Karena penghianatan pacar dan sahabatnya, Zianna memutuskan untuk pindah sekolah. Namun siapa sangka kepindahannya ke SMA Galaxy malah mempertemukan dirinya dengan seorang cowok bernama Heaven. Hingga suatu ketika, keadaan tiba-tiba tidak berpihak padanya. Cowok dingin itu menyatakan perasaan padanya dengan cara yang sangat memaksa.
"Apa nggak ada pilihan lain, selain jadi pacar lo?" tanya Zia mencoba bernegosiasi.
"Ada, gue kasih tiga pilihan. Dan lo harus pilih salah satunya!"
"Apa aja?" tanya Zia.
"Pertama, lo harus jadi pacar gue. Kedua, lo harus jadi istri gue. Dan ketiga, lo harus pilih keduanya!" ucap Heaven dengan penuh penekanan.
Follow IG Author : @smiling_srn27
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Smiling27, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10. BAYANGAN SEORANG GADIS
"Mah aku pulang!" Heaven berteriak mencari Mama nya, Garnis Anasti Galvander.
Jangan heran, itu hal yang sudah biasa ia lakukan ketika pulang sekolah. Menemui Mommy kesayangannya dengan wajah cerah lebih dulu sebelum masuk ke dalam kamar.
Terlihat seorang wanita cantik tengah memegang bungkus sayuran bersama seorang maid. Heaven tersenyum dan langsung berlari ke arahnya, siapa lagi kalau bukan Mama nya yang paling cantik sedunia.
"Tolong bawa ini ke dapur dulu ya, nanti biar saya yang masak." Melihat putranya yang sudah pulang, Garnis langsung menyerahkan bungkus itu pada seorang maid.
"Baik Nyonya!" Maid itu langsung pergi menuju dapur.
"Kenapa baru pulang sayang?" Garnis mencubit pipi putranya dengan gemas. Jam sudah menunjukkan pukul enam sore, dan putranya yang paling tampan ini baru sampe di mansion dengan penampilan yang sedikit acak-acakan. Namun herannya bukannya terlihat jelek, Heaven malah semakin terlihat seperti seorang badboy yang sangat menggoda iman.
"Hentikan Ma!" Heaven mendengus kesal. Mama selalu saja mencubit pipinya, padahal ia sudah terlalu dewasa untuk di perlakukan seperti itu. Tubuhnya saja sudah lebih tinggi dari sang Mama yang memang memiliki postur tubuh cukup tinggi sebagai seorang wanita.
Garnis terkekeh pelan, putranya selalu kesal jika diperlakukan layaknya anak kecil. Ia memang selalu menganggap putranya itu seperti anak kecil yang sering digendongnya dulu, karenanya ia tetap melakukannya meski berulang kali Heaven memprotes.
"Oke oke, Mama nggak akan cubit pipi kamu lagi lain kali." Heaven memutar bola matanya jengah, Mamanya selalu mengatakan hal yang sama. Tapi tetap saja tidak ada yang berubah.
"Aku sudah kenyang mendengarnya Ma," balas Heaven dengan wajah datar, lebih ke kesal tepatnya.
Garnis terkekeh gemas, "Salah siapa kamu gemesin gitu mukanya." Kini bukan sebuah cubitan melainkan uyelan di kedua pipi, membuat bibir Heaven maju ke depan seperti bebek.
"MA...!!!" Heaven memberengut kesal, tapi itu tidak berhasil menghentikan apa yang di lakukan Mama nya. "Ya salahin yang bikin lah," gerutunya. Kalau saja ia langsung masuk kamar pasti tidak akan teraniaya seperti ini, menyesal sudah mencari Mama tadi.
"Ada apa ini?" Suara bariton seorang pria menginterupsi keduanya, Garnis langsung menyembunyikan kedua tangannya ke belakang melihat suaminya datang.
Heaven menyeringai tipis melihat Papa datang, ia beralih melirik Mama yang terlihat salah tingkah seolah baru saja tertangkap basah mencuri sesuatu.
"Tidak, tidak ada apa-apa." Garnis tengah berusaha bersikap senormal mungkin, agar suaminya tidak curiga padanya.
"Bohong Pa, tadi Mama baru aja emphshfhrbrhhdj." Suara Heaven tenggelam bersama bekapan tangan Mama nya.
"Nggak kok sayang, mana mungkin aku bohong. Iya kan Heaven?" Garnis bertanya sambil mendelik pada putranya agar mengiyakan ucapannya.
Austin menaikkan alisnya melihat apa yang dilakukan istrinya, tangannya tergerak memegang tangan Garnis yang masih membekap mulut putra semata wayangnya.
"Lepas!" Satu kata itu cukup membuat Garnis langsung menurut.
"Abis diapain lagi kamu sama Mama?" tanya Austin pada putranya.
Pria itu tidak bisa percaya begitu saja pada istrinya. Kalau tidak ada perjanjian sebelumnya, mungkin ia tidak akan begitu ikut campur dengan apa yang di lakukan Garnis pada putranya.
Heaven melirik pada Mama yang terlihat menggeleng pelan, raut wajahnya meminta agar ia tidak mengatakan apapun pada sang Daddy. Maaf tapi tidak semudah itu untuk membuat Heaven luluh, sepertinya menjadi anak durhaka kali ini cukup menarik baginya.
"Mama mainin pipi aku lagi Pa, dua kali lagi!" jawab Heaven menggebu.
Salah Garnis sendiri mengapa selalu memberi perhatian lebih pada putranya. Dulu sebelum adanya kesepakatan itu, Garnis selalu memperhatikan putranya hingga mengabaikan suaminya. Tentu saja Austin tidak suka, lebih tepatnya cemburu meskipun pada anaknya sendiri. Hingga akhirnya memutuskan untuk menghukum istrinya jika melakukan hal itu lagi. Entah hukuman seperti apa itu, hanya mereka berdua yang tahu. Heaven pun tidak tahu. Eh bukannya tidak tahu, lebih tepatnya berpura-pura tidak tahu.
Garnis menundukkan kepala pasrah, melihat suaminya yang kini menatap tajam ke arahnya. Ia melirik tajam putranya yang kini menunjukkan senyum tipis padanya. Memang tidak bisa diajak kerja sama sama sekali anaknya itu.
"Sayang dia sudah besar, bukan anak kecil lagi." Austin mencubit pipi istrinya gemas, seakan membalas apa yang telah dilakukan pada putranya tadi. Garnis berusaha melepaskan tangan Austin karena seperti putranya, ia juga tidak suka diperlakukan seperti itu.
"Tapi-"
"Nggak ada tapi tapian, kita ke kamar sekarang." Austin menarik istrinya menuju kamar, untuk apa lagi kalau bukan menghukum istrinya dua kali.
Habis sudah, Garnis hanya pasrah mengikuti langkah suaminya. Tidak lupa juga melirik tajam Heaven, semua ini karena putranya yang tidak bisa di ajak berkompromi itu.
"Ma jangan lupa bikin adek!" Heaven berkata tanpa bersuara pada sang Mama, tangannya membentuk sebuah gendongan bayi kemudian berlari menuju kamarnya sambil terkekeh.
Garnis melebarkan matanya, pipinya bersemu menyadari apa yang di katakan putranya. Sudah untuk kesekian kalinya Heaven meminta adik, tapi tetap saja ia merasa malu sendiri mendengar permintaan itu.
Heaven masuk ke dalam kamarnya, menghempaskan tubuhnya di atas ranjang. Hari yang cukup melelahkan, ia memejamkan mata mencoba mengistirahatkan diri. Namun yang terjadi malah sebaliknya, bayangkan seorang gadis kembali muncul di pikirannya. Gadis yang sudah berani membuatnya uring-uringan hingga sampai saat ini.
"Sial!" umpatnya.
Heaven mengacak-acak rambutnya frustasi, sudah beberapa hari ini pikirannya dipenuhi oleh bayangan seorang gadis. Ah andai dia bisa menemukannya saat ini, pasti tidak akan pernah ia biarkan lolos begitu saja. Heaven beranjak menuju kamar mandi dengan langkah gontai, mungkin setelah mandi pikirannya akan jauh lebih jernih.
*********
"Sudah Non Zia biar saya saja yang masak," ucap Bi Minah ingin mengambil alih masakan yang sedang dibuat Zia.
"Nggak papa Bi, Zia udah biasa masak kok di rumah. Bi Minah tenang aja, masakan Zia enak tahu. Daddy juga suka," ucap Zia sembari mengaduk sup ayam yang sedang dibuatnya.
Menyadari Mommy Shina yang tidak bisa memasak, Zia memutuskan untuk belajar agar Mommy nya tidak lagi menyiksa Daddy dengan masakannya yang tidak enak itu. Butuh waktu lama dan pengorbanan luar biasa Zia mempelajarinya, hingga akhirnya ia bisa memasak berbagai menu masakan dengan enak. Zia juga bisa membuat aneka kue, yang tentunya di sukai siapapun yang mencicipinya.
"Ya ampun Zia, kamu lagi ngapain?" Viara yang baru datang ke dapur, terkejut melihat apa yang di lakukan gadis itu. Zia sedang memasak? Kalau sampai Zion tahu hal ini mungkin akan terjadi malapetaka besar di rumahnya setelah ini. Viara dengan segera mendekat untuk menghentikannya.
"Tante cobain deh." Zia menyendok sup, meniupnya lalu menyodorkan pada tantenya. Sebelum Tantenya itu menghentikan apa yang sedang ia lakukan.
"Gimana, enak nggak?" tanya Zia antusias. Melihat tante Viara tengah memejamkan mata menikmati sup buatannya.
"Enak sayang." Mata Viara berbinar, tidak menyangka Zia bisa memasak dengan sangat enak.
"Benarkan!" Zia kembali mengaduk masakannya, tinggal sedikit lagi sup itu akan siap.
"Eh tunggu, kenapa kamu masak Zia?" Viara kembali mengingat apa yang ingin dilakukannya tadi, yaitu melarang Zia untuk masak karena itu bukan tugasnya.
"Jangan bilang Tante juga mau larang Zia," tebak Zia.
"Tentu saja, kamu nggak boleh masak. Tugasmu bukan di dapur tapi belajar," ucap Viara.
"Tante nggak usah khawatir, Zia udah pinter kok sekolahnya. Mending Tante bantuin Zia masak," ajak Zia menyerahkan sendok sayur pada Tantenya.
"Nggak bisa sayang, nanti kalau Paman Max tahu pasti Tante yang dimarahin."
"Nggak mungkin, Tante tenang aja. Daddy juga nggak ngelarang Zia masak kok, pasti Paman juga sama."
Dengan cepat Zia memotong sawi yang akan di masaknya lagi, karena sup yang di buatnya tadi sudah matang. Kini ia sedang menyiapkan sayuran yang lain untuk dijadikan menu selanjutnya.
"Baiklah asal Tuan Zion tidak melarang saja." Mendengar apa yang di katakan Zia, Viara akhirnya ikut membantu agar sesi masak memasak cepat selesai. Viara mulai menyiapkan bahan yang akan di gunakan untuk membuat menu, dan kebetulan ia juga pandai memasak.
*********