Ribuan tahun sebelum other storyline dimulai, ada satu pria yang terlalu ganteng untuk dunia ini- secara harfiah.
Rian Andromeda, pria dengan wajah bintang iklan skincare, percaya bahwa tidak ada makhluk di dunia ini yang bisa mengalahkan ketampanannya- kecuali dirinya di cermin.
Sayangnya, hidupnya yang penuh pujian diri sendiri harus berakhir tragis di usia 25 tahun... setelah wajahnya dihantam truk saat sedang selfie di zebra cross.
Tapi kematian bukanlah akhir, melainkan awal dari absurditas. Bukannya masuk neraka karena dosa narsis, atau surga karena wajahnya yang seperti malaikat, Rian malah terbangun di tempat aneh bernama "Infinity Room"—semacam ruang yang terhubung dengan multiverse.
Dengan modal Six Eyes (yang katanya dari anime favoritnya, Jujutsu Kaisen), Rian diberi tawaran gila: menjelajah dunia-dunia lain sebagai karakter overpowered yang... ya, tetap narsis.
Bersiaplah untuk kisah isekai yang tidak biasa- penuh kekuatan, cewek-cewek, dan monolog dalam cermin
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon trishaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kepungan Ganado
Dari balik jendela, ketiganya bersiaga. Leon di depan, dekat pintu. Sementara Luis di kanan, dan Rian di bagian kiri, masing-masing bersenjata, fokus, dan tenang di tengah tekanan.
“Target jam dua!” seru Luis, melepaskan satu tembakan, langsung menjatuhkan Ganado yang terlihat.
Seketika, suara tembakan memenuhi udara.
Dor! Dor! Dor!
Suara peluru bersahutan, menembus hujan dan teriakan para Ganado yang terus berdatangan.
Luis dan Leon menunjukkan pengalaman mereka: menembak cepat dan presisi dari balik jendela, tepat mengenai kepala atau lutut lawan untuk melumpuhkan secara efisien. Tak ada peluru yang terbuang sia-sia.
Sementara itu, Rian, yang belum terlalu terbiasa dengan senjata api, memilih pendekatan berbeda.
Rian menunggu hingga musuh cukup dekat, lalu menembak dari jarak nyaris berbahaya, langsung ke kepala. Sekali tembak, langsung tumbang.
Setiap kali satu Ganado roboh, suara notifikasi sistem bergema di benak Rian.
Disisi lain, setelah Leon mengisi ulang handgun-nya dengan cepat, ia segera menembak tepat ke arah salah satu Ganado bersenjatakan kapak berkarat yang mencoba menghancurkan pintu depan.
“Jangan biarkan mereka masuk!” ujar Leon dengan tegas.
Rian, masih di posisinya, menembakkan revolvernya ke arah satu kepala Ganado yang mendekat. “Tenang saja, aku tak akan biarkan mereka mengganggu waktu berkacaku.”
Dari jendela ke jendela, suara tembakan mereka terus menerus bersahut-sahutan di antara hujan yang semakin deras.
Setiap Ganado yang mencoba menerobos segera dilumpuhkan dengan tembakan terarah. Tapi jumlah mereka terus bertambah.
“Persetan, mereka datang seperti gelombang!” seru Luis sambil mengisi ulang pelurunya.
Leon mengangguk cepat. “Kita tahan sebisa mungkin, jangan biarkan satupun masuk!”
Beberapa saat kemudian, Rian menangkap sosok besar mendekat, seorang Ganado dengan gergaji mesin terangkat tinggi. Suara dentuman mesin bercampur hujan menyayat udara.
Rian melirik cepat ke revolvernya.
Kosong, hanya tersisa peluru yang ada di dalam barel.
Di hadapannya, jumlah Ganado memang sudah berkurang… tapi ancaman satu ini berbeda.
‘Dia lagi,’ batin Rian, senyum tipis terlukis di wajahnya. ‘Kesempatan bagus. Mari kita coba kekuatan revolver-ku…’
Tanpa mengalihkan pandangan dari tempatnya, Rian berseru, “Ada yang bawa peluru revolver Kaliber .50 Magnum?”
Leon, yang sedang mengisi ulang senjatanya, mengangguk. Ia merogoh pouch di pinggangnya, lalu melempar beberapa butir peluru ke arah Rian.
Setelah menerima peluru dari Leon, Rian menyimpannya dalam tas pinggang. Namun, disisi lain Rian tidak kembali menembak.
Di kejauhan, sosok besar mulai mendekat, seorang Ganado dengan gergaji mesin yang meraung nyaring, kini hanya beberapa meter dari kabin.
Wajah Ganado itu tersembunyi di balik karung kasar, tapi sorot kegilaan memancar jelas.
Rian melirik singkat ke Leon dan Luis.
“Maaf, tapi… guys, bisa bantu aku di sini?” ucap Rian ringan, namun cepat mundur dari jendela.
BRAK!
Jendela hancur diterjang gergaji mesin. Leon dan Luis refleks bersiap, sedikit terkejut dengan kecepatan serangan itu.
Namun Rian lebih dulu bereaksi. Dari jarak sangat dekat, ia menodongkan revolvernya dan melepaskan tembakan beruntun tepat ke kepala Ganado itu.
DOR! DOR! DOR!
Seketika, Leon dan Luis ikut bergabung, mengarahkan tembakan ke kepala lawan yang tak kunjung roboh. Butuh beberapa peluru lagi, hingga akhirnya tubuh Ganado berlutut… dan ambruk dengan suara berat.
Hening sejenak.
Tak ada Ganado lain yang muncul.
Luis menghela napas, menyeka keringat di dahinya. "Oya! Akhirnya selesai juga! Kerja bagus, Amigo!"
Leon menurunkan senjata dan melirik ke arah Rian, untuk pertama kalinya memperhatikan mata biru terang di wajah pria itu.
'Hmm? Mata biru yang aneh,' ujar Leon dalam pikiran sambil mencoba menebak-nebak, 'Apa semacam teknologi implan mata palsu?'
Sementara, Rian sedang mengangkat Chainsaw dari lantai, memeriksa sebentar lalu menyalakannya. Suara raungan kembali memenuhi kabin, tapi kali ini bukan ancaman.
Luis dan Leon saling memandang sejenak, kemudian menatap Rian dengan bingung.
"Hehe," Rian terkekeh dengan Chainsaw itu ditangannya dan bergumam, "tidak ada yang lebih tampan dari laki-laki dengan Chainsaw ditangannya."
Tiba-tiba, mata Six Eyes-nya menangkap sesuatu. Sebuah sosok besar muncul dari balik hujan, mengangkat balok kayu besar, dan melemparkannya lurus ke arah mereka.
“Semuanya! Menunduk!” seru Rian.
WHUUM!
Balok itu melesat, menembus hujan deras, langsung ke arah Leon.
Leon bereaksi sepersekian detik sebelum balok itu menghantam. Ia menjatuhkan diri ke lantai, balok menghantam lemari dan menembus dinding kabin, menciptakan lubang besar dan hujan serpihan kayu.
Jika Leon terlambat sedikit saja, mungkin dia tak akan bangun lagi.
Leon menghela napas berat, lalu segera bangkit dari lantai. Serpihan kayu masih beterbangan di udara, bekas hantaman barusan.
Luis dan Leon bergerak cepat ke jendela yang hancur, mengamati arah datangnya serangan.
Hujan deras sedikit mengaburkan pandangan, namun tidak cukup untuk menyembunyikan sosok tinggi menjulang yang mulai melangkah keluar dari bayang-bayang.
Dia mengenakan jaket kulit panjang yang lusuh, topi besar menutupi sebagian wajah, dan tubuhnya tampak jauh lebih besar dari manusia biasa.
“Sial... dia lagi,” gumam Leon, langsung menodongkan pistol ke arah sosok itu.
Luis menyipitkan mata, rahangnya mengeras. “Bitores Mendez,” katanya dingin. “Dia bukan Ganado biasa. Hati-hati, pria itu... monster.”
Ding!
Sebuah layar notifikasi transparan muncul tepat di hadapan Rian, hanya bisa dilihat olehnya.
[Envoy dengan nomor seri 90.000 telah memicu Misi Sampingan tingkat C: -Kalahkan Bitores Mendez-]
__________________
Judul: Kalahkan Bitores Mendez
Keterangan:
Eliminasi Bitores Mendez sendirian, tanpa bantuan siapapun. Cara apapun boleh dilakukan.
Hadiah: 5000 Poin Sistem
__________________
“Misi sampingan berhadiah 5000 Poin Sistem?” gumam Rian pelan, menatap layar hologram yang hanya bisa ia lihat. Senyum tipis terukir di wajahnya. “Lumayan.”
Dengan langkah mantap, Rian maju ke sisi Leon dan Luis yang masih memantau pergerakan Mendez dari jendela kabin.
“Luis, dan… siapa namamu?” tanya Rian tiba-tiba, dengan nada santai seolah benar-benar tidak kenal siapa yang ada di hadapannya.
Leon melirik Rian sekilas. “Leon.”
“Bagus. Dengar, kalian berdua... pergilah.”
Leon dan Luis sama-sama menoleh, menatap Rian dengan raut tidak percaya.
“Apa maksudmu?” tanya Leon, nada suaranya waspada.
Mata Rian tetap tertuju pada sosok Mendez yang kian mendekat. “Luis, kau tahu lebih banyak soal Las Plagas daripada siapa pun di sini. Dan Leon… prioritasmu adalah si manis—maksudku, Ashley, kan?”
Rian mengangkat Chainsaw yang ia ambil tadi, membiarkannya menyala dengan raungan rendah yang menggetarkan udara.
“Jadi cepatlah pergi. Biar laki-laki tampan ini yang menghadapi Ganado besar itu. Jangan buang-buang waktu,” ujar Rian dengan nada penuh keyakinan.
Namun, seolah baru teringat sesuatu, Rian segera menambahkan, “Oh... dan nomor saluran radioku 223 1335. Nanti hubungi aku. Kalau Leon sempat, minta juga Ashley buat kirim salam ke laki-laki tampan ini.”
Luis terkekeh pelan, meski ekspresinya masih menyimpan kekhawatiran. Leon sempat membuka mulut, hendak membantah, tapi tatapan Rian terlalu serius untuk dianggap bercanda, meski... sebagian jelas terdengar seperti bercanda.
Walaupun begitu, Leon memilih untuk mengesampingkan hal itu.
Di luar, suara langkah berat semakin mendekat. Mendez, dengan tubuh besarnya, perlahan tapi pasti mendekati kabin.
Leon akhirnya menggertakkan gigi, lalu mengangguk. “Aku tidak tau siapa kau. Tapi yang jelas jangan mati.”
“Tenang. Aku lebih keras kepala dari kelihatannya,” jawab Rian, senyum miring menghiasi wajahnya.
Sebelum beranjak, Leon merogoh pouch-nya dan menyerahkan sebuah granat ke Rian. “Ambil ini. Mungkin berguna,” katanya singkat.
Rian menerimanya tanpa banyak bicara, lalu menyelipkannya ke dalam saku trench coat-nya yang basah oleh udara lembap. Leon segera berbalik dan menuju ke sudut kabin tempat Ashley disembunyikan. Ia menarik lemari ke samping, lalu menggandeng gadis itu keluar.
“Ashley, kita pergi sekarang,” ucap Leon cepat.
Ashley mengangguk lemah, masih tampak pucat, lalu mengikuti Leon.
Sementara itu, Luis menatap Rian sejenak, lalu menepuk pundaknya. “Amigo, hati-hati. Dia bukan lawan sembarangan.”
Rian hanya mengangguk pelan, membalas dengan senyum tipis. Luis pun segera menyusul Leon dan Ashley, keluar dari kabin melalui pintu belakang yang belum terjaga.
Sunyi sejenak.
Rian menghela napas panjang. Chainsaw di tangan kirinya bergetar pelan, mengeluarkan raungan rendah. Namun, sebelum Mendez mendekat lebih jauh, Rian merogoh saku kemejanya dan mengeluarkan sebuah cermin kecil.
Ia menatap refleksi wajahnya dengan serius dan berkata dengan suara berat, “Apapun itu tataplah berhati-hati, Rian. Jangan sampai wajahmu rusak.”
“Itu pasti,” sahut Rian sendiri, kali ini dengan nada ringan. Rian menyimpan kembali cermin tersebut, lalu merapatkan trench coat-nya.
Dengan langkah mantap, Rian berjalan maju, meninggalkan kabin, menembus hujan deras, dan menghadapi sosok tinggi besar Bitores Mendez yang kini berdiri menantinya di luar.
Chainsaw di tangan Rian meraung nyaring, seolah ikut menantang.
Bitores Mendez melangkah pelan mendekati kabin, jaket kulit panjangnya berkibar ditiup angin hujan. Saat melihat Rian keluar, berdiri sendirian dengan Chainsaw di tangan, sosok besar itu berhenti sejenak.
Mata Mendez yang tajam menyipit menatap pria muda di hadapannya.
“…Kau bukan bagian dari mereka,” gumam Mendez dengan suara rendah, berat, dan serak seperti batu tergesek. “Aku bisa mencium bau asing dari tubuhmu…”
"Maaf, laki-laki tampan ini tidak suka diendus oleh sesama jenis," jawab Rian dengan cepat. "Laki-laki tampan ini menyukai wanita cantik dan manis, seperti Ashley contohnya."
btw si Rian bisa domain ny gojo juga kah?