**(anak kecil di larang mampir)**
Di tengah kepedihan yang membungkus hidupnya, Nadra mulai menjalani hari-hari barunya. Tak disangka, di balik luka, ia justru dipertemukan dengan tiga pria yang perlahan mengisi ruang kosong dalam hidupnya.
Arven, teman kerja yang selalu ada dan diam-diam mencintainya. Agra, pria dewasa berusia 40 tahun yang bersikap lembut, dewasa, dan penuh perhatian. Seorang duda yang rupanya menyimpan trauma masa lalu.
Dan Nayaka, adik Agra, pria dewasa dengan kepribadian yang unik dan sulit ditebak. Kadang terlihat seperti anak-anak, tapi menyimpan luka dan rasa yang dalam.
Seiring berjalannya waktu, kedekatan antara Nadra dan ketiga pria itu berubah menjadi lingkaran rumit perasaan. Mereka saling bersaing, saling cemburu, saling menjaga namun, hati Nadra hanya condong pada satu orang: Agra.
Keputusan Nadra mengejutkan semuanya. Terutama bagi Nayaka, yang merasa dikhianati oleh dua orang terdekatnya, kakaknya sendiri dan wanita yang ia cintai diam-diam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syahri musdalipah tarigan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
08. Kegelisahan
Setelah langkah ringan Nadra menghilang di ujung jalan, suasana terasa sepi sejenak. Nayaka berdiri diam di depan pintu rumahnya, napasnya masih berat, dada sesak, dan luka di sisi pelipisnya sesekali berdenyut. Dari belakang, suara langkah Agra terdengar pelan.
"Boleh masuk, kan?"
Nayaka menoleh pelan, mengangguk. "Iya, masuk aja."
Mereka masuk ke dalam. Rumah dua lantai itu memang tak terlalu besar, tapi tampak bersih, rapi, dan sunyi. Langkah Nayaka masih pelan dan agak tertatih, tapi tetap ia paksakan ke dapur kecil. Dari kulkas, ia mengambil sebotol air putih, lalu menuangkannya ke dua gelas kaca bening yang ada di meja.
Satu untuk dirinya, satu ia sodorkan ke Agra. "Maaf, cuma air putih. Lagi nggak semangat bikin kopi."
Agra mengambil gelas itu, tersenyum simpul. "Bagus malah. Air putih tuh sehat."
Setelah duduk, Nayaka bersandar. Wajahnya masih pucat. Tangannya mengusap pelipis, mencoba mengurangi pening yang menyerang sejak kecelakaan tadi.
"Ngomong-ngomong," gumam Nayaka tanpa menatap langsung, "sore-sore kayak gini, pasti bukan cuma mau minum air putih, kan?"
Agra menaruh gelasnya, menyandarkan punggung ke sofa. "Bukan. Tentu aja karena, Mama."
Nayaka menghela napas panjang, dan bisa ditebak, wajahnya langsung kecut.
"Nay," lanjut Agra pelan, "malam ini ada pertemuan keluarga. Mama ngajak kamu ikut."
"Nggak," jawab Nayaka cepat, suaranya datar.
"Dia berharap kamu bisa ketemu sama..."
"Aku bilang nggak," potong Nayaka lebih tajam. "Aku nggak tertarik ketemu kerabat, apalagi dijodohin. Udah cukup drama dari rumah itu."
Agra terdiam sebentar. Ia tidak ingin memaksa. Toh ia sudah hafal sifat adiknya yang satu ini, keras kepala, tapi selalu ada alasan kuat di baliknya.
"Oke," katanya akhirnya. "Aku cuma nyampein pesan. Kalau nanti Mama nanya, bilang aja aku udah ajak kamu."
Nayaka tidak menjawab. Ia hanya mengangguk pelan.
Agra berdiri, mengambil kunci mobil yang tadi diletakkannya di meja. "Oh ya, motor kamu udah gue bawa ke bengkel. Baret lumayan parah, tapi bisa dibenerin."
"Thanks," jawab Nayaka pelan.
Agra berjalan ke arah pintu, sempat menoleh kembali. "Dan soal kecelakaan tadi..."
Nayaka langsung menatap tajam, seolah tahu arah pembicaraan itu. "Nggak usah bilang Mama. Nggak usah lebay. Aku cuma luka dikit."
Agra tersenyum tipis, menenangkan. "Aku ngerti, Nay. Tapi tetap aja, dia ibumu." Sebelum keluar, Agra menepuk pelan pintu rumah dan berkata, "Istirahatlah."
Pintu tertutup. Rumah kembali hening. Nayaka hanya terdiam di kursi, memandangi gelas air yang belum sempat disentuhnya. Tangannya menyentuh pelipis, tapi pikirannya melayang. Bukan ke rasa sakit, melainkan ke tatapan polos mata Nadra, dan ucapan gadis itu di rumah sakit.
"Ibu selalu bilang, kalau nggak bisa bantu dengan uang, bantu dengan tenaga. Kalau nggak punya tenaga, kasih senyuman atau pelukan."
Nayaka tersenyum kecil. Lelahnya tetap ada, tapi kini tidak sepahit tadi.
^^^
Di dalam mobil hitam miliknya, Agra masih duduk diam. Mesin mobil menyala, tapi belum bergerak. Matanya menatap pintu rumah Nayaka yang kini kembali tertutup. Hening, hanya suara jam digital dashboard yang terus berdetak.
"Nadra, gadis itu." Agra menyender di kursi. Hatinya menggerutu dalam diam. "Apa dia cuma kebetulan nolong Nayaka? Tapi kenapa reaksi Nayaka begitu dingin, tapi nggak nyuruh pergi dari awal? Apa mereka kenal? Atau malah... Ada sesuatu?"
Agra mendesah berat. Kepalanya diputar ke arah kanan, menatap langit sore yang mulai gelap. "Aneh," gumamnya pelan. "Tapi hidup Nayaka emang selalu penuh kejutan."
Tak ingin lebih banyak menghabiskan waktu dengan spekulasi, Agra akhirnya memutar kemudi dan menekan gas. Mobil perlahan melaju, meninggalkan rumah Nayaka.
****
Sementara itu, di dalam sebuah angkot tua warna biru muda, Nadra duduk di pojok kiri baris belakang. Tangannya mencengkram uang selembar berwarna merah, sementara pandangannya lurus ke depan.
"Dasar pelit, ngasih duit seratus ribu untuk naik Gocar. Nggak mikir apa, duit segitu cukup atau tidak. Terus, dia tidak bertanya aku punya handphone atau tidak."
Pikiran Nadra terus berputar. Langkah kaki Nayaka, tatapan sinisnya, sampai senyuman Agra yang entah kenapa justru membuat jantungnya sedikit tidak tenang.
"Dan kenapa juga aku harus bertemu lagi sama pria aneh itu? Agra, tapi kenapa dia ada di rumah pria menyeramkan itu? Mereka, kakak-adik? Teman? Atau sesama musang pandan?"
Suara gerutunya pelan, tapi semakin lama semakin mengeras di dalam kepala, sampai akhirnya, "AARRRGGGHHH!!"
Sontak, semua penumpang di dalam angkot menoleh. Supir bahkan hampir salah injak pedal karena kaget.
Nadra langsung tersadar. Wajahnya memerah padam. "Ma-maaf! Aku bukan, bukan gila."
Ia menunduk dalam-dalam. Kedua tangan menutupi sebagian wajah. Sementara itu, dua ibu-ibu di bangku depan berbisik pelan.
"Kasihan, masih muda, cantik, tapi nggak waras."
Yang satu lagi menimpali sambil mengangguk, "Iya, stress kali ya. Banyak pikiran. Pasti ditinggal pacar."
Nadra menutup telinga pakai rambut panjangnya sendiri. Ingin menyatu dengan jok angkot dan tidak pernah keluar lagi.
"Aduh, mulut ini, bisa-bisanya lolos kayak tadi." Namun, di sela rasa malu dan kikuk itu, Nadra malah menyadari sesuatu. "Kenapa sih aku harus sebegini terpancing? Hanya karena dua orang cowok ane. Satu sok misterius, satu sok baik."
Nadra menghela napas panjang. Ia menatap jendela angkot, melihat jalanan padat yang mulai diselimuti senja. Langit tampak jingga, warna yang biasa ia benci, tapi entah kenapa hari ini terlihat sedikit lebih tenang.
"Sudahlah. Besok juga mungkin mereka udah lupa sama aku."
Kalimat itu ia ucapkan seperti doa, meski di lubuk hatinya yang terdalam. Ia tahu, pertemuan seperti tadi tak mungkin berlalu begitu saja.
Detik kemudian, angkot turun di tempat pemberhentian. Rumah Nadra masih separuh jalan, dan angkot yang dinaikinya tidak menuju ke rumahnya. Nadra membayar ongkos, kemudian ia berdiri di tempat tunggu, menunggu angkot yang menuju ke arah rumahnya.
Sambil menunggu, hatinya entah kenapa tiba-tiba merasa tidak nyaman. Bawah matanya selalu berkedut. Nadra mencoba menarik napas, sesekali ia juga memejamkan matanya itu, berharap bisa menghilangkan kegelisahannya. Kemudian, matanya terbuka mendengar suara klakson angkutan umum.
"Akhirnya," gumamnya melihat angkot berwarna hijau tosca berhenti di depannya.
Nadra pun naik, duduk di bangku paling depan. Hatinya benar-benar merasa gelisah, entak kenapa. Tapi rasa gelisah itu membuatnya teringat dengan Ibunya.
"Apakah ibu baik-baik saja?" gumamnya dalam hati.
Penumpang sudah naik semua. Begitu bangku terisi penuh, sopir melaju sedikit kencang melewati keramaian. Jalanan terlihat sedikit padat, dan bagian sisi lainnya macet para pekerja yang baru saja pulang. Suara klakson memekakkan telinga terdengar di mana-mana.
Nadra, ia tak memperdulikan itu. Antara lelah, dan banyak pikiran, semua bercampur jadi satu. Ia hanya bisa memandang orang-orang dari balik jendela angkutan umum.
...Bersambung.......
...Terima kasih atas dukungannya....