Queensa tak menyukai pernikahannya dengan Anjasmara. Meskipun pria itu dipilih sendiri oleh sang ayah.
Dijodohkan dengan pria yang dibencinya dengan sifat dingin, pendiam dan tegas bukanlah keinginannya. Sayang ia tak diberi pilihan.
Menikah dengan Anjasmara adalah permintaan terakhir sang ayah sebelum tutup usia.
Anjasmara yang protektif, perhatian, diam, dan selalu berusaha melindunginya tak membuat hati Queensa terbuka untuk suaminya.
Queensa terus mencari cara agar Anjasmara mau menceraikannya. Hingga suatu hari ia mengetahui satu rahasia tentang masa lalu mereka yang Anjasmara simpan rapat selama ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhammad Yunus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
"Njas, Paman jelasin! Tadi, aku ninggalin Queen sendiri di sini untuk nebus obat, balik-balik sudah ada pria ini." Ridwan menunjuk pada Affin, tentu saja ia merasa tak enak hati karena tingkah Queensa yang sudah sangat keterlaluan, buru-buru Ridwan menghubungi Anjasmara malah Queensa hubungi laki-laki lain.
"Paman, aku yang minta Affin datang." rupanya Queensa belum menyadari situasinya, perempuan itu berucap santai seolah tidak ada yang salah dengan tindakan sembrononya.
Napas Anjasmara terhenti sesaat, saat rungunya mendengar pengakuan istrinya. Seketika daya tariknya untuk menanyakan kondisi istrinya hilang. Anjasmara hanya diam seraya menghembuskan napas pelan menahan emosi yang bergejolak, tentu dia merasa sama sekali tidak dihargai oleh Queensa.
"Aku nggak kenapa-napa cuma tadi sedikit tegang dan membuat perutku keram hebat karena terkejut." Queensa memberanikan diri mengatakan kondisinya meski dengan menelan ludah yang terasa pekat saat mulai menyadari tatapan Anjasmara yang berbeda.
Anjasmara tak berkomentar. Ia hanya menatap Queensa dalam dan tegas.
"Sepertinya saya terlalu khawatir tadi, maaf Paman, saya pamit dulu."
Ucapan Anjasmara membuat kepala Queensa mendongak dan menatapnya takut.
Buru-buru Ridwan mengatakan keberatannya pada Anjasmara.
"Njas, aku nggak bisa jagain Queensa, tolong jangan tinggalkan dia seperti ini, dia butuh arahan." Pergerakan Anjasmara terhenti akibat perkataan Ridwan.
"Kenapa paman berpikir saya akan meninggalkan Queensa?" Anjasmara menatap lekat perempuan yang baru di sebut namanya, membuat sang empu ikut buka suara.
"Orang jelas-jelas kamu mau pergi barusan, tanpa basa-basi tanya keadaanku."
Kini tatapan Anjasmara tertuju pada Queensa semakin lekat.
"Memangnya kamu mau saya tetap disini? Bukankah sudah ada laki-laki yang paling kamu harapkan kehadirannya dibanding saya," Anjasmara menatap Queensa dengan satu alis yang naik.
Queensa mendengus kesal, "Tanggung jawabnya dong! Kamu sudah mengambil hidup dan masa depanku." Queensa tidak bisa menutupi wajah terganggunya akibat ucapan Anjasmara.
"Sekarang kamu maunya apa?" Sepertinya Anjasmara mulai kehilangan ketenangan dirinya, dalam kondisi capek fisik dia juga di tuntut capek pikiran akibat tingkah perempuan yang tak lain adalah istrinya sendiri.
"Aku...," ucapan Queensa di sela oleh Ridwan.
"Anjas, apakah kamu benci Queensa? Atas segala kesalahan yang dia ciptakan untukmu?"
"Tidak," Anjasmara menggeleng. "Selama kesalahan yang dia perbuat ada alasannya dan bisa termaafkan."
Anjasmara urung pergi, ia menarik pelan Queensa mendekat padanya lalu tangannya terulur mengelus perut istrinya.
Ridwan tersenyum lega, tapi beda dengan laki-laki lain yang masih berada di ruang yang sama.
Queensa melirik Anjasmara yang tak menunjukkan ekspresi apapun. Suaminya ini luar biasa datarnya. Queensa cuma tersenyum kaku. Berharap Affin tak cemburu.
Affin berkata bahwa masih ada keperluan dan segera pamit undur diri.
"Jangan pernah membuat hal yang berpotensi membuat suamimu marah," bisik Ridwan dan berhasil membuat nyali Queensa ciut seketika.
*******
"Tadi nggak di rumah waktu paman telpon?" Queensa bertanya saat mereka tengah dalam perjalanan pulang.
Pada akhirnya Queensa setuju pulang bersama Anjasmara. Bukan keinginan secara suka rela, tapi Ridwan berkata terus terang jika tidak mampu mengurusnya dalam keadaan seperti sekarang, selain Queensa sedang hamil, pria itu juga tidak memiliki pengalaman menjaga wanita.
"Ya," jawab Anjasmara singkat tanpa menoleh pandangannya yang fokus pada jalanan.
Queensa mendengus merasa diabaikan. "Ehm.. aku tadi tidak bermaksud menghubungi Affin hanya saja aku butuh...teman."
Anjasmara hanya melirik sebentar, sebelum berkata, " Apa bisa kita tidak membahasnya?"
"Kenapa?" tanya Queensa lirih.
"Saya tidak nyaman." Queensa mengerjap saat Anjasmara tiba-tiba menghentikan mobilnya.
"Tapi aku cintanya sama dia, kamu yang rebut aku dari dia, butuh waktu untuk aku bisa menerima pernikahan ini dan aku nggak suka dipaksa."
"Saya sudah berusaha untuk tidak mencari tau tentang hatimu yang masih mendamba pria lain, apa harus kamu perjelas seperti ini?!" tegas Anjasmara sambil memukul kemudi.
Queensa mengerjap menahan air mata yang seketika menggenang. Rupanya Anjasmara marah padanya. Padahal niatnya dia hanya ingin Anjasmara tahu seberapa berarti Affin untuknya selama ini. Air mata Queensa sudah menetes pelan. Napasnya mendadak sesak akibat emosi yang bercampur amarah.
"Jangan menangis. Tolong pahami keputusanku," pinta Anjasmara tegas.
"Tapi aku ingin kamu tau sebelum kamu datang, aku juga memiliki mimpi bisa menikah dengan pria yang kucintai." ucap Queensa mendebat.
"Sekarang saya sudah tau!"
"Nyebelin!" Queensa berteriak dihadapan suaminya. Anjasmara diam dan menatap Queensa dalam. Sedang dada Queensa naik turun mengontrol emosi yang mencuat tiba-tiba.
"Jangan emosi, ingat kamu sedang hamil, Queensa!" Anjasmara merengkuh istrinya dan berharap bisa memenangkan Queensa.
Perempuan itu menangis sesegukan, tangannya mencengkram kuat kaos suaminya, Anjasmara membiarkan. Pria itu sungguh berusaha agar tetap tenang menghadapi sikap istrinya yang kekanak-kanakan.
Suami mana yang tidak marah jika istrinya terus terang menginginkan laki-laki lain disaat sudah mengandung anaknya?
Anjasmara baru menjalankan mobilnya lagi setelah Queensa tenang, perempuan itu tertidur setelah lelah menangis. Mobilnya kembali membelah jalanan yang tampak senggang malam hari ini.
*******
Anjasmara membangunkan istrinya begitu mobilnya sampai di pekarangan rumahnya.
Queensa bangun dan segera turun memasuki rumah, di susul Anjasmara.
Queensa yang masih mengantuk langsung masuk ke dalam kamar untuk melanjutkan tidurnya. Tapi tiba-tiba dia tersadar jika ini adalah rumah suaminya. Spontan dia menoleh kebelakang, dan menemukan Anjasmara di ambang pintu.
"Kamu tak mengizinkan saya tidur disini?" tanyanya dingin yang seketika berhasil membekukan tulang dan darah Queensa.
Anjasmara menatap istrinya dengan binar mata yang kali ini tampak berbeda. Jika biasanya selalu ada kehangatan dan perhatian, kali ini tatapannya hanya ada dingin dan emosi bercampur kecewa pada tatapannya.
"Tenang saja!" ucap Anjasmara seraya melangkah memasuki kamar. " Saya tak akan meminta hak saya malam ini." kali ini, ucapan Anjasmara dengan telak berhasil menyentil perasaan Queensa. Entah mengapa, seketika ia merasa kecewa mendengar penuturan suaminya.
"Begitu marahnya sampai menyentuh ku pun kamu nggak sudi?" Napas Queensa terhenti sesaat kala rungunya mendengar pengakuan Anjasmara malam ini.
Anjasmara tak menjawab. Ia hanya menatap istrinya dalam dan tegas. Queensa mendengus dan mendudukkan bokongnya di bibir ranjang.
"Mengapa tiba-tiba bicara begitu?" Anjasmara membuat Queensa mendongak dan menatapnya kaget. "Apa yang kamu pikirkan Queensa? Kamu berharap saya menggaulimu sedangkan kamu baru saja keluar dari rumah sakit?"
"Aku nggak ngomong gitu!" kilah Queensa.
"Ya, Saya percaya! Karena kamu tentu tak sudi saya sentuh, segala yang sudah berlalu pasti kamu anggap segalanya adalah mimpi buruk!"
Eh?
#######
Semangatnya mana???
Ada yang nunggu cerita ini nggak???
Jangan lupa jejak cintanya untuk author dong!!
makanya gak usah sooook...
untung gak dicere
semoga Anjas menemukan perempuan yang tepat dalam hidupnya...
queensa ini gak kapok kapok lho ya ...
haddeuh 🤦♀️