Raka Pradipta 22th, seorang mahasiswa yang baru bekerja sebagai resepsionis malam di Sky Haven Residence, tak pernah menyangka pekerjaannya akan membawanya ke dalam teror yang tak bisa dijelaskan.
Semuanya dimulai ketika ia melihat seorang gadis kecil hanya melalui CCTV, padahal lorong lantai tersebut kosong. Gadis itu, Alya, adalah korban perundungan yang meninggal tragis, dan kini ia kembali untuk menuntut keadilan.
Belum selesai dengan misteri itu, Raka bertemu dengan Andika, penghuni lantai empat yang bisa melihat cara seseorang akan mati.
Ketika penglihatannya mulai menjadi kenyataan, Raka sadar… apartemen ini bukan sekadar tempat tinggal biasa.
Setiap lantai menyimpan horornya sendiri.
Bisakah Raka bertahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Takdir Yang Tertulis
Andika dan Raka duduk berhadapan di kamar apartemen yang berantakan. Mereka baru saja dari Pos keamanan.
Sosok yang selama ini menghantui Andika, akhirnya menunjukkan dirinya dengan lebih jelas. Itu bukan hanya sekadar siluet gelap atau ilusi dalam pikirannya. Kali ini, Andika melihatnya dengan lebih nyata.
Seorang pria berdiri di sudut ruangan, mengenakan pakaian yang identik dengan miliknya. Rambutnya sama, posturnya sama. Namun, ada satu hal yang berbeda, wajahnya. Matanya hitam pekat, kosong, seperti lubang tanpa dasar yang menelan segala cahaya di sekitarnya.
Andika menelan ludah, merasakan bulu kuduknya meremang. Raka juga merasakan sesuatu yang tidak beres. Ia menggenggam erat gagang kursi, siap bangkit kapan saja jika situasi semakin buruk.
"Siapa kau?" suara Raka bergetar, tetapi ia tetap berusaha terdengar tegar.
Bayangan itu tersenyum tipis, ekspresi yang terasa aneh di wajahnya. Senyuman itu bukan milik seseorang yang ramah, melainkan seseorang yang mengetahui sesuatu yang tidak boleh diketahui orang lain.
"Aku adalah dirimu yang seharusnya mati dulu, Andika," jawabnya dengan suara datar.
Andika terdiam. Kata-kata itu menggema di pikirannya. Seharusnya mati? Apa maksudnya?
"Apa maksudmu?" Andika akhirnya bertanya, meski ia sendiri ragu ingin mendengar jawabannya.
Sosok itu melangkah maju, meski langkahnya tidak menimbulkan suara. Rasanya seolah ia melayang, seperti bayangan yang hanya memproyeksikan dirinya di dunia nyata.
"Kau tidak seharusnya ada di sini," lanjutnya. "Kau mengambil sesuatu yang bukan milikmu. Takdir orang lain."
Andika semakin kebingungan. Ia melirik Raka yang tampak sama tegangnya.
"Apa yang lo maksud dengan takdir orang lain?" Raka akhirnya angkat suara, nada suaranya penuh ketidakpercayaan.
Sosok itu tertawa kecil, tetapi terdengar dingin. "Kau belum menyadarinya? Seharusnya kau mati dalam kecelakaan itu, Andika."
Jantung Andika berhenti sesaat. Ia mulai mengingat sesuatu, kejadian yang hampir ia lupakan karena trauma. Beberapa bulan lalu, ia mengalami kecelakaan parah. Mobil yang ia tumpangi terguling, tubuhnya terluka parah, dan dalam sekejap segalanya terasa gelap. Namun, ia selamat. Ia berhasil keluar dengan luka-luka ringan, meski seharusnya ia tidak mungkin bertahan.
“Aku menggantikan seseorang?” Andika berbisik.
Sosok itu mengangguk. “Dan sekarang, kau bertanggung jawab untuk mengembalikan keseimbangan. Satu nyawa harus pergi.”
Andika menelan ludah, lalu melirik Raka yang terlihat semakin tegang. “Jadi, aku harus memilih? Aku atau dia?”
Bayangan itu tak menjawab. Namun, keheningan yang mengikutinya sudah cukup menjadi jawaban.
Raka mengepalkan tangannya. "Lo nggak harus dengerin dia," potong Raka cepat. "Takdir nggak bekerja kayak gitu. Kita bisa mengubahnya."
Andika menatap Raka dengan nanar. Apakah ia benar-benar percaya bahwa mereka bisa melawan sesuatu yang tak kasat mata ini?
“Aku sudah melihatnya, Rak. Aku melihat kematianmu…”
“Tapi itu belum terjadi, kan?” Raka menatap Andika dengan mata yang penuh tekad bulat.
“Selama belum terjadi, kita masih punya waktu.”
Andika terdiam. Lalu, untuk pertama kalinya, ia menyadari sesuatu. Setiap kali ia melihat kematian seseorang, ia hanya menjadi saksi. Ia tidak pernah mencoba mengubahnya. Ia terlalu takut.
Tapi sekarang, ia harus melawan.
Mereka memutuskan untuk pergi ke tempat di mana Andika melihat kematian Raka terjadi—jalan sempit di dekat apartemen, di mana sebuah truk besar akan kehilangan kendali dan menabrak Raka.
Andika melihatnya jelas di penglihatannya, Raka berdiri di trotoar, lalu sebuah truk melaju dengan kecepatan tinggi dan menabraknya hingga tubuhnya terlempar ke udara.
Mereka berdiri di sana, menunggu dengan jantung berdegup kencang.
Bayangan itu juga ada, mengamati mereka dari kejauhan. Kali ini, sosoknya lebih nyata dari sebelumnya, seperti benar-benar hadir di dunia ini.
Andika mengepalkan tinjunya. "Kita bisa mengubah ini."
Beberapa menit berlalu, dan akhirnya momen itu tiba.
Dari kejauhan, terdengar suara klakson panjang. Truk itu datang.
Andika bisa melihat semuanya terjadi seperti dalam ingatannya. Raka berdiri di posisi yang persis sama dengan penglihatannya, tanpa sadar akan apa yang sebentar lagi terjadi.
Tetapi kali ini, Andika ada di sana.
"Andika, lo yakin ini bakal berhasil?" suara Raka terdengar penuh kecemasan.
Andika tidak menjawab.
Detik-detik terasa begitu lambat saat truk itu kehilangan kendali, seperti yang sudah Andika lihat sebelumnya. Namun, kali ini, ia tidak diam saja.
“RAKA, LOMPAT!”
"Lompat ke belakang trotoar sekarang!" teriaknya tiba-tiba.
Tetapi Raka tidak langsung bergerak. Ia terlihat ragu sejenak, dan itulah kesalahannya.
Truk itu kehilangan kendali, seperti dalam visi Andika. Ban depannya menghantam lubang di jalan, membuatnya oleng.
Tanpa berpikir panjang, Andika berlari dan menarik Raka ke belakang sekuat tenaga, hingga mereka berdua terjatuh ke jalan berbatu di belakang trotoar.
"WAAH!" Raka terjatuh ke jalan berbatu di belakang trotoar, tubuhnya menghantam tanah.
Truk itu melesat melewati tempat Raka berdiri beberapa detik lalu, menghantam tiang lampu dan berhenti setelah menabrak sebuah kios kosong.
Keheningan menyelimuti tempat itu.
Jantung Andika berdetak begitu cepat hingga ia merasa nyaris pingsan. Andika dan Raka terengah-engah di tanah, jantung mereka berdetak begitu cepat, keringat dingin mengalir di pelipis mereka.
Mereka berhasil.
Sosok bayangan itu masih berdiri di sana, di sisi jalan, menatap mereka dengan mata yang dulu kosong, tetapi kali ini, ekspresinya berbeda. Matanya yang hitam pekat mulai berubah, sedikit demi sedikit. Seperti ada kehidupan yang perlahan muncul di dalamnya. Ia tersenyum, bukan lagi dengan ejekan, tetapi dengan kelegaan.
"Kau sudah mengubah takdir, Andika," katanya dengan suara pelan. "Sekarang, kau bebas."
Kemudian, sosok itu menghilang, seperti kabut yang tersapu angin.
Andika merasakan sesuatu yang aneh di dalam dirinya. Seperti beban yang selama ini menekan dadanya akhirnya terangkat. Ia menoleh ke arah Raka yang masih terengah-engah, lalu tertawa kecil.
"Kita selamat," gumamnya sambil tersenyum lemah.
Raka menatapnya, lalu tertawa kecil meski wajahnya masih penuh keringat. "Ya. Dan sekarang, mungkin kita bisa istirahat sebentar sebelum ada hal gila lain yang terjadi."
Andika ikut tertawa.
Beberapa orang mulai berkerumun di sekitar mereka, beberapa terlihat bingung, beberapa lainnya berusaha memastikan apakah ada korban jiwa dari kecelakaan itu. Seorang pria paruh baya dengan jaket lusuh berlari mendekati mereka.
"Kalian nggak apa-apa, Nak?" tanyanya, matanya penuh kekhawatiran.
Andika masih terlalu syok untuk menjawab, tetapi Raka mengangguk cepat. "Iya, Pak. Kami nggak apa-apa."
Pria itu menghela napas lega. "Syukurlah. Tuhan masih melindungi kalian."
Andika menoleh ke arah truk. Sopirnya tampak keluar dari kendaraan dengan wajah pucat pasi. Ia menatap tempat di mana Raka berdiri tadi, sebelum akhirnya melihat mereka berdua.
"Astaga... aku hampir saja..." Sopir itu tak bisa menyelesaikan kalimatnya.
Andika menelan ludah, pikirannya masih dipenuhi oleh kejadian barusan. Jika ia tidak menarik Raka tepat waktu, mungkin saat ini ia harus menghadapi kenyataan yang jauh lebih buruk.
ke unit lantai 7