Satu malam yang tak pernah ia inginkan mengubah seluruh hidup Serene Avila. Terbangun di samping pria asing, ia memilih kabur tanpa menoleh—tak tahu bahwa pria itu adalah Raiden Varendra, konglomerat muda yang bisa mengguncang seluruh kota hanya dengan satu perintah. Dua bulan kemudian, Serene hamil… kembar. Di tengah panik dan putus asa, ia memutuskan mengakhiri kehamilan itu. Hingga pintu rumah sakit terbuka, dan pria yang pernah ia tinggalkan muncul dengan tatapan membelenggu.
“Kau tidak akan menyentuh anak-anakku. Mulai sekarang, kau ikut aku!”
Sejak saat itu, hidup Serene tak lagi sama.
Dan ia sadar, kabur dari seorang konglomerat adalah keputusan terburuk yang pernah ia buat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Indriani_LeeJeeAe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8 > Di Ambang Kehilangan
Suara sirene itu semakin dekat. Serene berdiri kaku di depan pintu kamar, jemarinya masih menggenggam tali tas kecil. Detak jantungnya berpacu liar, seolah ingin meloncat keluar dari dadanya. Raiden sudah berada di sampingnya, kini... sorot matanya gelap dan penuh kewaspadaan, tatapan seorang pria yang terbiasa menghadapi ancaman.
“Apa yang terjadi?” tanya Serene dengan suara bergetar.
Raiden tidak langsung menjawab. Ia melangkah ke jendela, menyingkap tirai sedikit. Lampu-lampu biru dan merah berkilat di halaman depan rumah, memantul pada dinding marmer yang selama ini terlihat dingin dan aman. “Keamanan internal,” jawab Raiden akhirnya. “Bukan polisi.”
Serene menelan ludah. “Jadi… ini tentang apa yang kau katakan tadi?”
Raiden menoleh, menatapnya tajam. “Tentang anak-anak kita.”
Kalimat itu membuat tubuh Serene melemah seketika.
Raiden mendekat, meraih bahunya dengan hati-hati. “Aku butuh kau tenang.”
“Aku tidak bisa tenang kalau kau bicara setengah-setengah,” Serene berbisik. “Apa yang sebenarnya terjadi, Raiden?”
Raiden menghela napas panjang. Untuk pertama kalinya, Serene melihat keraguan nyata di wajah pria itu. Bukan keraguan bisnis, tapi ketakutan yang sangat manusiawi. “Ada pihak yang tahu kau hamil,” ucap Raiden rendah. “Dan mereka tidak hanya tahu… mereka menganggapnya sebagai celah.”
Serene membelalakkan mata. “Siapa?”
“Orang-orang yang tidak segan menghancurkan apa pun demi menjatuhkanku,” jawab Raiden. “Dan sekarang, mereka tahu caranya menyentuhku.”
Serene refleks memeluk perutnya. “Maksudmu… anak-anakku terancam?”
Raiden mengangguk pelan.
Hening menyelimuti ruangan, begitu pekat hingga napas mereka terdengar jelas. Serene merasa kakinya gemetar, namun ia memaksa dirinya berdiri tegak. “Dan kau baru memberitahuku sekarang?” tanyanya lirih.
“Karena baru malam ini aku mendapat konfirmasi,” jawab Raiden jujur. “Dan karena aku tidak ingin membuatmu panik sebelum aku punya solusi.”
Serene tertawa kecil, getir. “Terlambat.”
***
Beberapa menit kemudian, Raiden membawa Serene turun ke ruang bawah tanah rumah. Tempat yang selama ini tak pernah ia lihat. Pintu baja terbuka dengan sistem sidik jari dan pemindai retina. “Ini safe room,” jelas Raiden singkat. “Tidak ada yang bisa masuk tanpa izinku.”
Serene melangkah masuk dengan jantung berdegup keras. Ruangan itu nyaman, bahkan mewah, namun terasa seperti sangkar emas. “Apa ini artinya aku tidak boleh pergi?” tanyanya.
“Untuk sementara,” jawab Raiden. “Tidak.”
Serene menoleh tajam. “Raiden-”
“Aku tahu,” potongnya cepat. “Kau benci dikurung. Tapi ini bukan soal kendali. Ini soal keselamatan.”
Serene terdiam.
“Aku sudah menyiapkan tim medis khusus,” lanjut Raiden. “Dan pengamanan ekstra. Kau dan bayi-bayi itu tidak akan kekurangan apa pun.”
Serene memejamkan mata sesaat. “Selain kebebasan.”
Raiden tidak membantah.
***
Sementara itu, di sisi lain kota, sebuah mobil hitam berhenti di depan gedung tinggi berlogo Adrian Group. Aurelia Adrian turun dari mobil dengan langkah anggun. Senyumnya sempurna, gaunnya mahal, namun sorot matanya dingin. “Semua berjalan sesuai rencana?” tanyanya pada pria yang berdiri di sampingnya.
“Hampir,” jawab pria itu. “Varendra mulai gelisah.”
Aurelia tersenyum tipis. “Bagus. Pria seperti Raiden hanya membuat kesalahan saat emosinya disentuh.”
“Dan gadis itu?” tanya pria tersebut.
“Serene,” Aurelia mengucapkannya perlahan, seolah mengecap rasa pahit. “Ia akan menjadi titik lemah terbesarnya.” Aurelia melangkah masuk ke gedung dengan langkah mantap. Permainan baru saja dimulai.
***
Kembali ke kediaman Varendra, malam semakin larut. Serene duduk di ranjang kecil dalam safe room, memandangi tangannya sendiri. Raiden berdiri tak jauh darinya, seolah takut meninggalkannya sedetik pun. “Apa aku akan selalu hidup seperti ini?” tanya Serene pelan. “Bersembunyi karena aku mencintai pria yang salah?”
Raiden menoleh cepat. “Aku tidak pernah memintamu mencintaiku.”
Serene tersenyum pahit. “Tapi aku mencintaimu. Dan itulah kesalahanku.”
Raiden terdiam lama.
“Aku tidak tahu kapan perasaan itu tumbuh,” lanjut Serene lirih. “Mungkin sejak kau menghentikan aborsiku. Atau sejak kau mengatakan anak-anak itu milikmu. Atau mungkin… sejak aku melihat sisi rapuhmu.”
Raiden mendekat perlahan. “Serene…”
“Aku tidak menyesal,” potongnya. “Tapi aku takut.”
Raiden berlutut di depannya, menyamakan tinggi mereka. “Aku bersumpah, tidak ada seorang pun yang akan menyentuhmu.”
“Dan harga yang harus kau bayar?” tanya Serene.
Raiden menatapnya dalam. “Apa pun.”
Jawaban itu seharusnya menenangkan. Namun entah mengapa, justru membuat dada Serene semakin sesak.
***
Keesokan paginya, ketenangan semu pecah. Raiden sedang menerima laporan dari asisten kepercayaannya ketika alarm internal berbunyi nyaring. “Ada apa?” Raiden langsung berdiri.
“Upaya penyusupan ke jaringan keamanan,” jawab asistennya cepat. “Mereka mencoba melacak lokasi safe room.”
Raiden mengumpat pelan. “Perketat semua akses. Jangan ada yang tahu Serene ada di sini.”
Namun sebelum instruksi itu selesai dijalankan, layar monitor menampilkan satu pesan singkat: KAMI TAHU.
Serene yang berdiri di ambang pintu melihat wajah Raiden mengeras. “Apa itu?” tanyanya.
Raiden menoleh. “Mereka semakin berani.”
“Siapa mereka?” Serene menuntut.
Raiden menarik napas. “Orang-orang yang tidak akan berhenti sebelum aku menyerah.”
“Menyerah pada apa?” suara Serene meninggi.
Raiden menatapnya dengan sorot gelap. “Pada pernikahan.”
Serene membeku.
“Maksudmu…” napasnya tercekat.
“Aurelia,” jawab Raiden pelan. “Dan aliansi itu.”
Serene menggeleng. “Jadi benar. Aku dan anak-anakku hanya alat tawar.”
“Tidak!” Raiden mendekat cepat. “Kalian adalah alasanku melawan.”
“Tapi kau belum memilih,” Serene menatapnya dengan mata basah. “Dan sementara kau ragu… nyawa kami dipertaruhkan.”
Raiden terdiam.
Kata-kata itu menghantamnya lebih keras daripada ancaman bisnis mana pun.
***
Sore hari...
Serene duduk sendirian, menatap layar ponsel yang sengaja ia nyalakan. Tidak ada sinyal keluar. Tidak ada dunia di luar sana. Ia merasa seperti bayangan dari dirinya sendiri.
“Kalau begini terus,” bisiknya, “aku akan menghilang.”
Ia mengusap perutnya, merasakan gerakan kecil yang membuat matanya panas. “Ibu tidak boleh lemah.” Keputusan itu perlahan terbentuk di kepalanya... keputusan yang bahkan Raiden belum tahu.
***
Malam kembali turun. Raiden datang menemuinya dengan wajah letih namun tekad yang mengeras. “Aku akan mengadakan konferensi pers.”
Serene terkejut. “Untuk apa?”
“Untuk mengumumkan bahwa aku akan menikah.”
Kalimat itu menghancurkan udara di antara mereka. Serene tersenyum pahit. “Dengan Aurelia.”
Raiden mengangguk. “Itu akan menghentikan serangan.”
“Dan aku?” suara Serene hampir tak terdengar.
Raiden menggenggam tangannya. “Aku akan melindungimu… dalam diam.”
Serene menarik tangannya perlahan.
“Raiden,” ucapnya pelan namun tegas, “aku tidak ingin menjadi rahasia.”
Raiden terdiam.
“Aku ingin anak-anakku lahir dengan kepala tegak,” lanjut Serene. “Bukan sebagai bayangan.”
Keheningan panjang. Raiden menatap Serene, seolah baru menyadari sesuatu yang mengerikan... bahwa ia mungkin akan kehilangan wanita ini bukan karena musuh, melainkan karena pilihannya sendiri.
“Beri aku waktu,” katanya lirih.
Serene tersenyum tipis. “Waktu adalah satu hal yang tidak kita punya.”
Ia berdiri, melangkah menjauh. Dan di dalam hatinya, Serene sudah membuat keputusan. Keputusan yang bisa menyelamatkan anak-anaknya atau bahkan menghancurkan segalanya.
Di luar safe room, layar monitor kembali menyala. Satu pesan baru muncul: KIRIMKAN GADIS ITU. ATAU KAMI YANG AKAN MENJEMPUTNYA.
Raiden menatap layar itu dengan rahang mengeras. Dan tanpa Serene sadari, malam itu bukan hanya tentang memilih cinta atau kekuasaan, melainkan tentang siapa yang akan dikorbankan terlebih dahulu.
***
Menurut Kalian, langkah apa yang akan Raiden ambil?
silahkan berkomentar untuk meramaikan dan memberi support untuk author. Dukungan kalian sangat berarti bagi author.
Stay tune