menarik perhatian. Namun, di balik pesona dan senyum dinginnya, tersimpan sebuah sisi gelap yang membuat siapa saja merinding.
Sudah bertahun-tahun Bram menutup rapat hatinya. Luka masa lalu yang dalam membuatnya tak lagi percaya pada kata ‘cinta’. Baginya, semua wanita hanyalah bayangan yang haus akan harta dan status. Tak ada satu pun yang layak untuk dipercaya, apalagi dicintai selain ibunya.
Di sisi lain, mundur berarti menghadapi amarah dan tekanan dari Nyonya Marlin, wanita yang tidak pernah main-main dengan ucapannya.
Kania tahu, ia harus memilih, namun setiap pilihan membawa luka yang dalam, Satu-satunya cara pasrah dan menerima konsekuensi keputusannya.
“Ibu sudah tua, Bram… Sebelum ibu meninggal, ada satu hal yang ibu ingin lihat, satu harapan terakhir ibu.” Nyonya Marlin terdiam sejenak, menahan air mata yang mulai menetes di pelupuk mata.
“Putra ibu… menikah.”
Tuan Bram menarik nafas panjang, sepertinya keputusan nyonya Marlin tidak bisa di ubah.
Tuan Bram memegang tangan nyonya Marlin lalu menghapus air matanya.
"Bram tidak janji, apa bram bisa membahagiakan dia."
Tuan Bram berdiri, lalu melangkah keluar. Begitu sosoknya lenyap di balik pintu, nyonya Marlin bagun dibantu oleh Bi Ana yang sigap menopang tubuhnya.
Nyonya Marlin tersenyum lembut, matanya penuh harap saat mengusap pucuk kepala Kania yang sedang duduk di depannya.
“Persiapkan dirimu, satu minggu lagi acara pernikahan kalian akan diselenggarakan. Aku percaya padamu, kamu bisa meluluhkan hati Bram.”
Kania menunduk, hatinya berdebar antara takut dan harap. Gadis kecil yang sebentar lagi akan jadi mantu Nyonya Marlin itu merasa beban yang berat menghimpit pundaknya. Namun, sentuhan hangat dari nyonya Marlin membuatnya seolah diberi kekuatan.
“Terima kasih, Nyonya,” jawab Kania pelan, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang membuncah dalam dadanya.
Desas-desus mulai terdengar di dalam mansion. Tuan Bram akan segera menikah, tapi siapa mempelai wanitanya masih di rahasiakan.
Kabar itu dijaga ketat agar tak sampai bocor ke luar. Nyonya Marlin sudah mengumumkan dengan tegas bahwa siapa pun yang membocorkan rahasia ini akan menghadapi konsekuensi yang berat. Semua orang tahu, larangan itu bukan sekadar omong kosong.
Tidak terasa, hari berlalu begitu cepat. Hari yang dinanti-nanti akhirnya datang juga hari di mana Tuan Bram dan Kania akan mengucapkan ikrar suci Pernikahan.
Udara pagi terasa hangat, namun di balik senyum yang terlihat, ada getaran gugup yang tak bisa disembunyikan.
Kania sedang duduk di kamar lantai dua, membiarkan seorang penata rias merias wajahnya. Semua itu dilakukan atas perintah Nyonya Marlin, yang menginginkan Kania tampil secantik mungkin.
Dari arah pintu, terlihat nyonya Marlin bersama bi Ana melangkah masuk. Suara derit kursi roda terdengar jelas, semakin lama semakin dekat, hingga akhirnya berhenti tepat di samping Kania.
Nyonya Marlin dan Bi Ana tak mampu menyembunyikan rasa kagum mereka saat melihat Kania. Gadis itu tampak begitu cantik dan anggun. Bukan tanpa alasan, Nyonya Marlin Memang sengaja memerintahkan penata rias untuk mendandani Kania dengan sentuhan elegan yang membuatnya terlihat lebih dewasa demi menyamai wibawa Tuan Bram, pria yang usianya terpaut jauh dari Kania.
Dua ketukan terdengar di daun pintu, seorang pelayan datang mengabarkan kalau acaranya akan segera di mulai.
Pesta kecil itu digelar secara diam-diam, sesuai permintaan Tuan Bram dan Kania. Padahal, di hati kecilnya, Nyonya Marlin sangat ingin mengadakan pesta besar yang meriah untuk keduanya.
Ke empatnya keluar dari dalam kamar, di balin pintu sudah berdiri dua pengiring menyambut Kania. Dari lantai bawah, terlihat beberapa penjaga, koki, pelayan, dan tukang kebun telah berkumpul. Kali ini, mereka tidak tampil seperti biasanya.semua mengenakan pakaian rapi, seolah turut menyambut momen istimewa itu.
Di atas altar, Tuan Bram berdiri di samping pendeta menunggu kedatangan mempelai wanita.
“Kania… sungguh cantik,” bisik seseorang di antara kerumunan, cukup pelan namun mampu menarik perhatian.
Mendengar itu, Tuan Bram perlahan menoleh ke lantai dua. Dari sana, Kania muncul, melangkah anggun menuruni anak tangga. Gaun putihnya berkilau diterpa cahaya lampu kristal, sementara penata rias dan pengiring berada di sisinya, memastikan setiap langkah Kania sempurna.
Semua mata tertuju padanya, namun hanya satu tatapan yang membuat jantung Kania berdegup kencang, tatapan dingin namun tajam dari pria yang sebentar lagi menjadi suaminya.
Kania diantar naik ke altar berhadapan dengan tuan Bram.
"Hadirin dimohon untuk tenang, karena sebentar lagi kita akan menyaksikan sumpah dan janji suci yang akan diucapkan kedua mempelai." ucap pak pendeta sambil mengangkat tangannya
Suasana seketika hening.
"Saudara-saudara yang terkasih, kita telah berkumpul di hadapan Allah yang kudus pada hari ini untuk menyaksikan dan memberkati penyatuan hidup dari kedua anak-Nya ini. Pernikahan adalah lembaga yang kudus, dikehendaki Allah sendiri sejak semula, dan menjadi gambaran kasih Kristus kepada jemaat-Nya.
Sekarang, sebelum kalian berdua mengucapkan janji suci, renungkanlah bahwa janji ini bukan hanya diucapkan di hadapan jemaat, tetapi terutama di hadapan Allah yang mengetahui isi hati dan pikiran kalian. Janji ini adalah komitmen seumur hidup, yang mengikat kalian dalam kasih, kesetiaan, dan pengorbanan."
Pak pendeta menatap kedua mempelai.
"Apakah kalian siap mengucapkan janji ini dengan sepenuh hati, tanpa paksaan, dan dengan kerelaan untuk saling mengasihi, menghormati, dan setia sampai maut memisahkan?"
Tuan Bram dan Kania Mengangguk.
Pendeta menoleh pada tuan Bram.
"Tuan Ricardo Abraham, ikuti kata-kata saya…"
"Aku Richardo Abraham, menerima engkau Kania saraswati herman, menjadi istriku yang sah.
Dengan segenap hatiku, aku berjanji untuk mengasihi mu, menghormatimu, dan setia kepadamu,
dalam suka maupun duka, sehat ataupun sakit, kaya ataupun miskin,
selama kita berdua hidup, sesuai dengan firman Tuhan."
Pak pendeta lalu berpaling pada Kania.
"Nona Kania saraswati Herman, ikuti kata-kata saya…"
"Aku Kania saraswati Herman menerima engkau, Richardo Abraham menjadi suamiku yang sah.
Dengan segenap hatiku, aku berjanji untuk mengasihi mu, menghormatimu, dan setia kepadamu,
dalam suka maupun duka, sehat ataupun sakit, kaya ataupun miskin,
selama kita berdua hidup, sesuai dengan firman Tuhan." balas Kania dengan sedikit gugup.
Pak pendeta menyuruh tuan Bram mencium Kening Kania. Seketika wajah Kania pucat Pasih menutup mata saat wajah tua Bram sudah mendekat di keningnya.
Setelah saling memasangkan cincing, keduanya resmi menjadi sepasang suami istri yang sah..
Tuan Bram buru-buru pergi meninggalkan pesta dan meninggalkan Kania sendiri yang baru saja resmi menjadi istrinya.