Keinginan untuk dipeluk erat oleh seseorang yang dicintai dengan sepenuh jiwa, merasakan hangatnya pelukan yang membungkus seluruh keberadaan, menghilangkan rasa takut dan kesepian, serta memberikan rasa aman dan nyaman yang tak tergantikan, seperti pelukan yang dapat menyembuhkan luka hati dan menenangkan pikiran yang kacau, memberikan kesempatan untuk melepaskan semua beban dan menemukan kembali kebahagiaan dalam pelukan kasih sayang yang tulus.
Hal tersebut adalah sesuatu yang diinginkan setiap pasangan. Namun apalah daya, ketika maut menjemput sesuatu yang harusnya di peluk dengan erat. Memisahkan dalam jurang keputusasaan dan penyesalan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Anonimity, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 29 : Api Dalam Dendam
Ditengah Isak tangis dan ketegangan tersebut, pintu ruangan Freya terbuka. Menampilkan Shanju dan beberapa dokter lainnya yang nampak kelelahan. Fonix dengan segera menghampiri Shanju, tanpa melihat kelelahan yang di alami oleh dokter cantik tersebut.
"Kak, bagaimana kondisi Freya?" Tanyanya tergesa-gesa.
Shanju menggeleng pelan, "mungkin satu-satunya cara, adalah mencari orang untuk mendonorkan jantungnya." Ucap Shanju lemas.
Fonix merasa napasnya terhenti, hatinya seperti disayat pisau tajam.
"Kalau begitu ambil jantungku." ucapnya dengan suara yang tegas.
Kedua orang tua Freya serta Shanju terkejut, mereka melihat keseriusan yang dalam pada mata Fonix. Mereka seperti terpaku, tidak percaya apa yang baru saja mereka dengar. Fonix berdiri tegak, matanya membara dengan tekad yang tak tergoyahkan. Ia rela mengorbankan nyawanya sendiri untuk menyelamatkan Freya, wanita yang dicintainya dengan segenap jiwa.
"Fonix, jangan lakukan itu. Meski Freya bisa selamat, tapi kamu pasti akan..." Cegah ibunda Freya.
Fonix menatap ibunda Freya dengan mata yang penuh tekad. "Aku tidak peduli," ucapnya dengan suara yang tegas. "Freya menjadi seperti ini karena aku tidak bisa menjaganya dengan baik. Tidak ada yang boleh mengganti jantung Freya dengan orang lain, selain milikku," tambahnya dengan nada yang tidak bisa diganggu gugat.
Shanju terlihat menggeleng, "Meski kamu memaksa, aku tetap tidak bisa.." ucap Shanju.
Fonix tiba-tiba berlutut di kaki Shanju, mencoba untuk memohon persetujuan. "Kak, aku mohon. Bukankah kakak bilang hanya ini satu-satunya cara?" Ratap Fonix.
"Meski begitu aku tetap tidak bisa. Kamu tidak memikirkan, apa yang akan terjadi setelah ini?" Ujar Shanju.
"Om tau niat kamu sangat baik, tapi meski Freya berhasil selamat, Dia pasti akan depresi, ketika mengetahui orang yang dia cintai mengorbankan jantungnya sendiri. Kita masih punya harapan, dan mencoba cara yang lebih baik." Ucap ayah Freya.
Fonix masih berlutut di kaki Shanju, matanya memohon dengan sangat. Shanju menghela napas dalam-dalam. Kedua orang tua Freya menatap Fonix dengan penuh simpati, mereka bisa merasakan betapa besar cinta Fonix kepada putrinya.
"Aku mengerti cintamu kepada Freya sangat besar. Tapi, kita harus memikirkan apa yang akan terjadi setelah ini. Apakah Freya bisa menerima pengorbananmu? Apakah dia bisa hidup dengan beban itu?" ucap Shanju dengan nada yang lembut. Fonix terdiam, matanya menatap ke lantai.
"Aku berjanji akan menyelamatkan Freya sebisaku. Tapi, jika ini memang takdirnya, tidak ada yang bisa kita lakukan sebagai manusia." Ujar Shanju kemudian pergi menjauh.
Fonix masih berlutut di lantai, matanya terpaku pada titik tertentu di depannya. Ia tenggelam dalam dilema dan penyesalan, tidak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya. Kata-kata Shanju masih terngiang di benaknya.
Kedua orang tua Freya mendekati Fonix, mereka bisa merasakan betapa besar cinta Fonix kepada putri mereka. Ayah Freya meletakkan tangan di bahu Fonix, "Freya sangat beruntung memiliki kekasih sepertimu, yang rela berkorban hingga sampai seperti ini.Tapi, kita harus menerima apa pun yang terjadi dengan lapang dada," ujarnya dengan nada yang lembut.
Fonix mengangkat kepala, matanya merah karena menangis. Ia menatap kedua orang tua Freya dengan mata yang penuh kesedihan, "Aku tidak bisa menerima jika Freya pergi meninggalkanku," ucapnya dengan suara yang tercekat.
...***...
Fonix berpamitan sejenak pada orang tua Freya. Ia beralasan ingin menenangkan diri. Tapi sebenarnya, pemuda itu ingin bertemu seseorang. Seseorang yang memiliki dendam yang sangat dalam padanya.
Fonix meninggalkan rumah sakit, Melajukan mobilnya ke suatu tempat. Ia merasa sedih dan tidak berdaya, tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk menyelamatkan Freya. Setelah beberapa saat, Fonix memarkirkan Mobilnya di sebuah taman sunyi.
Taman sunyi itu terletak di pinggiran sudut kota yang tenang, jauh dari hiruk pikuk kehidupan sehari-hari. Taman ini dikelilingi oleh pepohonan hijau yang rindang dan bunga-bunga liar yang bermekaran dengan indahnya. Udara di taman ini dipenuhi dengan aroma bunga dan tanah yang lembab, menciptakan suasana yang damai dan tenang.
Di tengah taman, terdapat sebuah kolam kecil yang airnya jernih dan tenang, memantulkan bayangan pepohonan di sekitarnya. Sejumlah burung kecil berkicau di antara ranting-ranting pohon, menciptakan melodi yang lembut dan menenangkan. Taman ini adalah tempat yang sempurna untuk melarikan diri dari kebisingan kota dan menemukan ketenangan dalam diri sendiri. Fonix berjalan sendirian di taman ini, langkahnya perlahan dan berat karena beban pikiran yang menghantuinya. Ia merasa sedih dan tidak berdaya, tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk menyelamatkan Freya.
Tidak lama, manik matanya menemukan orang yang dia cari. Orang tersebut merupakan seorang gadis yang terlihat seumuran dengan Freya. Berambut hitam bondol sebahu. Gadis itu memiliki wajah yang cantik dengan kulit yang halus dan putih. Rambut hitam bondol sebahunya tergerai dengan rapi, menutupi sebagian wajahnya yang berbentuk oval. Matanya yang besar dan ekspresif terpancar dengan warna coklat tua yang dalam, memberikan kesan yang misterius dan dalam. Alis matanya yang tebal dan lurus membingkai mata dengan sempurna, menambah kesan yang kuat pada wajahnya.
Gadis itu memiliki hidung yang mancung dan bibir yang tipis, memberikan kesan yang elegan dan anggun. Ia mengenakan pakaian yang sederhana namun stylish, menunjukkan selera fashion yang baik. Saat Fonix melihatnya, gadis itu sedang duduk di bangku taman, menatap ke arah kolam dengan mata yang kosong, seolah-olah sedang tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Fonix mengenali gadis itu sebagai seseorang yang memiliki dendam yang sangat dalam padanya. Ia tidak tahu apa yang harus diharapkan dari pertemuan ini, tapi ia tahu bahwa ia harus menghadapinya jika ingin mendapatkan bantuan untuk menyelamatkan Freya. Dengan napas dalam-dalam, Fonix melangkah mendekati gadis itu.
"Lama tidak bertemu, Gita.."
Gita Sekar atau Gita tercekat ketika mendengar suara seseorang yang paling di bencinya. Ia menoleh ke arah Fonix, dan sekonyong-konyong langsung memukul wajah Fonix hingga terpental. "Bajingan! Beraninya kau datang menemuiku, setelah kau membunuh adiku?!" Sentaku Gita.
Fonix bangun secara perlahan, ia mengusap pipinya yang sedikit sakit, akibat pukulan dari Gita. Ia tidak berniat melawan. Tapi Fonix melihat, kilatan amarah yang dalam pada mata Gita. Gita memandang Fonix dengan mata yang penuh amarah, wajahnya merah karena emosi yang tidak terkendali. Ia memukul Fonix berulang kali, dengan kekuatan yang tidak bisa dianggap remeh. Fonix tidak melawan, ia hanya berdiri tegak dengan mata yang tertunduk, membiarkan Gita melampiaskan amarahnya. Setiap pukulan yang mengenai tubuh Fonix terasa sakit, tapi ia tidak menunjukkan tanda-tanda perlawanan. Ia hanya diam, membiarkan Guta memukulinya dengan keras. Gita semakin marah karena Fonix tidak melawan, ia merasa bahwa Fonix tidak memiliki harga diri.
"Apa yang kau inginkan, bajingan!" teriak Gita dengan suara yang keras, sambil terus memukul Fonix. Fonix tetap diam, tidak menunjukkan tanda-tanda perlawanan. Ia hanya menunggu sampai Gita merasa puas dengan kemarahannya.
Setelah beberapa saat, Gita akhirnya berhenti memukul Fonix. Ia terengah-engah karena kelelahan, matanya masih penuh amarah. Fonix berdiri tegak, dengan wajah yang sedikit memar karena pukulan Gita. Ia menatap Gita dengan mata yang penuh penyesalan, "Aku tahu aku bersalah. Aku tidak bisa meminta maaf atas apa yang telah kulakukan," ucap Fonix dengan suara yang lembut.
Gita menatap Fonix dengan mata yang masih penuh amarah, "Kau tidak bisa meminta maaf atas apa yang telah kau lakukan? Kau telah membunuh adiku! Kau tidak bisa menggantikan nyawanya dengan apa pun!" teriak Gita dengan suara yang keras. Fonix terdiam, ia tahu bahwa Gita masih sangat sakit hati dengan apa yang telah terjadi.