Sejak kecil, Anul hanya dikenal sebagai anak yatim piatu tanpa asal-usul yang hidup di sebuah desa kecil. Tubuhnya tak pernah terluka meski dihajar, senyumnya tetap hangat meski dirundung.
Namun, siapa sangka di balik kesederhanaannya tersimpan rahasia besar?
Darah yang mengalir di tubuhnya bukanlah darah manusia biasa. Takdir telah menuliskan namanya sebagai pewaris kekuatan yang mampu mengguncang langit dan bumi.
Dari anak yang diremehkan, Anul akan melangkah menuju jalan bela diri, mengalahkan musuh-musuh kuat, hingga akhirnya menaklukkan Sepuluh Ribu Semesta.
Perjalanan seorang yatim piatu menuju takdir yang tak bisa dihindari pun dimulai!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr.Employee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jalan Tubuh Jiwa Semesta
Dalam keheningan pertapaannya, Anul terputus dari dunia luar—menyatu dengan semesta. Segala hiruk pikuk desa, riuh angin, bahkan degup jantungnya sendiri, seolah lenyap ditelan ruang hampa yang diselimuti keheningan tak berujung. Yang ada hanyalah dirinya, duduk tanpa ada apapun di dalam kegelapan.
Di tengah kekosongan itu, ada sesuatu yang terus mengusik. Samar, berulang, bergema dari kedalaman pikiran di kepalanya.
“Teknik Tubuh Jiwa Semesta.”
Anul mengerutkan kening. Seharusnya ia sudah berhasil mengosongkan diri sepenuhnya, tapi kata-kata itu tetap saja muncul. Ia terus mencoba menyingkirkannya, berulang kali, namun semakin ia berusaha mengabaikan, semakin kuat gema itu menghantam kesadarannya.
Anehnya, meski pikirannya terganggu, ia tidak terusir dari kondisi menyatu dengan semesta.
“Ini… aneh,” batinnya.
Dorongan rasa ingin tahu akhirnya mengalahkan niat awalnya untuk mengabaikan. Ia pun menajamkan fokus, memusatkan seluruh kesadaran pada empat kata itu. Seketika, bagaikan bendungan yang jebol, arus deras informasi meluap dan menghantam benaknya tanpa ampun. Membanjiri seluruh kepalanya, memberikan rasa nyeri yang hampir tidak tertahan.
Gambaran demi gambaran melintas dalam pikirannya: tubuh-tubuh berotot yang ditempa hingga sekeras baja, jiwa-jiwa bercahaya yang menembus batas persepsi, dan pusaran tenaga dalam yang berputar di pusat tenaga dalam, bagaikan samudra kecil di dalam tubuh manusia.
Dalam dunia bela diri, kekuatan terbagi atas tiga jenis: fisik, tenaga dalam, dan jiwa.
Mayoritas pendekar hanya sanggup menempuh satu atau dua jalan. Jalan itu, entah disadari atau tidak, akan menentukan profesi sekaligus takdir hidup mereka selanjutnya.
Mereka yang mengutamakan fisik kerap berakhir sebagai petani, prajurit, atau penambang—orang-orang yang mengandalkan kekuatan tubuh dalam kerja keras dan pertempuran.
Mereka yang menajamkan jiwa bisa menjadi peramal, penasehat istana, bahkan penjudi ulung—pekerjaan yang menuntut persepsi dan mental sekuat baja.
Sementara tenaga dalam, jalan paling berbahaya, hanya bisa ditempuh jika ada fondasi fisik maupun jiwa yang kokoh. Tanpa keduanya, tubuh akan hancur sebelum mencapai puncak.
Mereka yang mampu memadukan dua jalur jenis kekuatan, mendapat posisi lebih tinggi: tabib yang bisa menyehatkan sekaligus meracik ramuan, pemburu yang sanggup menundukkan binatang buas, atau petualang yang menjelajahi negeri tanpa takut akan ancaman.
Namun di atas semua itu, ada segelintir pendekar yang menempuh ketiganya sekaligus. Para legenda, para tokoh yang jalannya tidak bisa diprediksi oleh siapapun.
Arus informasi berikutnya membuat Anul tertegun.
Teknik Tubuh Jiwa Semesta.
Sebuah teknik berlatih, bukan jurus bertarung. Justru ia adalah fondasi dari segala kekuatan. Tanpa fondasi, jurus sehebat apapun hanyalah kembang api—indah sesaat, lalu padam.
Teknik ini terbagi dalam tiga tahap:
Penyempurnaan Fisik.
Penempaan Jiwa.
Pemuncakan Tenaga Dalam.
Keistimewaannya terletak pada karakter otomatis yang dimilikinya: sekali diaktifkan, ia akan berjalan terus tanpa harus diulang-ulang dalam ritual rumit. Namun, untuk mempelajarinya ada syarat yang mustahil dipenuhi oleh hampir semua orang—pendekar yang melatihnya harus dilahirkan dengan Tubuh Jiwa Sepuluh Ribu Semesta.
Tubuh bawaan yang begitu langka, bahkan dalam puluhan ribu tahun mungkin hanya ada satu yang terlahir dengan kondisi tubuh dan jiwa tersebut.
Dan di detik itu, Anul sadar, dirinyalah orang itu.
Arus pengetahuan itu menunjukkan tingkatan dalam pencapaian penempaan tubuh:
Tubuh Manusia
Tubuh Binatang Buas
Tubuh Tanpa Noda
Tubuh Tembaga
Tubuh Perak
Tubuh Emas
Tubuh Sempurna
Anul menarik napas panjang. Jika informasi itu benar, tubuhnya kini seharusnya sudah berada di tahap Tubuh Perak.
Tetapi ada yang lebih mengejutkan: teknik tahap pertama tidak bisa diaktifkan sendiri.
Seseorang harus memanipulasi miliaran sel di tubuhnya dengan tenaga dalam dan kekuatan jiwa yang luar biasa. Proses itu menghancurkan sel-sel tubuh sebelum membentuk ulang, menimbulkan rasa sakit yang mustahil ditanggung manusia biasa.
Anul merinding. Siapa yang sanggup melakukan itu padanya?
Hanya satu kesimpulan yang masuk akal—orang itu pasti mengenal orang tuanya. Bahkan mungkin salah satu dari mereka sendiri.
Samar-samar ia teringat pada sosok dalam mimpinya, wajah buram yang menatapnya dengan mata penuh rahasia. Anul ingin mencari jawabannya, tapi cepat sadar: merenungi masa lalu takkan menguatkan dirinya sekarang.
Anul menggertakkan gigi ketika informasi tahap kedua muncul.
Caranya sederhana sekaligus gila, menghancurkan jiwa sendiri, lalu membentuknya kembali.
Setiap siklus penghancuran dan pembentukan ulang melipatgandakan kekuatan jiwa. Untuk menyelesaikannya dibutuhkan tepat sepuluh ribu siklus penuh.
“Sepuluh ribu…” bisiknya. Angka itu terdengar seperti candaan dari dewa.
Namun, rasa gentar segera digantikan oleh tekad yang kokoh. Jika ia ditakdirkan dengan tubuh langka ini, ia tidak boleh berhenti di tengah jalan begitu saja.
Ia menutup mata, menyalurkan kekuatan jiwanya, lalu menghantamkan energi itu ke inti jiwanya sendiri.
Srak!
Rasa sakit yang menghantam tidak bisa digambarkan dengan kata-kata. Seolah tubuhnya dilempar ke kawah api, dibakar tanpa henti, sementara kepalanya dihantam ribuan palu baja.
Anul memekik tanpa suara.
Namun ketika rasa sakit mereda, ia mendapati jiwanya sama sekali tidak retak.
“Tidak cukup…” desisnya. Ia mencoba lagi, lebih kuat, lebih nekat. Tetap gagal. Hanya ada penambahan rasa sakit.
Keringat membanjiri tubuhnya, meski ia tidak sedang melakukan gerakan fisik.
Putus asa hampir menelannya, sampai sebuah ide muncul: Bagaimana jika tidak dihancurkan sekaligus?
Ia pun mencoba mengikis jiwanya sedikit demi sedikit.
Kali ini, berhasil. Sebagian kecil jiwanya runtuh, meninggalkan rasa sakit yang tetap luar biasa, tapi masih dalam batas kemampuannya untuk bertahan.
“Berhasil…” suaranya serak, hampir tak terdengar.
Waktu merayap tanpa suara. Dua jam berlalu, jiwa Anul baru terkikis seperdua puluh. Masih jauh dari satu siklus penuh.
Kebahagiaan yang sebelumnya ia rasakan itu pudar dengan cepat. Untuk mengikis seperdua puluh bagian saja ia butuh waktu berjam-jam.
"Jika dihitung, maka satu proses penghancuran jiwa saja sudah memakan waktu sekitar dua hari penuh—belum lagi proses pembentukan ulang. Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk sepuluh ribu siklus penuh?"gumamnya lirih, "Puluhan tahun? Ratusan tahun?"
Anul menunduk, menggenggam lututnya, tubuhnya gemetar. Putus asa melingkupi dirinya, tapi hanya sebentar. Ia mengangkat kepala, menatap ke kegelapan ruang hampa yang tak berujung.
“Jika aku menyerah sekarang, semua ini akan sia-sia. Lebih baik mati dalam latihan daripada hidup tanpa tujuan.”
Ia pun kembali memejamkan mata, membiarkan rasa sakit merambati jiwanya. Setiap kikisan adalah penderitaan, namun sekaligus langkah kecil menuju kekuatan yang tak terbayangkan.
Di tengah penderitaan itu, sorot matanya semakin tajam. Ia tahu, jalan yang ditempuhnya adalah jalan panjang tanpa kepastian. Tapi ia juga tahu, setiap tetes rasa sakit yang ia telan adalah batu pijakan menuju takdir yang lebih besar.
Di ruang hampa itu, seorang pemuda duduk tegak, tubuhnya gemetar, wajahnya pucat, namun semangatnya berkobar.
Anul telah memilih jalannya, jalan Tubuh Jiwa Semesta.