"mbak meli ,besar nanti adek mau sekolah dikota smaa mbak "ucap lita yang masih kelas 1 SMP
" iya dek kuliahnya dikota sama mbak "ucap meli yang sudah menikah dan tinggal dikota bersama suaminya roni.
apakah persetujuan meli dan niat baiknya yang ingin bersama adiknya membawa sebuah akhir kebahagiaan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khozi Khozi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 8 kepulangan meli
"lita" panggil ibuk dari luar kamar tidak ada jawaban dari dalam
“Tu anak kenapa sih? Dari siang nggak keluar-keluar… heran ibuk,” gumamnya, heran,dia menyusul meli dan menantunya ada didepan
Dengan langkah agak cepat, Ibuk Yana menyusul ke depan, di mana Meli dan suaminya, Roni, sedang duduk.
“Mel, barangmu sudah beres semua?” tanya ibuk, mencoba tersenyum meski pikirannya masih melayang pada Lita.
“Udah, buk. Besok tinggal berangkat aja,” jawab Meli sambil merapikan tas di pangkuannya.
Ibuk Yana menarik napas panjang. “Mel… adikmu itu kenapa? Dari kemarin ibuk nggak lihat dia keluar kamar. Pulang sekolah langsung ngurung diri… ibuk jadi mikir macem-macem.”
Roni hanya terdiam. Dadanya terasa sesak. Sejak kemarin, Lita seolah menghindarinya, tak berani menatap, tak mau bertegur sapa—semenjak kejadian yang terus terbayang di kepalanya itu.
“Mungkin dia lagi belajar, buk. Kan sebentar lagi ujian,” jawab Meli, berusaha berpikir positif.
“Ya… semoga saja,” ucap Ibuk Yana, namun matanya masih menyimpan kerisauan. “Sudah, kalian istirahat. Besok pagi berangkat. Apalagi Roni—kalau kecapean, nanti di jalan ngantuk.”
“Kita ke kamar dulu ya, buk,” kata Meli sambil tersenyum tipis.
“Iya, ndok,” balas ibuknya.
Pagi harinya, Lita memberanikan diri keluar kamar. Wajahnya pucat, matanya sedikit bengkak. Ia menahan napas sebelum melangkah, mencoba menepis rasa canggung yang mencekik.
“Mbak… hati-hati ya. Nanti kabarin Lita kalau udah sampai kota,” ucapnya pelan sambil memeluk Meli erat-erat.
“Iya. Kamu juga, setelah ujian nanti mbak jemput. Sekarang fokus belajar dulu, ya,” pesan Meli, mengusap kepala adiknya lembut.
Lita mengangguk, tersenyum kecil. Namun matanya tak bisa menyembunyikan rasa gelisah yang ia simpan.
Dari kejauhan, ia melihat Roni sedang memasukkan koper ke bagasi mobil. Jantungnya berdegup lebih cepat.
Roni menghampiri. “Lit… mas pulang dulu. Sampai ketemu nanti,” ucapnya datar.
“Iya, mas,” jawab Lita lirih, tanpa berani mengangkat wajah.
“Buk, aku berangkat dulu,” kata Meli sambil mencium tangan ibunya.
“Iya, ndok. Hati-hati,” balas ibuknya.
Mobil pun melaju perlahan meninggalkan halaman. Udara terasa lebih sepi.
Lita menatap punggung ibunya sejenak, lalu berbisik, “Buk, aku juga mau berangkat sekolah dulu…” .
"iya, yang rajin belajarnya " pesan ibuk
"iya buk,doain lita" ucapnya
Langkah Lita terhenti ketika sebuah motor berhenti tepat di depannya.
Arya menurunkan kaca helm, menatapnya dengan tatapan yang sulit dibaca.
“Udah lama nungguin aku? Ayo naik,” ucap Arya pelan
Lita menggeleng sambil memalingkan wajah. “Aku nggak mau. Aku berangkat sendiri aja.”
Arya menahan napas, mencoba tetap sabar. “Kamu kenapa? Cerita deh. Aku ada salah, ya?”
Lita menelan ludah, matanya menatap ke arah lain. “Sana... kamu jemput aja cewek kamu.”
Dahi Arya langsung mengernyit. “Cewek? Cewek siapa, Lit?”
“Yang kemarin chat sama kamu,” jawab Lita cepat
Beberapa detik hening. Tatapan Arya berubah—ia mulai paham arah pembicaraan ini. Senyum tipis muncul di bibirnya.
“Kamu… cemburu, ya?” godanya, mencoba mencairkan suasana.
Lita langsung menepis. “Ya enggak lah. Ngapain aku cemburu?”
Arya mengangkat alis, tidak begitu percaya. “Kalau nggak cemburu, kemarin kenapa kamu menghindar?”
“Siapa juga yang menghindar? Perasaan kamu aja kali,” balas Lita cepat, meski suaranya terdengar ragu.
Arya menghela napas pelan. “Kemarin itu, Aji ngechat aku. Dia bilang ada pertandingan bola basket. Bukan cewek.”
Wajah Lita terasa panas. Malu. Kenapa tadi ia harus sensitif begitu?
Arya tersenyum kecil, lalu menepuk jok belakang motornya. “Udah, ayo naik. Malunya ditahan dulu.”
Tanpa berkata-kata, Lita melangkah mendekat. Tangannya meraih jaket Arya. Begitu motor mulai melaju, ada perasaan lega
Motor Arya sudah terparkir tepat di depan gerbang sekolah. Embun pagi masih menempel di joknya, udara dingin menusuk hidung.
“Pagi, Pak Sat,” sapa Arya sambil turun dari motor.
“Pagi juga, Nak Arya,” jawab satpam dengan senyum ramah, suaranya serak terkena udara pagi.
Arya berjalan pelan bersama Lita menuju kelas. Langkahnya terasa berat karena pikirannya tak tenang.
“Lit, mas lo udah balik ke kota?” tanyanya tiba-tiba. Nada suaranya datar, tapi matanya menyelidik. Ada rasa gelisah yang sulit ia sembunyikan.
“Udah, tadi pagi,” jawab Lita singkat sambil melirik sekilas, lalu kembali menatap ke depan.
“Kamu sama kakak ipar lo… gak ada apa-apa kan?” tanya Arya lagi, kali ini suaranya sedikit menurun tapi masih jelas didengar
Lita menoleh dengan kening berkerut. “Ada apa-apa gimana maksud lo?”
Arya menghela napas pelan. “Udahlah, lupain aja…” ucapnya sambil memalingkan wajah. Rasanya belum pantas membahas hal itu sekarang.
Ia mengubah topik. “Minggu depan ujian. Kita belajar bareng, gimana?”
Lita tersenyum tipis. “Iya, boleh.”
“Belajarnya di rumah lo aja,” sambung Arya tanpa berpikir panjang.
Tiba-tiba terdengar suara langkah cepat di belakang mereka.
“Arya! Lita! Tungguin!” seru seseorang.
Lita menoleh dan melihat Rian berlari kecil, napasnya sedikit terengah. Begitu sampai, ia langsung merangkul bahu mereka berdua dari tengah.
“Kalian berdua asik banget ngobrolin apa?” tanyanya sambil tersenyum penuh rasa ingin tahu.
Arya hanya melirik sekilas, lalu berkata singkat, “Gak penting. Jangan kepo.” Dalam hati, ia memberi kode ke Lita untuk tidak membuka pembicaraan mereka barusan—ia masih ingin punya waktu berdua dengannya.
Rian mengerucutkan bibir, pura-pura tersinggung. “Gitu amat sama temen…”
Arya terkekeh sinis. “Udah sana ke kelas lo. Anak unggulan gak boleh telat,” ledeknya sambil mendorong bahu Rian.
Rian terdiam sejenak, . “Kayak dibuang aja gue…” gumamnya sambil melangkah pergi. Sementara itu, Arya dan Lita melanjutkan langkah menuju kelas, meninggalkan Rian
“Selamat pagi semuanya,” suara Bu Nisa terdengar lantang saat memasuki kelas. Ia berdiri di depan, menatap murid-muridnya satu per satu. “Hari ini pembelajaran terakhir Bahasa Indonesia. Minggu depan kalian sudah ujian. Ibu harap kalian semua bisa lulus dengan nilai terbaik.” Nada suaranya tegas, tapi ada senyum tipis di bibirnya.
“Iya, Buk…” jawab sebagian murid, ada yang lesu, ada pula yang mencoba bersemangat.
Tiba-tiba Riko mengangkat tangan sambil menyeringai. “Bu, saya mau cepet-cepet nikah nih,” ucapnya bercanda, membuat beberapa teman langsung tertawa.
Bu Nisa menggeleng sambil tersenyum sinis. “Kerja dulu, Riko. Mau dikasih makan apa nanti anak kamu?” ucapnya sambil melipat tangan di dada.
“Pulang ke rumah masing-masing, Bu, kalau lapar,” jawab Riko cepat, disambut sorakan dan tepuk meja dari teman-temannya.
“Sudah, sudah… kalian ini ya!” Bu Nisa menepuk meja guru satu kali, membuat suasana sedikit tenang. “Ayo, kita mulai saja pembelajaran bab terakhir hari ini.”
“Iya, Bu…” serempak para murid menjawab. Ada yang menguap, ada yang menunduk sambil mencoret-coret buku, tapi ada juga yang duduk tegap, siap menyimak.