NovelToon NovelToon
KARENA MEMBUKA MATA BATIN

KARENA MEMBUKA MATA BATIN

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Iblis / Mata Batin / Kutukan / Tumbal
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: Archiemorarty

JANGAN ABAIKAN PERINGATAN!

Sadewa, putra seorang pejabat kota Bandung, tak pernah percaya pada hal-hal mistis. Hingga suatu hari dia kalah taruhan dan dipaksa teman-temannya membuka mata batin lewat seorang dukun di kampung.

Awalnya tak terjadi apa-apa, sampai seminggu kemudian dunia Dewa berubah, bayangan-bayangan menyeramkan mulai menghantui langkahnya. Teror dan ketakutan ia rasakan setiap saat bahkan saat tidur sekali pun.

Sampai dimana Dewa menemukan kebenaran dalam keluarganya, dimana keluarganya menyimpan perjanjian gelap dengan iblis. Dan Dewa menemukan fakta yang menyakiti hatinya.

Fakta apa yang Dewa ketahui dalam keluarganya? Sanggupkah dia menjalani harinya dengan segala teror dan ketakutan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 7. HILANG

Senja selalu membawa luka yang tak bisa dijelaskan oleh Sadewa. Ada sesuatu yang ganjil, sebuah ketakutan yang menggeliat di balik cahaya keemasan yang perlahan meredup, seakan-akan warna oranye yang melukis langit bukan pertanda indah, melainkan penanda dimulainya neraka yang menunggu.

Dewa duduk di pojok kamarnya, tubuhnya merapat ke dinding, lutut dipeluk erat, keringat dingin menetes dari pelipis. Di luar jendela, langit memerah, membakar cakrawala dengan warna pekat seperti darah yang baru saja ditumpahkan. Burung-burung kembali ke sarang, suara mereka bukan lagi terdengar menenangkan, melainkan seperti teriakan peringatan, seolah berkata: "Berlindunglah ... waktumu hampir habis."

Jantung Dewa berdetak tak karuan. Malam belum sepenuhnya turun, tapi teror sudah mulai menjalar. Napasnya pendek-pendek, sesak, seperti ada tali tak kasatmata yang mencekik lehernya perlahan. Ia tahu, sebentar lagi semuanya akan datang lagi. Sosok-sosok itu. Bisikan itu. Tatapan kosong dari mata yang tak seharusnya ada di dunia ini.

Semua selalu datang pada saat yang sama, ketika matahari menyerah, dan kegelapan mulai menelan cahaya.

Bayangan pertama muncul di pojok ruangan. Samar, lalu semakin jelas. Sebuah wajah pucat dengan mata kosong, mulut terkunci rapat, hanya menatap Dewa tanpa berkedip. Sadewa memejamkan mata, mencoba mengabaikan, tapi semakin ia menutup mata, semakin banyak suara berdesis mengelilinginya.

"Kau milik kami ...."

"Kau diberikan untuk kami ..."

“Ayo ikut kami ...."

Dewa menutup telinga dengan kedua tangannya, tapi suara itu tetap menembus, seperti langsung ditanamkan ke dalam kepalanya. Napasnya tercekat. Air matanya mulai turun, bukan lagi karena takut, tapi karena keputusasaan.

Ketukan keras menggema di dinding kamarnya, duk! duk! duk! seperti seseorang menghantam dengan kepala, berulang kali, hingga retakan kecil muncul. Tubuh Dewa bergetar. Ia tahu, tak ada seorang pun di sana, tak mungkin ada. Semua itu hanya untuk membuatnya menyerah.

Namun suara itu nyata. Terlalu nyata.

Bayangan lain muncul di samping kasur, sosok perempuan berambut panjang, wajahnya hancur seperti kaca pecah. Ia merangkak pelan, menyeret tubuhnya mendekati Sadewa. Bunyi krek ... krek ... dari sendi patah terdengar setiap kali ia bergerak.

"Tidak ... jangan," bisik Dewa parau, tubuhnya semakin terhimpit di pojok ruangan.

Tapi sosok itu makin dekat, tangannya terulur, jari-jarinya panjang, kuku menghitam, seperti siap merobek wajahnya.

Di sudut lain, bayangan tubuh menggantung muncul. Satu, dua, tiga ... semakin banyak. Semuanya terayun-ayun, dengan wajah membiru, lidah terjulur, mata melotot menatap Dewa. Suara tali yang berdecit perlahan seperti lagu kematian, menambah tekanan pada dadanya.

Sadewa mulai meronta, memukul dinding di belakangnya sambil berteriak.

"HENTIKAN! JANGAN LAGI! AKU NGGAK KUAT!"

Namun, tidak ada yang berhenti. Semakin ia berteriak, semakin keras suara-suara itu.

Langit di luar jendela sudah berubah ungu pekat. Senja mati, dan gelap mengambil alih.

Dan saat itu, Sadewa pecah. Ia tak lagi bisa melawan. Ia tak lagi bisa berpura-pura kuat. Air matanya jatuh deras, tubuhnya gemetar tanpa henti. Ia memeluk dirinya sendiri, menggigil, suaranya pecah lirih.

"Kenapa aku ... kenapa aku harus melihat semua ini ... aku tak sanggup lagi ..."

Tiba-tiba ...

Kreak!

Pintu kamarnya terbuka.

Sadewa terdiam, matanya membelalak. Di ambang pintu berdiri dua sosok laki-laki. Yang satu tinggi menjulang, tegap, sorot matanya tajam namun entah kenapa menenangkan. Satunya lebih pendek, wajahnya muda, namun auranya ganjil, terlihat biasa, tapi ada sesuatu yang tidak biasa darinya.

Keduanya menatap kamar yang penuh dengan kengerian itu, lalu salah satu dari mereka bersuara. Suaranya berat, penuh wibawa, memecah kegaduhan gaib itu seperti belati menembus tirai kabut.

"Pergi kalian semua!"

Dan dalam sekejap, kamar itu berubah. Semua sosok lenyap. Semua suara bisikan menghilang. Wajah-wajah mengerikan, tubuh tergantung, ketukan di dinding, hilang seperti debu tertiup angin.

Hening.

Sungguh hening.

Sadewa masih gemetar, matanya membelalak tak percaya. Baru saja neraka mengepungnya, kini semuanya sunyi.

Kedua laki-laki itu melangkah masuk. Mereka menutup pintu, lalu berlutut di depan Sadewa. Tatapan mereka tidak menilai, tidak menghakimi, melainkan penuh pengertian.

Salah satu dari mereka tersenyum tipis, lalu berkata dengan suara yang hangat, namun juga mengandung sesuatu yang sulit dijelaskan.

"Kamu aman sekarang, Dewa. Kami tahu apa yang kamu lihat ... karena kami juga bisa melihatnya," kata pria bertubuh tinggi itu.

Sadewa masih memeluk dirinya sendiri. Tubuhnya gemetar seperti daun dihempas angin. Air matanya menetes tanpa bisa ia kendalikan, pipinya basah, suaranya tercekat. Matanya terpaku pada dua sosok itu, mereka begitu nyata, berbeda dari semua bayangan yang ia lihat selama ini.

Biasanya, apa pun yang muncul di hadapannya selalu membawa kengerian. Namun kali ini, entah mengapa, meski asing dan misterius, keberadaan mereka tidak membuat jantungnya meledak oleh rasa takut. Justru ada sedikit rasa hangat yang merayap ke dalam dadanya, seperti bara kecil di tengah kegelapan.

Dewa berusaha bicara, suaranya bergetar:

"Si-siapa kalian?"

Yang lebih tinggi menatapnya dalam-dalam. Matanya tajam, namun bukan tajam yang menusuk, melainkan menembus lapisan gelap yang menyelubungi Sadewa. Ia menghela napas pelan, lalu menjawab, "Kami ... sama sepertimu. Kami bisa melihat mereka. Kami tahu apa yang kau alami, Dewa."

Kata-kata itu membuat dada Sadewa seolah diremas. Selama ini ia merasa sendirian. Terjebak dalam dunia yang tak seorang pun mengerti. Bahkan ibunya, bahkan ayahnya, bahkan siapa pun di rumah itu, semua hanya bisa memandangnya dengan tatapan kasihan atau marah. Tidak ada yang benar-benar paham.

Dan sekarang, dua orang asing ini berdiri di hadapannya, mengucapkan kalimat yang selama ini ia butuhkan.

"Kalian bisa melihat mereka juga?" Dewa mengulang, seolah takut jawaban itu hanya halusinasi belaka.

Yang lebih muda mengangguk pelan. Wajahnya terlihat lembut, senyumnya tipis, namun di balik itu ada guratan letih yang dalam, seakan ia sudah terlalu lama menanggung beban yang sama. "Ya, Dewa. Semua yang kamu lihat ... kami juga melihatnya. Semua suara, semua bisikan, semua wajah yang menghantui ... kami hidup dengan itu."

Dewa tercekat. Sejenak ia membeku, lalu histeris. Tangisnya pecah lebih keras, bukan lagi sekadar karena takut, tapi karena lega, karena akhirnya ia tidak sendirian. Ia menunduk, menutupi wajah dengan kedua tangannya, suaranya parau.

"Kenapa aku? Kenapa mereka terus datang padaku? Aku ... aku cuma ingin hidup normal, aku takut ... aku benci semua ini… aku benci diriku sendiri!" ujar Sadewa dengan penuh keputusasaan.

Yang lebih tinggi segera maju, berlutut tepat di depan Dewa, lalu meraih bahunya dengan tangan hangat dan kuat. Sentuhan itu menyalurkan energi yang aneh, seperti aliran listrik lembut yang menenangkan syaraf.

"Dengar aku, Dewa," katanya mantap. "Rasa takutmu wajar. Kamu nggak salah. Kamu nggak gila. Kamu hanya ... melihat sesuatu yang orang lain tak bisa. Itu bukan kutukan, meski sekarang terasa seperti itu. Percayalah, kami tahu betapa beratnya beban itu. Tapi kamu nggak sendirian lagi."

Kata-kata itu menusuk hati Dewa lebih dalam daripada teriakan setan mana pun. Ia menurunkan tangannya, menatap dua sosok itu dengan mata sembab.

"Apa ... apa yang harus kulakukan? Aku sudah hampir gila ... setiap malam mereka datang. Mereka menjerit, mereka menyentuhku, mereka mengancamku, aku tak bisa tidur, aku tak bisa makan, aku hanya ingin semua ini berhenti," pinta Sadewa.

Yang lebih muda, yang sejak tadi diam, akhirnya bersuara dengan nada lembut namun mengandung misteri. "Mereka datang bukan tanpa alasan, Dewa. Kamu adalah cahaya yang mereka lihat di kegelapan. Itu sebabnya mereka menempel padamu, berusaha memadamkanmu. Tapi cahaya itu, bisa kamu kendalikan. Kamu bisa berdiri, bukan hanya menjadi mangsa. Dan kami ada di sini untuk membantumu."

Sadewa tertegun. Cahaya? Kata itu tak asing, tapi entah kenapa menusuk ke dalam dirinya.

Namun di balik rasa lega, ketakutan masih ada. Ia menoleh ke kiri dan kanan, memastikan kamar itu benar-benar sunyi. Jantungnya masih belum percaya. Apa benar makhluk-makhluk itu sudah pergi? Atau mereka hanya bersembunyi, menunggu saat ia lengah?

Rasa paranoia itu membuat tubuhnya kembali kaku. Ia merasa dinding kamarnya bernapas. Lantai yang ia pijak berdenyut. Seakan-akan meski dua sosok ini mampu menenangkan kengerian, dunia di sekitarnya masih hidup dan siap menelannya kapan saja.

Mata Dewa melirik cepat ke arah jendela. Sekejap, ia merasa melihat wajah pucat menempel di kaca, menatap dari luar. Tapi ketika ia berkedip, wajah itu hilang.

Dewa menggigil. "Mereka ... mereka masih ada," bisiknya lirih.

Yang tinggi menggeleng pelan. "Nggak, Dewa. Mereka sudah pergi. Yang kamu lihat barusan hanyalah bayangan dari rasa takutmu. Mereka hanya bisa kembali jika kamu membiarkan pintu itu terbuka."

"Pintu?" Dewa mengulang, bingung.

Yang lebih muda mengangguk. "Ya, pintu. Bukan pintu kayu seperti ini," katanya sambil melirik ke arah pintu kamar. "Tapi pintu dalam dirimu. Ketakutanmu adalah kunci yang membiarkan mereka masuk. Semakin kamu takut, semakin besar celah yang mereka gunakan. Itulah kenapa kamu harus belajar menutup pintu itu."

Sadewa terdiam. Kata-kata itu sederhana, tapi terasa berat. Bagaimana ia bisa tidak takut, jika setiap malam yang ia hadapi adalah mimpi buruk yang tak berakhir?

Sadewa menunduk, suaranya lirih.

"Aku nggak tahu ... aku nggak tahu bagaimana caranya,"

Yang tinggi menepuk bahunya sekali lagi, mantap. "Kami akan mengajarkanmu. Tapi aku ingin kamu jujur dulu. Kenapa kamu paksa buka mata batin kamu sampai pergi ke dukun?"

Sadewa membelalak, ia tidak pernah memberitahukan hal itu kepada siapa pun. Yang tahu hanyalah teman-teman se-gengnya di sekolah, tapi mereka tidak mungkin memberitahu orang lain karena itu hanya taruhan konyol yang tidak berbuah apa pun. Setidaknya waktu itu.

Sadewa melihat dua pria asing di hadapannya ini, dan tahu satu hal; mereka bukan sekadar orang biasa. Itu jelas.

1
Deyuni12
Arsel 🥺
Deyuni12
lanjuuuuuut
Deyuni12
semakin menegangkan
Miss Typo
semangat kalian bertiga, semoga bisa 💪
Miss Typo: baru 2 bab 😁✌️
total 1 replies
Deyuni12
lagi akh 😅😅
Miss Typo
kok aku jadi terhura nangis lagi nangis mulu 😭
Deyuni12
lagiiiiiii
Deyuni12
ada kabut apa sebenarnya d keluarga dewa sebelumnya,masih teka teki n masih samar,belum jelas apa yg terjadi sebetulnya.
ikutan emosi,kalut,takut n apa y,gtu lah pokoknya mah
Deyuni12: kasih tau aku y kalo udah ketahuan 😄
total 2 replies
Deyuni12
orang yg tidak d harapkan malah pulang, hadeeeh
Archiemorarty: Ndak kok /Slight/
total 3 replies
Miss Typo
belum tau siapa orang yg bikin Dewa jadi tumbal, dari awal aku pikir ayahnya tapi dia gak percaya hal begituan, atau kakek neneknya dulu atau siapa ya??? 😁
Miss Typo: masih mikir 😁
total 2 replies
Miss Typo
saat kayak gitu malah ayahnya mlh pulang ke rumah, bikin geram aja tuh orang 😤
Miss Typo: geram sm ayahnya Dewa 😤
total 2 replies
Deyuni12
bacanya menguji adrenalin
Deyuni12
semangat dewa
Deyuni12
huaaa
ternyata bener kn jadi tumbal
Deyuni12: hayoo sama siapa hayooo
total 2 replies
Deyuni12
masa iya dewa d jadikan tumbal sama leluhurnya..hm
Deyuni12
what!!!
kenapa si dewa ini
Deyuni12: hayooo othor,kamu apain itu dewaaaa
total 2 replies
Miss Typo
tiap baca tegang tapi juga penasaran,,, semangat Dewa Arsen dan Tama
Miss Typo
semoga kamu kuat kamu bisa Dewa bersama Arsen dan Tama
Miss Typo
kuat Sadewa kuat, kamu pasti bisa
Miss Typo
dari awal dah menduga jadi tumbal tapi okeh siapa?
apa ayahnya Dewa???
Miss Typo: kalau othor mh jelas nulis banyak, sedangkan diriku komen dikit aja typo mulu, makanya nama disini Miss Typo hehe
total 7 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!