Azira membenci Ayahnya karena tega meninggalkan Ibu, dan dia bahkan lebih membenci istri kedua Ayahnya sebab jika bukan karena wanita itu, Ibu tidak akan pernah menginjak dunia malam. Tidak, sejujurnya Azira membenci Ayah dan keluarga Ayahnya yang bahagia serta harmonis. Pernah memandang rendah Azira dan Ibunya yang miskin, mereka bahkan tanpa ragu membunuh Ibunya.
Azira sangat membenci mereka semua!
Karena kebencian inilah dia terpaksa memasuki keluarga Ayah, menghancurkan kehidupan bahagia putri terkasih Ayah dan merebut calon suaminya, Azira melakukan semua itu.
Dia pikir balas dendamnya telah selesai setelah melihat keluarga Ayahnya hancur, dan dia pun siap dihancurkan oleh suami paksaan nya. Namun, siapa sangka bila suami paksaan nya tidak hanya tidak menghancurkannya namun juga menyediakan rumah untuknya kembali?
Apa ini?
Apakah ini hanya penyamaran sang suami untuk membalas dendam kepadanya karena telah merebut posisi wanita yang dicintai?
Atau justru sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lili Hernawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2.2
"Ia melahirkan gadis ini dengan gelar sebagai aib pula, betapa menyedihkannya!" Decak nya menghina.
Yah, kau benar, aku dan Ibuku memang tidak ada bedanya. Kami berdua adalah sampah sekaligus aib bagi kalian semua, dan aib yang kalian benci ini tidak akan lama lagi akan menggigit kalian semua.
Benar, sampah yang kalian tatap dengan pandangan menjijikkan ini suatu hari nanti akan menjatuhkan kalian, membuat kalian merasakan apa itu perasaan sakit yang sebenarnya. Batinnya bersuara.
"Bibi Safa, sudah cukup. Azira adalah kakakku sekarang dan sebagai saudaranya aku juga akan merasakan sakit jika kau memperlakukannya seperti ini."
Tiba-tiba gadis itu datang, memeluk bibi Safa dengan sikap manja yang membuat iri. Gadis ini...yah, ia sudah terbiasa hidup dengan harta dan kasih sayang melimpah dari semua orang.
"Humairah, jangan merayu bibi seperti ini." Ia melepaskan pelukan Humairah seraya menariknya ke depan, menepuk pundaknya ringan sebagai teguran.
Aku bertanya-tanya seberapa bahagia Humairah hidup dalam bermandikan kasih sayang di rumah ini?
Hah.. sejujurnya ini agak konyol dan bodohnya lagi Azira tidak perlu memikirkan sesuatu yang mustahil dia rasakan. Azira harusnya tidak perlu mengharapkan sesuatu yang tidak akan pernah ia rasakan di dunia ini.
"Karena ia dan kamu tidak sederajat, sayang. Ah, untung bibi sayang dengan mu karena jika tidak.. gadis pembawa sial ini tidak akan mudah lepas dariku." Bibi Safa dengan gerakan gemas dan sayang mencubit pipi merah Humairah, membuat Humairah tidak bisa tidak tertawa senang dengan perlakuan hangat bibi Safa.
"Baiklah, Humairah juga sangat menyayangi bibi."
"Yah, dan ini hanya berlaku jika keponakan tersayang kami menginginkan sesuatu." Ujar bibi Sifa sambil geleng-geleng kepala, tak habis pikir dengan kelakuan kekanak-kanakan Humairah yang masih belum berubah hingga sebesar ini.
"Ya Allah, bibi Sifa memang yang terbaik, tahu saja jika Humairah ingin sesuatu." Katanya sembari merangkul kedua bibinya dengan senang.
"Sudah ku duga, keponakanku ini memang manja." Bibi Safa sudah tahu jika keponakannya ini memang berhati lembut juga manja, ia tahu jika Humairah bersikap seperti ini karena ingin menyelamatkan Azira dari serangannya.
Padahal ia tidak seharusnya mengasihani benih pembawa sial ini.
"Baiklah, Humairah katakan tentang apa itu?" Tanya bibi Sifa sudah tidak sabar menunggu lagi, ia harap ada kabar baik yang akan ia dapatkan dari keponakan tercintanya ini.
Terkikik malu, sejenak rona merah kian terlihat jelas di kedua pipinya yang bersih dan halus.
"Ini..bibi lebih baik langsung ke mama saja untuk membicarakannya, karena Humairah pikir ini adalah urusan para orang tua." Ucap Humairah tersipu yang mana arah pembicaraan ini sudah bisa ditebak oleh bibi Safa dan bibi Sifa.
"Baiklah kami mengerti, kalau begitu kami akan langsung saja menghampiri mbak Yana. Oh ya, Humairah tolong panggil kedua paman mu yah, suruh mereka bergabung bersama kami dilantai dua." Pesan bibi Sifa seraya membawa langkahnya berjalan menjauhi Azira dan Humairah.
"Siap bi, Humairah akan panggil paman Rian dan paman Agus agar menyusul kalian ke atas." Dengan sigap, Humairah mengangguki pesan bibi Sifa yang sejujurnya bukanlah sesuatu yang sulit.
"Azira, aku pergi dulu yah mencari paman Rian dan paman Agus. Nanti jika kau butuh sesuatu kau bisa memanggil orang-orang yang ada di dapur atau jika kau malu maka tunggulah aku sebentar saja, okay?" Bahkan sebelum Azira bisa mengatakan jawabannya Humairah langsung berlari-lari kecil dengan riangnya. Seakan-akan tidak ada beban yang memberatkan hatinya di dunia ini.
Mengapa?
Mengapa Azira merasa jika jarak antara ia dengan Humairah semakin jauh, jauh sampai rasanya Azira tidak mampu mengejarnya.
"Bahagianya, mereka membuat ku iri." Gumam Azira dengan perasaan yang begitu campur aduk.
Siapa yang tidak akan canggung sekaligus iri ketika melihat interaksi mereka bertiga. Mereka berkicau seakan-akan Azira tidak pernah ada di depan mereka bertiga, bukankah mereka terlalu langsung mengabaikan kehadirannya?
"Aku tahu tujuan ku ke sini adalah untuk menghancurkan mereka akan tetapi tetap saja rasanya tidak nyaman diperlakukan sebagai benda mati oleh mereka semua, aku benci perasaan kesepian ini." Azira paham bahkan sangat paham bahwa ia tidak boleh melibatkan perasaannya di keluarga ini akan tetapi tetap saja Azira tidak bisa mengontrolnya.
Ia sama dengan Humairah, mereka berasal dari satu Ayah tapi mengapa perlakuan yang mereka dapatkan berbeda ketika mereka dilahirkan dari Ibu yang berbeda?
Azira pikir keluarga bahkan Tuhan begitu tidak adil pada hidupnya yang sudah hancur dan menderita sejak kecil.
"Non Azira?" Tiba-tiba seorang wanita paruh baya memanggil Azira, mendekatinya dengan sopan dan penuh kehati-hatian.
"..siapa?" Bingung Azira karena ia masih belum mengenal orang-orang yang ada di keluarga ini, ia juga tidak yakin jika wanita ini bagian dari keluarga kaya Humairah karena pakaian wanita ini begitu sederhana dan bisa didapatkan di perbelanjaan yang murah.
Wanita itu tersenyum, "Non, perkenalkan saya mbok Yem, pembantu rumah tangga di sini." Ucapnya memperkenalkan diri dengan sopan.
"Ah, ya mbok Yem perkenalkan nama aku Azira. Tapi.. mbok ada keperluan apa ya sama aku?"
Ini bukan karena keluarga ini ingin menjadikan Azira pembantu juga kan?
Azira curiga.
"Gini non, tuan bilang jika non Azira masih belum beradaptasi dengan rumah ini, jadi tuan memerintahkan mbok untuk membantu non Azira mengenal rumah ini." Jawab mbok Yem jujur tidak menyembunyikan apapun dari Azira yang sempat terlihat waspada terhadapnya.
Mendengar jawaban mbok Yem, Azira tanpa sadar menghela nafas lega dan langsung merilekskan tubuhnya.
"Ternyata seperti itu.." Gumam Azira merasa lega.
"Ya udah, nbok Yem tolong bantu Azira mengenal rumah ini lebih baik lagi agar kedepannya Azira merasa nyaman tinggal di sini."
Dan tentunya rencana balas dendamnya bisa dengan mudah aku lakukan. Hem..aku akan memikirkannya secara baik-baik rencana apa yang akan aku gunakan kepada mereka semua. Apakah itu meracuni mereka? Ah, tidak! Aku tidak akan puas karena mereka akan langsung mati begitu saja.
Jadi, bagaimana jika membakar rumah ini bersama mereka?
Bukankah itu lebih sempurna, harta yang mereka banggakan serta keluarga terkasih mereka dengan pelan-pelan dilahap api. Mereka akan berteriak kesakitan meminta pertolongan dan belas kasih, astaga Azira sudah tidak sabar menunggunya!
"Non Azira? Non?"
"Y-ya, mbok?" Tanya Azira gelagapan setelah tersadar kembali dari lamunannya.
"Non Azira ngelamun, yah?"
"Enggak kok mbok, Azira gak ngelamun kok. Oh ya, mbok tadi ngomong apa sama aku?" Elak Azira seraya mengalihkan pembicaraan.
Masih khawatir, "Sebelumnya apakah mbok boleh masuk ke kamarnya, non?" Tanya mbok Yem ragu-ragu.
Walaupun bingung tetap saja Azira menganggukkan kepalanya, Azira juga tahu bahwa mbok Yem terlihat tidak berbahaya sehingga membawanya masuk juga tidak merugikan apapun bagi Azira. Lagipula, Azira tidak punya barang berharga di dalam sehingga tidak ada yang perlu ia takutkan.
"Ayo, mbok." Ajak Azira seraya membuka pintu kamarnya lebar.