"Aku hanya minta satu tahun, Jingga. Setelah melahirkan anak Langit, kau bebas pergi. Tapi jangan pernah berharap cinta darinya, karena hatinya hanya milikku.” – Nesya.
_______
Di balik senyumnya yang manis, tersimpan rahasia dan ambisi yang tak pernah ku duga. Suamiku terikat janji, dan aku hanyalah madu pilihan istrinya—bukan untuk dicinta, tapi untuk memenuhi kehendak dan keturunan.
Setiap hari adalah permainan hati, setiap kata adalah ujian kesetiaan. Aku belajar bahwa cinta tidak selalu adil, dan kebahagiaan bisa datang dari pilihan yang salah.
Apakah aku akan tetap menanggung belenggu ini… atau memberontak demi kebebasan hati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nuna Nellys, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9. Ikatan yang menyesakkan
...0o0__0o0...
...Langit akhirnya mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan, menutup doa dan renungan-nya. Hatinya masih bergetar, tapi ada sedikit ketenangan yang menyeruak di sela-sela resah....
...Ia bangkit, melipat sajadah dengan pelan, lalu berjalan keluar dari mushola rumah sakit....
...Lorong terasa lebih lengang dari sebelumnya. Langkahnya berat, seperti ada beban besar di pundaknya. Namun begitu kakinya menapak di luar, pandangan-nya langsung menangkap sosok yang amat ia kenal....
...Jingga....
...Istri kecilnya itu sedang duduk di kursi panjang tak jauh dari mushola. Kepalanya tertunduk, jemarinya memainkan ujung kerudung. Sesekali ia mengusap pipinya, seakan baru saja selesai menangis....
...Langit menghentikan langkah. Ia tidak berani mendekat begitu saja. Dari tempatnya berdiri, ia hanya memandangi Jingga diam-diam, hatinya terasa makin perih....
..."Dia terlihat rapuh sekali… semua karena aku."...
...Langit meremas tangannya sendiri, menahan dorongan untuk langsung menghampiri. Namun suaranya tercekat di tenggorokan. Ia sadar, sekadar meminta maaf tidak akan cukup....
...“Ya Allah…” bisiknya lirih, matanya tak lepas dari sosok itu, “ajari aku cara meraih hatinya, tanpa melukai siapa pun. Ajari aku cara menjadi suami yang benar…”...
...Jingga mengangkat wajah sejenak, pandangan-nya kosong ke arah lorong yang sunyi. Langit buru-buru menunduk, menyandarkan tubuh pada dinding, takut tatapan-nya ketahuan....
...Untuk pertama kalinya, lelaki yang biasa begitu tegas itu memilih mundur. Ia sadar, kali ini ia yang harus mencari waktu dan cara yang tepat—bukan dengan paksaan, bukan dengan amarah....
...Jingga menarik napas panjang, mencoba menenangkan degup jantungnya yang terasa kacau. Ia baru saja selesai melaksanakan sholat, memohon kekuatan agar bisa bertahan dalam rumah tangga yang semakin membuatnya sesak....
...Tangannya mengusap pipi yang masih basah. Hatinya penuh tanya....
..."Ya Allah… sampai kapan aku harus kuat ? Aku menikah bukan karena cinta, tapi karena keadaan. Aku hanya istri kedua… dan sekarang aku bahkan tidak tahu lagi apa artinya menjadi istri."...
...Jingga duduk tak tenang di kursi panjang dekat mushola, tubuhnya sedikit membungkuk, seperti menahan beban yang terlalu berat. Air matanya kembali menetes, tapi kali ini tanpa suara....
...Dalam diam, Jingga teringat pada ucapan Langit tadi—tentang ketakutannya kehilangan. Bukannya membuatnya luluh, kata-kata itu justru menambah perih....
..."Dia takut kehilangan karena egonya… bukan karena cinta. Cintanya hanya untuk Kak Nesya. Aku hanya bayangan, pelengkap…"...
...Hatinya memberontak. Ia ingin marah, ingin menjerit, tapi yang keluar hanya isakan kecil yang cepat ia tutupi dengan telapak tangan....
...Saat itulah ia merasa ada sesuatu. Seperti ada tatapan yang mengawasinya dari jauh. Perlahan ia mengangkat kepala, menoleh ke sekeliling lorong. Kosong. Hanya lampu neon yang temaram....
...“Halusinasi, mungkin…” gumamnya pelan, lalu kembali menunduk....
...Namun yang tidak ia tahu, di balik dinding, Langit berdiri dengan hati yang bergemuruh, menyaksikan setiap luka yang tak bisa ia obati dengan kata-kata sederhana....
...Langit menarik napas panjang, menegakkan tubuhnya dari dinding tempat ia bersandar. Hatinya berdebar, bukan karena marah seperti biasanya, melainkan takut—takut menghadapi jarak yang semakin melebar di antara mereka....
...Perlahan ia melangkah, suaranya nyaris tak terdengar di lantai lorong rumah sakit yang dingin....
...Jingga masih menunduk, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Baru ketika bayangan tinggi menutupi cahaya lampu di hadapannya, ia tersentak, mendongak....
...“Kak…?” suaranya tercekat....
...Langit menatapnya dalam-dalam, wajahnya tidak lagi setegang tadi, tapi justru penuh lelah dan sesal. ...
...Ia menurunkan diri, berjongkok agar sejajar dengan Jingga yang masih duduk....
...“Aku tahu kamu marah… dan kamu berhak marah,” ucap Langit pelan. “Tapi izinkan aku bicara, sekali saja… bukan sebagai dokter yang keras kepala, bukan sebagai suami yang sering menuntut… tapi sebagai lelaki yang sedang belajar memahami hatinya sendiri.”...
...Jingga menoleh ke arah lain, tak ingin larut dalam tatapan itu. “Kalau hanya untuk membenarkan sikap mu tadi, lebih baik jangan.”...
...Langit menggeleng, nada suaranya lirih....
...“Bukan. Aku datang untuk meminta maaf… dengan sepenuh hati. Aku sadar, aku terlalu sering melukai. Aku terlalu sibuk dengan egoku, sampai lupa bahwa di depan mataku ada seorang perempuan yang juga berhak di cintai dengan adil.”...
...Jingga terdiam, bibirnya bergetar menahan emosi....
...Langit menunduk, kedua tangannya bertumpu di lutut. “Aku menikahi mu karena keadaan, itu benar. Tapi kalau kamu bertanya apa yang kurasakan sekarang… aku jujur, aku takut kehilangan mu. Bukan hanya sebagai istri di atas kertas, tapi sebagai bagian dari hidupku.”...
...Jingga menatapnya cepat, sorot matanya beradu dengan mata suaminya. Ada guncangan di hatinya, tapi luka yang menganga membuatnya tetap menjaga jarak....
...“Kak, jangan bicara seolah-olah kamu bisa mencintai ku. Kamu bahkan masih mencintai Kak Nesya lebih dari apa pun. Aku hanya pengganti sementara… aku hanya alat.”...
...Langit menutup mata sejenak, menahan sesak di dadanya. Lalu ia membuka kembali, menatap Jingga dengan penuh kesungguhan....
...“Mungkin aku memang belum bisa adil. Tapi aku ingin belajar. Dan aku ingin belajar itu bersama mu.”...
...Jingga berdiri mendadak, kursi panjang itu berderit pelan. Ia menatap Langit dari atas dengan sorot mata yang tegas meski berlapis air mata....
...“Tidak, Kak. Jangan paksa aku untuk percaya lagi.” Suaranya bergetar, namun penuh ketegasan....
...Langit ikut bangkit, tubuhnya terasa kaku. “Jingga… aku tidak memaksa mu. Aku hanya ingin kau tahu isi hati ku—”...
...“Isi hatimu ?” potong Jingga cepat, suaranya meninggi. “Hatimu jelas bukan untukku! Dari awal kau menikahi ku bukan karena cinta, tapi karena permintaan istri pertama mu. Lalu sekarang, setelah aku hancur, setelah aku jadi istri kedua yang selalu di abaikan… kau baru bilang ingin belajar mencintai ku ?”...
...Langit terdiam, rahangnya mengeras. Kata-kata Jingga menohok, tapi ia tak bisa menyangkal....
...“Maaf, Kak,” lanjut Jingga, air matanya jatuh tanpa ia sadari. “Aku tidak butuh janji kosong. Aku tidak butuh kata ‘ingin belajar’. Aku butuh kepastian. Dan selama hatimu masih terpaku pada kak Nesya… aku tidak pernah akan jadi lebih dari sekadar bayangan di rumah tangga kita.”...
...Langit menatapnya, matanya memerah, napasnya berat. “Jingga, jangan bicara seperti itu. Kau tetap istriku…”...
...“Secara hukum, iya. Tapi secara hati ? Tidak!” potong Jingga lagi, kali ini dengan suara pecah. Ia menggenggam kerudungnya erat, berusaha menahan tubuhnya agar tidak goyah....
...“Mulai sekarang, Kak…” ucapnya pelan namun menusuk, “jangan pernah mendekati ku dengan alasan takut kehilangan. Karena yang kau takutkan itu hanya egomu, bukan aku.”...
...Tanpa memberi kesempatan Langit membalas, Jingga berbalik cepat dan melangkah menjauh, meninggalkan lorong yang hening....
...Langit terpaku di tempat, seperti di hantam ribuan pisau. Dadanya sesak, tapi kali ini ia tidak berani berteriak, tidak berani mengejar. Yang tersisa hanyalah tatapan kosongnya yang mengiringi kepergian istri kecilnya....
...Langit tersadar ketika langkah kecil Jingga mulai menjauh di lorong rumah sakit. Dadanya terasa sesak, seolah setiap jarak yang tercipta menambah luka di dalam hatinya....
...Ia menggertakkan gigi, lalu buru-buru menyusul....
...“Jingga…” panggilnya, suaranya serak....
...Jingga mempercepat langkah, enggan menoleh. Air mata masih menetes, ia tidak ingin suaminya melihat wajahnya yang penuh luka....
...Namun tangan Langit lebih cepat. Ia meraih pergelangan Jingga dengan tegas, tapi kali ini tanpa tarikan kasar. Hanya genggaman erat, seolah memohon agar wanita itu tidak lagi menjauh....
...“Pulanglah bersama ku,” ucap Langit, lirih tapi tegas....
...Jingga berhenti, bahunya naik-turun menahan tangis. Ia mencoba melepaskan genggaman itu, namun Langit menahan lebih kuat....
...“Aku tidak mau, Kak,” bisik Jingga. “Aku masih marah… aku masih sakit. Bagaimana mungkin aku bisa duduk satu mobil dengan mu seakan-akan tidak terjadi apa-apa ?”...
...Langit menunduk, menatap tangan mereka yang masih saling terkait....
...“Tidak akan aku paksa bicara. Tidak akan aku paksa tersenyum. Tapi izinkan aku mengantar mu pulang. Aku suami mu, dan aku tidak akan membiarkan kamu pulang sendiri dengan hati yang berantakan seperti ini.”...
...Jingga menoleh, matanya basah dan bergetar. “Kenapa selalu begini, Kak ? Kau yang membuat aku hancur… tapi kau juga yang mau jadi penolongnya. Aku lelah.”...
...Langit menghela napas panjang, wajahnya penuh sesal....
...“Mungkin aku bukan suami terbaik, bahkan mungkin belum layak di sebut suami… tapi biarkan aku mencoba, walau sedikit. Setidaknya, pulanglah bersama ku malam ini.”...
...Keheningan menggantung....
...Jingga terdiam, tubuhnya gemetar, lalu perlahan menarik napas panjang. Ia tidak menjawab, hanya menunduk. Tapi ia juga tidak lagi berusaha melepaskan genggaman tangan itu....
...Langit menatapnya lama, sebelum akhirnya membimbing pelan. “Ayo, kita pulang…”...
...Mereka berjalan berdampingan dalam diam, tanpa ada kata tambahan. Hanya suara langkah kaki yang bergema di lorong rumah sakit, mengiringi dua hati yang masih sama-sama terluka....
...0o0__0o0...
baca cerita poli²an tuh suka bikin gemes tp mau gk dibaca penasaran bgt 😂