 
                            Bagi BIMA, kehidupan sebagai anak SMA adalah kesempatan kedua yang ia dambakan. Setelah tewas dalam sebuah perang surgawi yang brutal, menjadi manusia biasa dengan masalah biasa adalah sebuah kemewahan. Ia hanya ingin satu hal: kedamaian. Lulus sekolah, punya teman, dan melupakan gema pertumpahan darah yang pernah mewarnai keabadiannya.
Tetapi, SMA Pelita Harapan, sekolah elit tempatnya bernaung, bukanlah tempat yang normal. Di balik kemewahan dan prestasinya yang gemilang, sekolah ini berdiri di atas tanah dengan energi gaib yang bocor, memberikan kekuatan super kepada segelintir siswa terpilih.
ADHITAMA dan gengnya, sang penguasa sekolah, menggunakan kekuatan ini untuk memerintah dengan tangan besi, menciptakan hierarki penindasan di antara para siswa. Selama ini, Bima selalu berhasil menghindar dan tidak menarik perhatian.
Hingga suatu hari, sebuah insiden di kantin memaksanya untuk turun tangan. Dalam sekejap, ia tak sengaja menunjukkan secuil kekuatan dewa miliknya—kekuatan yang kuno, absolut, dan jauh berbeda dari kekuatan mentah milik Adhitama. Tindakannya tidak membuatnya disegani, melainkan menyalakan alarm di telinga sosok yang jauh lebih berbahaya: sang dalang misterius yang selama ini mengamati dan mengendalikan para siswa berkekuatan.
Kini, Bima terseret kembali ke dalam dunia konflik yang mati-matian ingin ia lupakan. Di hadapkan pada pilihan sulit: haruskah ia kembali membangkitkan dewa perang dalam dirinya untuk melindungi teman-teman barunya, atau tetap bersembunyi dan membiarkan kekuatan gelap menguasai satu-satunya tempat yang ia sebut rumah?
Karena kedamaian, ternyata, adalah kemewahan yang harus ia perjuangkan sekali lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 62maulana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan pertama di kandang
Aku tidak punya pilihan. Keputusan itu sebenarnya sudah dibuat untukku saat surat undangan itu diletakkan di meja konseling. Menolak berarti menunjukkan perlawanan, berarti mengakui bahwa aku punya sesuatu untuk disembunyikan. Menerima, di sisi lain, berarti berjalan sukarela ke dalam sarang serigala. Aku memilih opsi kedua. Setidaknya di dalam sarang, aku bisa melihat taring mereka dengan jelas.
Keesokan paginya, aku mengembalikan formulir yang sudah ditandatangani kepada Bu Rina. Wajahnya berseri-seri, seolah aku baru saja memenangkan lotre pendidikan. "Keputusan yang sangat bijak, Bima. Kamu tidak akan menyesal," katanya. Aku hanya memberinya anggukan singkat. Aku sudah menyesalinya bahkan sebelum aku menandatanganinya.
Atmosfer sekolah terasa berbeda, atau mungkin akulah yang berbeda. Saat aku berjalan menyusuri koridor utama yang ramai, aku merasakan riak-riak kecil di lautan siswa. Tatapan mereka. Beberapa penuh rasa ingin tahu, yang lain dipenuhi rasa takut. Gosip tentang Raka yang kutemui di toilet rupanya telah menyebar seperti wabah, bermutasi menjadi berbagai versi cerita yang dilebih-lebihkan. Aku mendengar bisikan-bisikan saat aku lewat: "...hanya dengan satu tangan...", "...dindingnya sampai retak...", "...matanya menyala...". Aku benci menjadi pusat perhatian. Perhatian adalah hal terakhir yang dibutuhkan seseorang yang ingin dilupakan.
Adhitama dan gengnya adalah yang paling terpengaruh. Aku melihat mereka berkumpul di dekat tangga. Tidak ada lagi tawa arogan atau postur dominan. Saat mata Adhitama secara tidak sengaja bertemu dengan mataku, ada kilatan amarah yang cepat di sana, tetapi ia segera membuang muka dan menggiring teman-temannya pergi. Mereka menghindariku. Pesan telah diterima dengan baik, tetapi aku tahu ini hanya kemenangan sementara. Seekor ular yang dipukul akan mundur ke sarangnya, bukan untuk menyerah, tetapi untuk merencanakan serangan berikutnya.
Dan Sari. Aku bisa merasakan tatapannya sepanjang pelajaran pertama. Aku duduk tiga baris di depannya, tetapi aku tidak perlu berbalik untuk tahu. Rasanya seperti dua jarum halus yang terus-menerus menekan bagian belakang leherku. Itu bukan lagi tatapan pengintai yang penasaran. Ini adalah tatapan seorang ahli yang sedang mengukur spesimen baru. Menganalisis, membedah, mencari titik lemah. Itu jauh lebih meresahkan daripada serangan fisik mana pun.
Saat bel pulang sekolah berbunyi, dentingannya terdengar seperti lonceng ronde pertama dalam sebuah pertarungan. Aku mengirim pesan kepada Rio: 'Ada kegiatan klub mendadak. Pulang duluan aja.' Kebohongan itu terasa pahit di lidahku. Setiap interaksi normal yang kumiliki terasa semakin rapuh, terancam oleh dunia lain yang terus-menerus menarikku kembali.
Aku sengaja menunggu lima belas menit, membiarkan gedung sekolah menjadi sunyi sebelum berjalan menuju sayap gedung utara. Menuju lantai empat. Menuju Ruang Serbaguna.
Ruangan itu persis seperti yang kubayangkan: terisolasi dan fungsional. Lebih mirip dojo pribadi daripada fasilitas sekolah. Lantai matras abu-abu yang padat menutupi seluruh permukaan, menyerap suara langkahku. Dindingnya dicat putih bersih, kosong, seolah sengaja dibuat agar tidak ada tempat untuk bersembunyi. Jendela-jendela besar di satu sisi dilapisi kaca film hitam pekat. Cahaya bisa masuk, tapi tak seorang pun di luar bisa melihat ke dalam. Kandang yang sempurna.
Aku bukan yang pertama tiba. Di salah satu sudut, Adhitama, Raka, Doni, dan Sari sudah berkumpul. Mereka semua mengenakan pakaian olahraga yang seragam—kaus hitam polos dan celana training abu-abu. Mereka tampak seperti satu unit, sebuah tim. Mereka mengobrol dengan suara pelan, tetapi postur mereka mengatakan segalanya. Mereka adalah pemilik tempat ini.
Di sudut yang berlawanan, dua siswa lain berdiri dengan canggung, jelas sama sepertiku: rekrutan baru. Seorang anak laki-laki kurus berkacamata tebal terus menerus menyeka telapak tangannya yang berkeringat ke celananya. Di sebelahnya, seorang gadis berambut panjang hanya berdiri diam, memeluk tasnya erat-erat seolah itu adalah satu-satunya pelampung di lautan hiu.
Keheningan pecah oleh suara pintu yang terbuka dengan pelan, diikuti oleh derap langkah yang tenang dan berwibawa. Pak Tirtayasa masuk.
Dia juga mengenakan pakaian olahraga yang sama, yang anehnya justru membuatnya tampak lebih berkuasa. Tanpa setelan jas formalnya, tidak ada lagi penghalang antara dirinya yang asli—seorang manipulator ulung—dan kami, bidak-bidaknya.
"Selamat sore semua," sapanya, suaranya yang dalam bergema di ruangan yang sunyi. Matanya yang tajam menyapu setiap wajah, berhenti sepersekian detik lebih lama saat mendarat di wajahku. Ada kilatan geli di sana, seolah dia menikmati pemandangan mangsa yang masuk perangkapnya sendiri. "Selamat datang di pertemuan pertama Program Pengembangan Potensi angkatan kedua."
Dia berjalan ke tengah ruangan, memposisikan dirinya sebagai pusat dari alam semesta kecil ini. "Lupakan status kita di luar ruangan ini. Di sini, kita bukan guru dan murid. Kita adalah sebuah keluarga. Sebuah unit elit. Misi kita sederhana: mengasah 'bakat' terpendam kalian untuk memastikan SMA Pelita Harapan tetap menjadi yang teratas, dalam segala hal."
Aku tahu persis apa yang dia maksud dengan 'segala hal'.
"Kita mulai dengan perkenalan dari anggota baru kita," katanya, memberi isyarat ke arah kami. "Sebutkan nama, dan jelaskan secara singkat 'bakat' yang membuat kalian terpilih. Kamu dulu."
Anak laki-laki berkacamata itu tampak seperti akan pingsan. Dia maju selangkah dengan ragu. "Sa-saya Aris, Pak," suaranya bergetar. "Bakat saya... saya bisa melihat jejak termal. Jejak panas yang ditinggalkan oleh sentuhan atau langkah kaki. Tapi jejaknya cepat pudar."
Sebuah kemampuan pelacakan. Sangat berguna untuk pengintaian. Pak Tirtayasa mengangguk puas.
Gadis berambut panjang itu berikutnya. Dia berbicara dengan suara nyaris berbisik. "Laras. Saya bisa menciptakan perisai energi kecil. Cukup untuk menghentikan benda kecil yang dilempar. Tidak lebih."
Kemampuan defensif. Lemah, tapi berpotensi.
Kemudian, semua mata beralih kepadaku. Tatapan Adhitama penuh dengan kebencian. Tatapan Sari penuh dengan rasa ingin tahu yang dingin. Dan tatapan Pak Tirtayasa... itu adalah tatapan seorang ilmuwan yang akan memulai eksperimen yang menarik.
"Bima," kataku, menjaga suaraku tetap datar. "Bakatku adalah kekuatan fisik. Aku sedikit lebih kuat dari orang biasa."
Aku sengaja membuatnya terdengar biasa saja. Itu adalah kebenaran, tetapi bukan keseluruhan kebenaran. Kekuatan seorang dewa perang dibandingkan dengan manusia biasa bukan hanya 'sedikit lebih kuat'. Itu adalah perbedaan antara samudra dan sebuah gelas air.
Pak Tirtayasa tersenyum tipis. Senyum yang tidak mencapai matanya. "Aku mengerti. 'Sedikit lebih kuat', ya? Kita akan punya banyak waktu untuk mengukur definisi 'sedikit' itu."
Dia bertepuk tangan sekali, suaranya tajam. "Cukup teorinya. Program ini adalah tentang aplikasi praktis. Sesi pertama ini adalah 'latihan pemanasan'. Para senior akan mendemonstrasikan kemampuan mereka, dan para junior akan belajar dengan cara meresponsnya."
Perutku terasa menegang. Ini dia. Momen yang kutunggu sekaligus kukhawatirkan.
"Doni," panggil Pak Tirtayasa.
Doni, si raksasa di geng Adhitama, melangkah maju dengan seringai buas. Dia meretakkan buku-buku jarinya yang besar. Aku ingat dia dari lapangan basket. Tipe yang memecahkan masalah dengan otot.
"Seperti yang mungkin sudah kalian duga, bakat Doni juga berkaitan dengan kekuatan," jelas Pak Tirtayasa. "Tapi dengan sedikit sentuhan unik. Dia bisa mengeraskan properti fisik dari objek non-organik yang disentuhnya, membuatnya sepadat dan sekeras baja tempa."
Untuk mendemonstrasikannya, Doni mengambil sebuah tongkat kendo dari rak di dinding. Dia menggenggamnya dengan kedua tangan. Aku merasakan gelombang energi yang kasar dan mentah mengalir darinya, menyelimuti bambu itu. Dia kemudian menghantamkan tongkat itu ke sebuah tiang penyangga baja di sudut ruangan.
DENTANG!
Suaranya bukan seperti bambu yang patah, melainkan seperti dua batang rel kereta yang beradu. Tongkat bambu itu tidak penyok sedikit pun, tetapi tiang baja itu... tiang baja itu penyok cukup dalam.
Aris dan Laras tersentak ngeri. Bahkan aku pun sedikit terkesan dengan kekuatan mentahnya.
Pak Tirtayasa tampak sangat puas. Dia menoleh ke arahku, dan senyumnya menghilang, digantikan oleh ekspresi seorang wasit yang akan memulai pertandingan.
"Bima. Mengingat bakatmu juga 'kekuatan', kurasa tidak ada pasangan yang lebih cocok untuk sesi pemanasan pertama ini selain kamu dan Doni. Anggap ini sebagai cara bagi kita semua untuk saling mengenal lebih baik."
Ini bukan permintaan. Ini adalah eksekusi yang direncanakan. Adhitama menyeringai, tidak berusaha menyembunyikan kepuasannya. Raka dan Sari menonton dengan antisipasi. Mereka akan melihatku dihancurkan.
Doni berjalan ke tengah matras, memutar lehernya hingga berbunyi krak. "Jangan takut, anak baru," ejeknya. "Ini cuma pemanasan. Gue janji bakal pelan-pelan."
Aku melangkah maju tanpa kata, mataku terkunci pada Doni. Seluruh ruangan terasa vakum. Aku bisa merasakan tatapan Aris dan Laras yang dipenuhi ketakutan, tatapan Sari yang menganalisis setiap gerakanku, dan tatapan Pak Tirtayasa yang menusuk, lapar akan data.
Permainan telah dimulai. Dan aku adalah bidak pertama yang diadu.