Series #2
Keputusan Rayden dan Maula untuk kawin lari tidak semulus yang mereka bayangkan. Rayden justru semakin jauh dengan istrinya karena Leo, selaku ayah Maula tidak merestui hal tersebut. Leo bahkan memilih untuk pindah ke Madrid hingga anaknya itu lulus kuliah. Dengan kehadiran Leo di sana, semakin membuat Rayden kesulitan untuk sekedar menemui sang istri.
Bahkan Maula semakin berubah dan mulai menjauh, Rayden merasa kehilangan sosok Maula yang dulu.
Akankah Rayden menyerah atau tetap mempertahankan rumah tangganya? Bisakah Rayden meluluhkan hati sang ayah mertua untuk merestui hubungan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10 : Terkurung
...•••Selamat Membaca•••...
Maula tidak bisa lagi berkata atau berbuat apapun. Hanya isakan tangis yang bisa dia lakukan ketika Rayden memberikannya sebuah suntikan agar dirinya lemah tak bisa melawan lagi.
Pagi ini bukan disambut dengan sarapan yang romantis atau hidangan lezat, justru dirinya disajikan sebagai hidangan brutal oleh suaminya sendiri.
Maula tak diberi ruang untuk bebas. Bau luka yang tak sempat sembuh dari rasa cinta yang membusuk dalam obsesi.
Rayden berdiri di sudut ruangan, diam. Napasnya berat dan matanya merah, bukan karena marah tapi karena menangis kesal. Kesal karena wanita yang ia nikahi—wanita yang ia ingin lindungi dari dunia busuk di luar sana—berani mengucapkan kata yang baginya tabu yaitu cerai.
“Apa kamu benar-benar ingin meninggalkanku, Maula?” suaranya pelan, nyaris serak. “Setelah semua yang kulakukan untukmu?” Karena Rayden tak biasa memanggil namanya, Maula merasa bahwa tak ada lagi kasih sayang di hati Rayden padanya.
Maula tak menjawab. Bibirnya pecah dan nafasnya pendek tapi matanya tetap menatap Rayden. Teguh. Meski tubuhnya gemetar dan darah menetes dari paha bekas sabetan kabel yang digoreskan oleh Rayden setelah berhubungan tadi.
Wajah Maula dipenuhi luka dan lebam, isakan tangis itu dia redam sebisa mungkin agar tidak terlihat lemah di depan pria kejam ini.
“Kamu milikku,” Rayden melangkah mendekat, membawa cambuk kecil yang ujungnya penuh noda merah. “Kita saling mencintai. Kau hanya... kau hanya sedang marah. Aku tahu itu. Tapi jangan pernah ucapkan kata itu lagi. Jangan pernah pikirkan untuk pergi.”
Maula berbisik lirih, nyaris seperti gumaman doa, “Ini bukan cinta, Rayden... Ini penyiksaan. Kau sudah sangat keterlaluan padaku, kau bajingan.”
Dan itu cukup untuk memicu amarah yang selama ini Rayden tahan.
Suara cambuk meledak seperti petir kecil.
Sekali.
Dua kali.
Lalu tiga kali.
Ujung cambuk mendarat di pinggang Maula, membuat tubuh kurus itu melengkung dan menggigit bibirnya sendiri untuk tidak menjerit.
“Kalau bukan cinta, kenapa kamu dulu menangis waktu menderita dalam gelap sayang?” Cambuk kembali menghantam. “Kalau bukan cinta, kenapa kamu peluk aku malam itu setelah kau sadar dari sakitmu?”
“Rayden, berhenti...” bisik Maula, air mata jatuh perlahan, lebih karena sakit emosional daripada fisik.
Tapi Rayden justru terduduk di ujung ranjang. Tangannya menyentuh luka di perut Maula, dan untuk sesaat, tangannya gemetar.
Ia bukan monster. Ia hanya pria yang kehilangan kendali. Pria yang takut ditinggalkan dan yang mencintai dengan cara yang rusak.
Maula memalingkan wajah. Ia tak mau melihat sisi lembut itu sekarang. Karena sisi itulah yang membuatnya tak pernah bisa benar-benar membenci Rayden.
“Aku minta kamu berhenti,” kata Maula lagi, kali ini lebih tegas.
Rayden berdiri. Wajahnya datar. Lalu ia mengikatkan kembali sabuk kulit ke pergelangan tangan Maula yang sempat longgar karena pergerakan sebelumnya.
“Kamu takkan pergi,” katanya pelan. “Bahkan kalau kamu merangkak keluar dengan darah sendiri. Kamu istriku, Maula. Sampai mati.”
Lampu di langit-langit berkedip pelan.
Kaki Maula tak lagi merasa nyeri. Mungkin karena tubuh manusia berhenti mengirim sinyal setelah rasa sakit menumpuk melampaui batas tapi Maula tahu satu hal, bahwa ia belum mati.
Belum.
Rantai-rantai itu dingin dan kasar. Perutnya basah oleh darah, keringat, dan air.
“Luka luar bisa sembuh,” katanya pelan, seakan berbicara pada dirinya sendiri. “Tapi luka di hatiku... kau yang menanamnya, Maula. Kau yang mencabiknya dengan ucapan ‘aku ingin cerai’. Lalu kau pikir aku hanya akan membiarkanmu pergi?”
Maula mengerang, tapi tidak menjawab.
“Lihat aku.” Rayden memutar dagunya kasar, paksa, hingga mata Maula menatapnya. “Lihat pria yang kau ciptakan dari luka-luka yang kau tinggalkan.”
Ia mengambil benda dari meja logam di samping ranjang. Sebuah pisau bedah kecil, bersih, mengkilap.
Maula menggigit bibir, mencoba tidak panik. Tapi tubuhnya mulai gemetar.
Rayden menyusuri sisi perutnya dengan ujung logam dingin itu. Ia tidak menusuk. Ia hanya menyayat kulit, pelan, menyisakan garis tipis merah muda sebelum berubah menjadi merah darah.
“Napasmu masih indah,” gumamnya. “Suaramu... bahkan saat merintih... membuatku gila.”
Satu sayatan lagi, di bawah rusuk kiri yang membuat Maula meringis. Ototnya menegang dan tangannya ingin menepis, tapi rantai tak mengizinkan.
“Kenapa kau buat aku seperti ini?” bisik Rayden, penuh luka dalam suara. “Kenapa... kau buat aku jadi monster hanya karena tak ingin kau pergi?”
Pisau berhenti. Tapi tangannya berpindah ke obeng besi tumpul. Ia mengarahkannya ke lutut Maula, tidak menghancurkannya, tapi memukul pelan yang cukup untuk membuat tulang Maula berdetak nyeri.
Maula menangis tapi diam, dia tidak memberi Rayden jeritan yang diinginkannya.
Namun yang paling menyakitkan bukan pisau, sabuk bahkan rantai. Tapi kata-kata.
“Aku menyiksamu bukan karena aku benci padamu,” bisik Rayden di dekat telinganya. “Tapi karena aku ingin kau tetap di sini. Dan satu-satunya cara untuk menjaga milikku... adalah membuatmu terlalu rusak untuk diambil orang lain.” Maula memejamkan mata. Dunia perlahan kabur.
Luka di tubuhnya mungkin akan sembuh. Tapi luka di dalamnya? Luka karena pria yang pernah ia cintai memilih untuk menyiksanya ketimbang melepaskannya? Mungkin tak akan pernah.
“Kau jahat, kau keterlaluan Rayden. Kau sudah menghancurkan aku tanpa belas kasihan sama sekali. Kau keparat, brengsek, cuih.” Maula meludahi wajah pria itu, bukannya marah, kali ini Rayden hanya tersenyum dan pergi begitu saja.
Di dalam kamarnya yang megah, Rayden mengguyur tubuhnya dengan kucuran air shower yang hangat. Mengutuk perbuatannya pada Maula tapi ego terus menahan dia untuk merasa sekedar kasihan.
“Aku akan membebaskanmu, tenang saja, bukankah kau akan liburan di Las Vegas hm? Selama tiga minggu ke depan, kau akan bersama denganku, dalam nerakaku, Piccola.”
...***...
Kesibukan harian membuat Rayden tidak berada di mansion, sepulang bekerja, dia memilih untuk menghabiskan malam di klub dan minum hingga teler.
Ada satu gadis yang bukan seorang jalang di klub tersebut mendekati Rayden. Gadis itu telah lama menatap Rayden, sejak pertama kali ia datang ke klub itu.
Ia mendekat dan duduk di bar samping kursi Rayden dan menuangkan minuman ke gelasnya.
“Mau aku temani?” Rayden tak menjawab, dia hanya fokus pada minumannya saja tanpa peduli siapa pun.
Kali ini dia tidak mabuk sepenuhnya, Rayden masih bisa berpikir sehat. Ketika gadis itu meraba dirinya, Rayden menepis dengan kasar lalu pergi setelah membayar minumannya.
Jas hitam dia sampirkan ke bahu dan berjalan gontai. Setibanya di mansion, Rayden menuju ke ruangan Maula lebih dulu, dia membuka pintu besi tersebut dan menutupnya kembali.
Maula yang sudah tidur sedikit tersentak kaget dan beringsut mungur, takut jika Rayden menyiksanya lagi.
Pria itu membuang jas miliknya dan merebahkan diri di samping Maula, jelas Maula tahu kalau suaminya mabuk, gesekan rantai berbunyi ketika Maula bergerak, Rayden memeluk kaki Maula yang saat ini duduk bersandar di kepala ranjang besi tua itu.
“Aku tidak tertarik dengan wanita mana pun selain kamu, Piccola. Dia salah menggodaku malam ini... aku... aku sama sekali tidak tertarik.” Maula perlahan mengusap lembut kepala suaminya dan menangis, masih dalam diam tanpa suara.
“Tidurlah! Bukankah hari ini melelahkan?” Rayden terisak, dia semakin memeluk erat kaki istrinya dan terasa di paha Maula air mata Rayden meluncur begitu banyak.
“Tetaplah denganku, jangan menikah dengan pria lain... aku mencintaimu, Piccola.” Maula terisak hebat, dia kembali mendengar panggilan sayang itu dari Rayden.
Malam itu, malam yang tidak bisa lagi diungkapkan dengan rasa atau pun luka. Karena keduanya hadir diwaktu yang sama.
“Jikapun ia bercerai darimu, aku tidak akan menikah lagi Ray. Kau lebih dari cukup untukku.”
Maula merendahkan kepalanya dan mencium kepala Rayden yang begitu wangi, bau khas maskulinnya.
...•••Bersambung•••...