Menjelang pernikahan, Helena dan Firdaus ditimpa tragedi. Firdaus tewas saat perampokan, sementara Helena diculik dan menyimpan rahasia tentang sosok misterius yang ia kenal di lokasi kejadian. Kematian Firdaus menyalakan dendam Karan, sang kakak, yang menuduh Helena terlibat. Demi menuntut balas, Karan menikahi Helena tanpa tahu bahwa bisikan terakhir penculik menyimpan kunci kebenaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Setelah melihat istrinya tertidur pulas, Karan mengajak Dion untuk menemui Firdaus.
Dion melarang Karan untuk menemui Firdaus yang mungkin saja sedang menjebaknya.
"Aku tidak peduli, Dion. Dia sudah bermain-main dengan aku selama ini." ucap Karan sambil mengambil senjatanya dan ia selipkan di belakang pakaiannya.
Dion menghela nafas panjang dan akhirnya ia mengantarkan Karan menuju ke tempat yang diinginkan oleh Firdaus.
Sesampainya di sana, Karan melihat beberapa anak buah Firdaus yang sudah menunggu kedatangannya.
Salah satu dari mereka memeriksa dan mengambil senjata Karan.
"Silahkan masuk dan kamu tetap disini."
Karan menganggukkan kepalanya dan meminta Dion untuk tetap disini.
Ia pun masuk kedalam dan melihat Firdaus yang berdiri tersenyum menatapnya.
"Aku kira kamu tidak berani datang, Kak. Dan dimana Helena?" tanya Firdaus.
Karan mencengkram erat kedua tangannya saat mendengar Firdaus menyebut nama Helena.
Firdaus menatap Karan dengan mata dingin, senyum sinis masih menghiasi wajahnya.
“Jadi, Helena tetap milikmu sekarang, ya? Menarik sekali, tapi apakah kamu siap menanggung semua akibatnya, Kak?”
Karan mengerahkan seluruh ketenangan yang tersisa, menahan amarah yang hampir meledak.
“Kalau maksudmu semua anak buahmu dan permainan kotormu, Firdaus. Aku sudah siap. Aku tidak akan membiarkanmu menyakiti Helena atau orang yang aku sayangi lagi.”
Firdaus tertawa keras, suara dinginnya bergema di ruangan.
“Berani sekali kamu, kak. Baiklah, lihat seberapa jauh kau bisa bertahan, Kak. Tapi ingat, aku yang memegang semua kartu sekarang.”
Salah satu anak buah Firdaus melangkah maju, mencoba menyerang Karan.
Namun Karan, dengan reflek yang masih terlatih, menangkis serangan itu dan membuatnya terjatuh.
“Kau pikir aku datang untuk bermain-main?” geram Karan sambil menatap Firdaus penuh amarah.
“Ini bukan permainan lagi. Ini tentang Helena!”
Firdaus mengangkat alisnya dan menantang Karan.
“Kalau begitu, buktikan, Kak. Tapi hati-hati, langkahmu salah sedikit saja, dan semua yang kau sayangi akan hancur.”
Karan menatap sekeliling, memastikan tidak ada lagi ancaman langsung, lalu menarik napas dalam.
“Mulai sekarang, Firdaus. Permainanku berbeda dan kali ini aku yang menentukan aturan.”
Karan menjentikkan jarinya dan seketika itu juga Kompol Albertus datang bersama dengan yang lainnya.
Kompol Albertus kang memborgol tangan Firdaus yang akan mengambil senjatanya.
"Kak, sebelum aku ke penjara. Tolong lihat ini."
Ponsel Karan berbunyi dan ia melihat Helena yang bangun dari tidurnya.
Ia mengambil obat yang sudah diganti oleh anak buahnya yang berhasil masuk ke kamarnya.
"Ucapkan selamat tinggal untuk istrimu,"
Firdaus langsung tertawa terbahak-bahak melihat Karan yang ketakutan.
Karan langsung berlari dan melajukan mobilnya menuju ke rumahnya.
"Helena, jangan kamu minum obat itu. Aku mohon, sayang." gumam Karan.
Tak berselang lama Karan telah tiba di rumah dan saat masuk ke kamar ia tidak melihat keberadaan istrinya.
"HELENA!!"
Ceklek!
Helena terkejut ketika mendengar suara teriakan suaminya.
"Mas kenapa berteriak seperti itu?" tanya Helena sambil mengikat kimono handuknya.
Karan yang melihat istrinya langsung memeluknya erat.
"Kamu tidak apa-apa? Kamu minum obat itu?" tanya Karan.
Helena menggelengkan kepalanya dan mengatakan kalau ia belum minum obatnya.
Karan berjalan menuju meja nakas, mengambil semua botol obat dan vitamin yang diberikan dokter.
Tangannya mantap, tanpa ragu, ia memasukkan semuanya ke dalam kantong plastik besar dan membuangnya ke sampah.
"Mas, kenapa dibuang? Ada apa, Mas?" tanya Helena.
"Firdaus sudah mengganti obat itu dengan racun, Hel." jawab Karan.
Setelah membuang semua obat berbahaya itu, Karan menarik Helena ke dalam pelukannya.
“Hel,aku janji tidak ada yang akan menyakitimu lagi. Aku akan selalu ada di sisimu,” bisik Karan lembut.
Helena menganggukkan kepalanya sambil mencium bibir suaminya.
Karan mengatakan kalau Firdaus sudah ditangkap polisi.
"Kamu sekarang sudah bisa tenang, Hel. Dan kita mulai dari nol lagi." ucap Karan.
Karan mencium bibir istrinya dan mengajaknya ke tempat tidur.
"Hel, maukah kamu menikah denganku lagi? Aku ingin pernikahan yang sakral." tanya Karan.
Helena tersenyum sambil membelai pipi Karan yang mulai tumbuh brewok tipis.
"A-aku mau, Mas. Asal kamu jangan menyiksaku seperti dulu lagi." jawab Helena.
Karan menggenggam tangan istrinya erat, lalu meletakkannya di dadanya.
“Demi Tuhan, Hel. Aku berjanji. Mulai sekarang, semua yang kulakukan hanya untuk melindungimu. Kita buka lembaran baru, dari nol, bersama-sama.”
Helena mengangguk pelan, lalu membalas ciuman Karan dengan penuh kelembutan.
Karan menepuk-nepuk punggung istrinya yang kemudian kembali tertidur pulas.
"Sayangku, sang Putri tidur." ucap Karan yang kemudian ikut memejamkan matanya.
Keesokan paginya matahari sudah bersinar terang dan mereka berdua masih tertidur pulas.
Bi Fia yang didapur bersama dengan Dioan hanya saling pandang.
"Sudah jam sembilan dan mereka masih tertidur pulas," ucap Dion.
"Biar saja, Dion. Bibi suka kalau mereka seperti ini terus." ujar Bi Fia sambil membuat sarapan.
Bi Fia memutuskan untuk membuat bubur ayam untuk Helena. Dan untuk Karan, Bi Fia sudah menyiapkan masakan kesukaan Karan yaitu ayam bakar.
Kembali ke kamar mereka berdua dimana Karan dan Khanza baru saja membuka matanya.
"Selamat pagi, sayang" sapa Karan sambil mencium kening istrinya.
"Sepertinya bukan selamat pagi Mas, tapi selamat siang."
Karan tertawa kecil dan mengajak istrinya untuk keluar kamar.
"Selamat pagi Tuan Karan, Nyonya Helena."
Karan menganggukkan kepalanya dan melihat Bi Fia yang sudah menyiapkan sarapan kesukaannya.
"Ini bubur kamu, sayang." ujar Karan sambil menyodorkan mangkuk bubur ke depan Helena.
"Terima kasih, Mas." jawab Helena sambil tersenyum.
Ia mulai menikmati bubur itu, lalu dengan manja menyuapkan satu sendok ke mulut suaminya.
"Mas, boleh aku minta ayam bakarnya?" tanya Helena.
Karan mengambil sedikit dada ayam dan menyuapi istrinya.
"Sedikit saja, kamu masih belum boleh makan yang pedas." ucap Karan.
Helena mengangguk kecil dan kembali makan buburnya.
Disaat sedang sarapan, Dion datang sambil membawa beberapa laporan perusahaan.
"Dion, tolong siapkan pernikahanku dan kau ingin diadakan di hotel Galaxy. Undang semua para klien penting." pinta Karan.
"Baik, Tuan. Saya akan menyiapkan semuanya." ucap Dion.
Selesai sarapan, Helena hendak membereskan mangkuknya ketika suara langkah sepatu hak terdengar dari pintu depan.
Renata masuk tanpa diundang, dengan wajah penuh percaya diri.
Tatapannya langsung tertuju pada Karan, seakan Helena tak ada di sana.
“Karan! Ceraikan saja perempuan itu, lalu pilih aku.”
Helena membeku, genggamannya di sendok sedikit bergetar.
Tapi sebelum ia sempat berkata apa-apa, Karan sudah meraih tangannya dan menggenggam erat, seolah memberi kekuatan.
“Renata, cukup,” ucap Karan tegas, tatapannya menusuk. “Aku tidak akan pernah menceraikan Helena. Dia istriku, satu-satunya perempuan yang kucintai.”
Renata melipat tangannya di dada, matanya berkaca-kaca, tapi penuh amarah.
“Kenapa, Karan? Aku selalu ada untukmu! Aku yang mendukungmu saat semua orang meninggalkanmu. Tapi sekarang kamu pilih dia?”
Karan menoleh ke Helena, lalu menatap Renata kembali.
“Karena Helena bukan sekadar pilihanku, Renata. Dia adalah hidupku dan kekasih masa kecilku. Aku bersamanya, sekarang dan selamanya. Jadi berhentilah berharap lebih.”
Helena menunduk, hatinya hangat meski masih bergetar karena kehadiran Renata.
Ia merasakan genggaman tangan Karan semakin erat, membuatnya yakin bahwa kali ini suaminya benar-benar memilihnya tanpa ragu.
“Kamu akan menyesal, Karan. Kamu lebih memilih dia daripada aku? Kau akan menyesal!”
Namun Karan berdiri tegak, tidak goyah sedikit pun.
“Satu-satunya penyesalanku adalah pernah membiarkan Helena terluka karena ulahku. Mulai sekarang, tidak ada lagi yang bisa memisahkan kami. Termasuk kamu, Renata.”
Renata yang kesal langsung keluar dari rumah Karan.