NovelToon NovelToon
Istri Sang Mafia

Istri Sang Mafia

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Romantis / Mafia / Cinta setelah menikah / Roman-Angst Mafia / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:602
Nilai: 5
Nama Author: LaruArun

Pernikahan adalah mimpi setiap gadis.
Tapi tidak bagi Zia.
Bukan malam itu.
Bukan di altar itu.
Dan—terutama—bukan dengan pria itu.

Yang Zia tahu, Viren Kaeshiro adalah pengusaha muda yang jenius, berkuasa, dan sempurna.
Begitu kata semua orang. Begitu kata kakaknya, Alin.

Tapi di balik jas mahal dan perusahaan teknologi raksasa,
Viren adalah pemimpin Cinderline—organisasi bayangan yang tak tersentuh hukum dan tak dikenal dunia.

Dan malam itu…
Zia baru saja menikahi seorang iblis bersetelan jas.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaruArun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 10 SPEKTRA

Meja makan pagi itu terasa sedikit lebih hidup. Obrolan kecil mulai mengisi ruang, meski keheningan dan hawa dingin masih sesekali menyusup di antaranya.

"Manuel bilang kau butuh karyawan baru," ucap Viren sambil tetap mengunyah, nadanya datar seperti biasa.

"Hem." Zia mengangguk pelan tanpa menoleh.

"Ada satu orang yang kupikir cocok. Seorang wanita. Akan kusuruh dia datang nanti," lanjut Viren, tanpa menoleh.

Zia akhirnya menoleh sekilas, tapi tak berkata apa-apa. Ia kembali menunduk menatap sarapannya, tapi pikirannya mulai berjalan. Pandangannya tentang pria itu perlahan berubah. Ternyata ia tidak sekeras yang terlihat. Mungkin hanya kesulitan merangkai kata, atau... menyampaikan sesuatu yang lebih dalam dari itu.

Ucapan ayahnya waktu itu mendadak muncul di pikirannya, dan untuk pertama kalinya, Zia mengerti maksudnya. Ada sesuatu di antara mereka. Mungkin belum bisa disebut ‘hubungan’, tapi setidaknya... ada simpul kecil yang mulai terbentuk. Entah itu karena tanggung jawab, atau sekadar kebersamaan yang terpaksa.

"Mau kubuatkan kopi?" tanya Zia tiba-tiba.

"Boleh. Jangan terlalu manis."

Zia bangkit dan melangkah ke dapur. Ruangan itu sepi. Tak ada Emi atau siapa pun. Ia memutar pandangannya.

"Hei, di mana biasanya Emi menyimpan kopi?" serunya dari dalam.

"Rak paling atas," sahut Viren.

Zia mendongak. Rak itu terlalu tinggi. Ia berkeliling mencari bangku atau kursi kecil untuk pijakan, tapi tak menemukan apa pun.

"Kenapa harus ditaruh setinggi ini sih, Emi..." gumamnya sambil bersedekap kesal.

Ia berjinjit, ujung jarinya nyaris menyentuh pintu rak. Tangannya berusaha meraih gagang laci atas. Tapi tetap saja terlalu jauh.

"Lambat sekali," suara Viren muncul dari ambang pintu dapur.

"Aku kesulitan menjangkau raknya," balas Zia tanpa menoleh, masih berusaha.

"Masalahnya bukan itu." Viren melangkah masuk, lalu menarik laci tersembunyi di sisi rak dan mengangkat sebuah kotak kecil. "Ini tempatnya."

Zia mengambilnya. "Oh. Terima kasih."

"Tak perlu sekarang. Aku harus pergi." ucapnya, berbalik.

Zia hanya mengangguk pelan, lalu menyimpan kembali gelas yang sempat ia siapkan. Mereka berjalan keluar bersama, seperti dua orang asing yang kebetulan tinggal di rumah yang sama.

Di Depan Calligo dua mobil sudah terparkir. Jake berdiri di samping mobil hitam, sementara Manuel menunggu di sisi mobil satunya. Viren menghampiri Jake. Zia menuju Manuel. Tak ada perpisahan, tak ada salam. Hanya keheningan yang saling mengerti.

Mobil mereka melaju berdampingan, lalu berpisah di persimpangan yang membawa mereka ke arah hidup masing-masing.

Mobil melaju perlahan. Zia menatap ke luar jendela, tapi pikirannya tak diam. Ia akhirnya memecah kesunyian.

"Aku penasaran, berapa usiamu, Manuel?"

"Dua puluh tujuh," jawab Manuel singkat.

"Tepat seperti dugaanku," batin Zia.

"Bagaimana dengan orang yang selalu bersama Viren?"

"Jake? Sama dengan Tuan Viren."

"Pantas aja... sama-sama keliatan kaku," gumamnya.

Manuel nyaris tertawa kecil, tapi hanya menghela napas.

Sesampainya di depan kafe, Manuel turun dan membukakan pintu. Zia masuk tanpa banyak kata, dan seperti biasa, Manuel langsung pergi setelahnya.

Beberapa menit kemudian, Ami datang membawa energi ceria.

"Pagi, Kak!" sapa Ami sambil tersenyum.

"Pagi." Zia membalas sambil mengenakan apron.

"Aku udah buat brosur buat cari karyawan baru. Nih, liat!"

Zia mengambil selebaran itu dan membacanya. "Bagus. Jelas dan rapi."

"Oke, aku sebar sekarang ya!"

Ami pun sibuk di ponselnya, mengunggah brosur ke media sosial. Harapan mereka sederhana—semoga seseorang yang cocok segera datang.

Setelah mengantar Zia, Kali ini Manuel menuju rumah sakit—tempat Bos dirawat.

Ruangan itu sunyi. Lampu gantung menggantung redup di atas ranjang, memantulkan cahaya pudar ke wajah Samuel yang terbaring tak bergerak. Monitor detak jantung berdetak pelan dan teratur, seolah waktu sendiri enggan bergerak cepat.

Manuel membuka pintu. Di dalam, Ein—salah satu anggota Cinderline—sudah duduk tegak di kursi, tubuhnya diam seolah membatu. Kedua tangannya mengepal di atas paha, keras, seperti berusaha menahan sesuatu agar tidak pecah di tempat.

Manuel menutup pintu perlahan, nyaris tanpa suara, lalu berjalan lambat ke dalam. Langkah sepatunya teredam lantai vinil, tapi tetap meninggalkan gema kecil yang terdengar mencemaskan. Seolah-olah kebisingan sekecil itu pun bisa membangunkan Bos yang terbaring lemah di ranjang.

Tubuh Bos tampak tak bergerak. Oksigen terpasang di hidungnya, perban tebal membalut perutnya, dan wajahnya begitu pucat hingga hampir menyatu dengan warna bantal. Seolah hidup hanya bertahan lewat detak pelan yang direkam oleh mesin di sampingnya.

"Andai saja malam itu kita tidak membiarkannya sendiri..." ucap Ein, nadanya rendah. "Mungkin Bos tidak akan seperti ini."

Suara Ein terdengar pelan, tapi berat. Seperti pecahan besi yang dilempar ke dalam ruang kosong.

"Kita semua lengah dan terlalu percaya bahwa ia bisa mengatasi semuanya sendiri." ucap Manuel, menatap ke arah Bos yang bernapas lambat. "Dan kita juga terlalu naif mengira bahwa dendam akan datang dengan aba-aba."

Mata Manuel tertuju ke dada Samuel yang naik-turun perlahan. Napasnya berat dan pendek, seperti sisa-sisa tenaga yang masih bertahan karena enggan pergi.

"Hingga akhirnya Tuan Viren yang turun tangan." ucap Manuel.

Ein menatap Manuel, "Bukan Carly dan Cobalt?"

Manuel menggeleng pelan. Kepalanya hanya bergeser sedikit, tapi itu cukup untuk menunjukkan betapa dalam beban yang dipikulnya.

"Tuan Viren yang menghabisi Noah, membuatnya kesakitan dan ketakutan dalam satu waktu." jelas Manuel. "Cobalt yang mengatakan padaku tadi sebelum aku keluar."

Hening menggantung beberapa detik. Monitor jantung berdetak pelan—lambat tapi stabil.

"Jika Tuan Viren sudah bertindak, itu artinya... kita gagal. Bukan gagal menjaga Samuel. Tapi gagal menjaga sistemnya sendiri.”

"Dan itu karena kelengahan kita." sahut Manuel. “Kita terlalu percaya diri. Terlalu yakin semuanya terkendali. Dan sekarang, salah satu pilar kita hampir tumbang.”

Ein bersandar sedikit ke belakang, tapi punggungnya tetap tidak menyentuh sandaran kursi. Seperti seseorang yang tidak bisa benar-benar istirahat, bahkan dalam ruang yang seharusnya tenang.

Di sisi lain kota, gedung Kairotek dipenuhi aktivitas media. SPEKTRA jadi topik utama berita. Pro dan kontra bermunculan—sebagian mendukung untuk mencegah kriminal, sebagian menilai teknologi ini melanggar privasi.

Namun di kalangan perempuan muda, yang paling dibicarakan bukan teknologinya, tapi sosok Viren: muda, berprestasi, dan tampan. Dan terlalu tenang untuk tidak bikin penasaran.

"Tuan, konferensi dimulai sepuluh menit lagi," ujar Jake.

Viren mengangguk. Jas biru tua membalut tubuhnya, dasi rapi, dan kacamata menegaskan ketenangan yang hampir tak tersentuh. Jake berjalan di belakangnya dengan tablet di tangan.

Saat pintu lift terbuka, beberapa staf menyambut dan menuntun mereka ke ruang konferensi. Pintu ruangan terbuka, cahaya lampu kamera langsung menyambar. Flash tak henti. Viren melangkah ke podium tanpa mengubah ekspresi.

"Selamat siang, terima kasih telah datang." ucapnya. "Saya Viren Kaeshiro, pemilik Kairotek. Hari ini saya akan menjelaskan sistem terbaru kami: Spektra."

Ia mulai menjelaskan sistem kamera pengawas yang mampu mengenali wajah meski tertutup masker, syal, atau topi. Bahkan dengan perubahan kecil dalam bentuk wajah.

Seorang wartawan angkat tangan. "Bagaimana dengan privasi masyarakat?"

"Kamera kami hanya membaca struktur wajah dan mendeteksi benda logam tersembunyi. Kami tidak menyimpan data personal."

"Apa teknologi ini akan dijual bebas secara global?"

"Kami akan mulai dari fasilitas umum—bandara, stasiun, mal. Target kami bukan individu, tapi keamanan massal."

"Bagaimana jika teknologi ini jatuh ke tangan kriminal?"

Viren menatapnya tenang. "Teknologi bersifat netral. Perubahan terjadi pada siapa yang memegangnya."

Waktu hampir habis. Seorang wartawan wanita berdiri dan mengangkat tangan cepat.

"Bolehkah kami bertanya soal kehidupan pribadi anda, tuan?"

Staf Kairotek memberi isyarat bahwa waktu telah habis. Jake terlihat gelisah. Tapi Viren mengangkat tangan, memberi isyarat agar tenang.

"Satu pertanyaan," katanya datar.

"Anda sudah tiga puluh tahun. Apakah Anda berencana menjalin hubungan?"

Jake hampir menyela, tapi Viren lebih cepat.

"Saat ini, saya sedang menjalin banyak hubungan... dengan pihak-pihak yang terlibat dalam pengembangan SPEKTRA." jawabnya, lalu tersenyum tipis. "Terima kasih."

Kilatan kamera kembali menyala. Jawaban itu cukup ambigu untuk memuaskan semua pihak—dan meninggalkan rasa penasaran.

Ia turun dari podium, Meninggalkan ruangan tanpa melihat ke belakang. Jake mengikutinya, setengah tak percaya dengan caranya menjawab.

Siaran konferensi pers itu langsung menyebar luas hanya dalam hitungan menit. Potongan video saat Viren menjawab pertanyaan terakhir—tentang hubungan asmara—menjadi cuplikan paling sering dibagikan.

...“Saya sedang menjalin banyak hubungan… dengan pihak-pihak yang terlibat dalam pengembangan SPEKTRA.”...

Nada suaranya tenang, senyumnya tipis, dan pilihan katanya menggoda namun tak memberi celah. Publik menyukainya. Terutama para wanita.

..."Dia... benar-benar tahu cara bermain kata," komentar salah satu pengguna media sosial....

..."Umur tiga puluh tapi dia masih terlihat sangat muda..."...

..."Dia adalah tipe idealku."...

Beberapa bahkan mulai menyandingkan namanya dengan tokoh fiksi favorit mereka. Fanpage bermunculan, khusus untuk dirinya.

Kini, ketertarikan terhadap Viren tak lagi sebatas teknologi SPEKTRA. Kehidupan pribadinya—yang misterius namun memesona—menjadi pusat perhatian publik.

Sementara itu, di ruangan yang remang dengan lampu meja menyala redup, Alex memfokuskan pandangannya pada layar ponsel. Tayangan ulang konferensi pers Viren diputar pelan.

"Jadi ini alasanmu ingin terikat denganku? Supaya kau bisa mengembangkannya lebih cepat?" gumamnya lirih.

Ia tidak benar-benar membenci Viren. Hanya saja, ada perasaan rendah dalam dirinya karena telah menukar Zia demi keuntungan. Kolaborasi yang ditawarkan Viren terlalu menggiurkan—dan ia tak punya banyak pilihan. Pemasok kamera untuk proyek itu adalah perusahaannya. Sedangkan Kairotek menyempurnakan dengan teknologi mutakhir milik mereka.

Tiba-tiba, bayangan Zia terlintas di pikirannya.

"Andai saja kau tidak lari, Alin... mungkin Zia tak harus menanggung beban orang lain," ucapnya pelan, nyaris seperti doa yang terlambat.

Hal yang sama juga terjadi di kafe kecil yang hangat di sudut kota, Ami tampak heboh dengan ponselnya. Ia berdiri di dekat pintu, matanya terpaku pada layar.

Zia, yang berdiri di balik meja kasir, melirik ke arahnya.

"Ada apa?"

Ami segera mendekat sambil membawa ponsel. "Lihat deh! Semua orang lagi ngomongin ini!"

"Siapa?" tanya Zia sambil mengambil ponsel dari tangan Ami.

Layar menampilkan wajah Viren—tegas dan tak berubah dari yang biasa ia lihat setiap pagi. Tapi ada yang berbeda. Cara pria itu berbicara di depan kamera terasa lain. Lebih... terkendali. Seolah-olah ia adalah dua sosok dalam satu tubuh: pria yang diam saat sarapan, dan pria yang bisa memikat satu kota hanya dengan satu kalimat.

"Aku suka banget pas dia bilang soal banyak hubungan itu. Cara dia jawab tuh... classy tapi sinis. Cowok-cowok kayak gitu tuh bahaya, tapi bikin penasaran," ucap Ami sambil tersenyum sendiri.

"Bahaya memang," balas Zia pelan. Suaranya nyaris tak terdengar.

Ia mematikan video itu lalu menyerahkan kembali ponsel pada Ami. Tapi wajah Viren masih tertinggal di benaknya—senyum setengah, kalimat ambigu, dan tatapan yang seperti menyimpan seribu lapis rahasia.

Sementara di lantai tertinggi Kairotek, Viren duduk di ruang kantornya yang sunyi. Jendela besar di belakangnya menampilkan pemandangan kota yang sedang sibuk membicarakannya. Di atas meja, layar tablet menampilkan berbagai notifikasi—artikel, komentar netizen, wawancara lanjutan, bahkan tawaran kerja sama dari perusahaan luar negeri.

Jake masuk sambil membawa dua cangkir kopi.

“Nama dan wajahmu jadi bahan pembicaraan semua orang. Ada yang bikin stiker wajahmu, bahkan mulai jual parfum ‘Aroma Viren’. Ini mulai keterlaluan.”

Viren tidak menoleh. “Berapa persen yang bicara soal teknologinya?”

Jake membuka data di tabletnya. “Sekitar enam puluh persen publik membahas SPEKTRA. Tapi sisanya... lebih tertarik padamu.”

“Tentu. Karena itu yang lebih mudah dicerna.”

“Kau risih?”

Viren mengangkat bahu pelan. “Tidak. Tapi terlalu banyak cahaya hanya akan membuat bayangan jadi lebih tajam.”

Jake mengerutkan dahi. Ia tahu kalimat itu bukan sekadar metafora.

“Aku sudah menghubungi Lily. Dia akan datang ke sini malam nanti,” ucap Jake kemudian.

Viren menatap Jake, sebelah alisnya terangkat. “Lily? Bisa diandalkan?”

Jake mendekat, sedikit berbisik. “Dia anggota Cinderline. Nama kodenya: Lidy, Tuan.”

“Dia wanita?” Viren tampak terkejut. Ia tidak menyangka bahwa kode nama Lidy berasal dari seorang perempuan.

Jake mengangguk. “Ahli negosiasi terbaik kita.”

“Aku tidak tahu dia seorang wanita.”

Viren mengangguk pelan. “Katakan padanya untuk menemui aku di kafe, di bawah sana.”

Jake mengangguk paham.

Sore menjelang. Lalu lalang orang mulai padat. Sebagian menuju rumah untuk beristirahat, sebagian lain justru baru memulai kesibukan, terutama di restoran dan kafe.

Di salah satu sudut kafe, seorang pelayan menyodorkan segelas jus stroberi.

“Silakan.”

“Terima kasih,” ucap seseorang, mengambil gelas itu dan mencicipinya. Ia mengaduk minumannya pelan, menatap jendela, lalu melirik jam tangan. Ia tengah menunggu seseorang.

Langkah kaki mendekat dan berhenti tepat di hadapannya. Disana duduk Seorang wanita berambut hitam pendek, dengan poni rapi dan ekspresi tenang. Ia lantas berdiri, membungkuk sopan.

“Kau Lily?” tanya Viren yang masih berdiri.

“Ya, saya, Tuan,” jawabnya ringkas.

Jake berdiri di samping mereka, memantau situasi.

Viren mendaratkan tubuhnya di sebrang Lily, “Jake menyarankan mu padaku,” ucap Viren, tanpa basa-basi. “Kau tahu apa tugasmu?”

“Sudah, Tuan.”

"Bagus." Ucap Viren santai. "Lakukan sebaik mungkin."

Viren bangkit dari duduknya dan bergegas pergi. Orang-orang di kafe yang menyadari kehadiran Viren langsung berbisik-bisik. Mengagumi visualnya yang lebih bagus di banding di kamera.

“Aku mengandalkanmu,” kata Jake sebelum ikut pergi menyusul Viren.

Lily menatap kepergian dua pria itu, bertanya-tanya dalam hati: mengapa kali ini ia ditugaskan untuk bekerja di sebuah kafe?—alih-alih sebagai pengalih perhatian atau pengawal seperti biasanya?

Ia berdiri, meninggalkan gelas jus yang hanya diminumnya setengah. Langkahnya mantap, posturnya tinggi, dan sepatu hak tinggi yang dikenakannya membuatnya makin mencolok.

Di kafe lain, Zia dan Ami tengah duduk santai dan bersiap menutup toko. Semua stok hari itu habis.

“Kau bawa ini pulang, ya,” ujar Zia sambil menyerahkan bungkusan berisi kue yang belum terjual.

“Terima kasih!” jawab Ami dengan senyum cerah seperti biasanya.

“Baiklah, ayo pulang.” Zia dan Ami melepas apron dan menyimpannya ke laci seperti biasa.

Tiba-tiba bel pintu berdenting. Keduanya menoleh. Seorang wanita tinggi berdiri di sana—berpakaian stylish tapi mencolok, rambutnya pendek dengan poni, dan senyum tipis di bibir yang agak pucat.

“Aku mencari pekerjaan. Masih bisa?” tanyanya langsung, tanpa basa-basi.

Zia menoleh pada Ami, lalu menghampiri wanita itu dan memintanya duduk. Ia memberikan selembar formulir, lalu membaca data singkat yang tertera.

Wanita itu masih sangat muda. Dua puluh tahun.

“Jadi ini pekerjaan pertamamu?” tanya Zia.

Wanita itu menggeleng.

“Lalu?”

“Aku biasa bekerja di lapangan sebagai negosiator,” ujarnya, jujur.

“Negosiator?”

Ia tersenyum. “Aku pernah jadi sales makanan. Dan itu lebih dari sekadar negosiasi.”

“Oh... begitu ya,” Gumam Zia sambil menatap Lily.

“Ya.” Jawabnya singkat.

Ami memperhatikan wanita itu dengan ekspresi aneh. Dua puluh tahun, tinggi, dan... seaneh itu. Ada yang janggal, pikirnya.

“Baiklah. Karena kau yang pertama datang dan kami membutuhkannya segera, kau diterima,” ucap Zia. “Kapan kau bisa mulai?”

“Hari ini juga bisa.”

Ami yang mendengar jawaban itu semakin merasa bahwa wanita itu, Aneh.

“Besok saja. Datang pukul delapan pagi.” ucap Zia tersenyum tipis.

“Baik. Sampai jumpa besok.”

Lily bangkit dan pergi begitu saja.

Setelah kepergiannya, Zia mengunci pintu. Ami sudah lebih dulu pulang. Tak lama kemudian, mobil hitam berhenti di depan kafe. Zia masuk, dan mobil itu melaju menuju Calligo.

Di sudut sebuah toko yang mulai tutup, seseorang tengah mengawasi. Seseorang dengan masker dan kupluk berdiri bersandar di dinding. Ia menekan ponselnya.

"Aku menerima tawaranmu." Ucapnya tersenyum simpul seraya mengiringi kepergian mobil hitam dari pandangannya.

"Baik, temui aku di tempat biasa."

panggilan pun terputus.

“Zia... Aku tidak akan berbelas kasih,” bisiknya. Suaranya pelan, tapi gemetar menahan amarah lama yang belum lunas. Di matanya, mobil hitam itu bukan sekadar kendaraan. Tapi simbol dari semua yang telah diambil darinya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!