“Aku rela jadi debu… asal Ibu tetap hidup.”
Kevia rela ayahnya menikah lagi demi ibunya bisa tetap menjalani pengobatan. Ia pun rela diperlakukan seperti pembantu, direndahkan, diinjak, dianggap tak bernilai. Semua ia jalani demi sang ibu, wanita yang melahirkannya dan masih ingin ia bahagiakan suatu hari nanti.
Ardi, sang ayah, terpaksa menikahi wanita yang tak ia cintai demi menyelamatkan istri tercintanya, ibu dari putri semata wayangnya. Karena ia tak lagi mampu membiayai cuci darah sang istri, sementara waktu tak bisa ditunda.
Mereka hanya berharap: suatu hari Kevia bisa mendapatkan pekerjaan yang layak, membiayai pengobatan ibunya sendiri, dan mengakhiri penderitaan yang membuat mereka harus berlutut pada keadaan.
Agar Kevia tak harus lagi menjadi debu.
Agar Ardi tak perlu menjadi budak nafsu.
Tapi… akankah harapan itu terkabul?
Atau justru hanyut… dan menghilang seperti debu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7. Dingin
Ardi terdiam. Rahangnya mengeras, tapi sebelum ia menanggapi, suara lirih Kemala lebih dulu terdengar.
“Pergilah, Ardi. Jadilah suami yang adil.” Senyumnya tenang, meski matanya berkabut lelah. “Lagipula, ini sudah malam… dan aku sudah ingin beristirahat.”
Rima tercekat. Ia mengira Kemala akan menangis, menahan Ardi, atau menunjukkan luka hatinya. Tapi tidak. Justru sebaliknya. Kemala sendiri yang mendorong Ardi pergi kepadanya. Tegar, ikhlas, seolah menyerahkan kemenangan itu tanpa perlawanan. Dan ketegaran itu… menusuk hati Rima lebih dalam daripada seribu ejekan.
"Sial… kenapa dia bisa setegar ini? Kenapa dia tidak pernah goyah?"
Ardi menarik napas berat. Ia menoleh pada Kemala, lalu dengan lembut membantu istrinya berbaring. Menyelimuti tubuh rapuh itu dengan penuh hati-hati. Tangannya gemetar, lalu ia menunduk, mengecup kening Kemala lama sekali. Seolah berkata tanpa suara,
Maaf…
Rima yang berdiri di ambang pintu, hatinya mendidih melihatnya. Cemburu. Tersayat. Rasanya ingin berteriak, tapi ia menahan, lalu tersenyum kaku.
“Ayo, Ardi. Kita ke kamar kita. Biarkan dia istirahat… agar dia bisa bersama kita lebih lama. Agar dia bisa melihat kita bahagia.” Ucapannya manis, tapi setiap katanya menancap seperti jarum beracun.
Kemala tetap tersenyum. “Pergilah.”
Tenang. Tanpa nada getir.
Ardi melangkah keluar kamar dengan langkah berat, seperti menyeret seluruh jiwanya.
Rima menggenggam tangannya erat, menariknya menjauh. Tapi di belakang mereka, Kemala masih berbaring dengan tatapan teguh, menatap langit-langit. Senyumnya samar, tapi matanya berkilat.
"Aku tidak akan runtuh, Rima. Kau boleh ambil segalanya. Tapi tekadku, cintaku pada Kevia, tak akan bisa kau hancurkan."
Sementara itu di kamar Rima, begitu pintu kamar tertutup, suasana berubah.
Rima segera melingkarkan lengannya ke pinggang Ardi dari belakang, wajahnya menempel di punggung bidang itu.
“Ardi…” bisiknya manja.
Ardi tersentak. Refleks hampir menepis tangan itu, namun detik berikutnya kesadarannya kembali, wanita ini kini adalah istrinya secara sah. Ia menghela napas panjang, tubuhnya menegang.
Tangan Rima bergerak ke dadanya, mengusap pelan. Dada Ardi terasa kaku di bawah telapak tangannya. Ia tersenyum tipis, mencoba menggoda.
“Meski kau kurus karena terlalu sibuk bekerja… tapi dada ini tetap bidang.”
Ardi mengepalkan tangannya erat, matanya terpejam seolah menahan sesuatu. Bukan nafsu, melainkan ketidaknyamanan. Ia tak suka disentuh wanita selain Kemala. Hanya saja, sekarang ia terperangkap dalam situasi yang tak bisa dihindari.
“Ardi sayang… ini malam pengantin kita.” Suara Rima turun setengah nada, bergetar menggoda. Ia beralih ke depan, menatap Ardi sambil mulai melepaskan jas yang membungkus tubuh lelaki itu.
Ardi hanya berdiri kaku. Wajahnya datar, dingin.
Seperti patung batu di tengah hujan salju, kaku, membeku, membisu.
Rima tersenyum kecil, berusaha menutup mata pada penolakan halus itu. Tangannya meluncur, membuka kancing kemeja satu per satu. Namun, di balik setiap kancing yang terlepas, ia justru melihat sorot mata Ardi semakin beku.
“Kenapa kau begitu kaku, hm?” bisiknya genit.
Namun Ardi tak menjawab. Wajahnya dipalingkan, pikirannya melayang. Ia terbayang Kemala berbaring di ranjang lain, tubuhnya rapuh, wajahnya pucat tapi senyumnya tenang. Senyum yang sejak tadi menghantui batinnya.
Bibir Rima hampir menyentuh dadanya ketika akhirnya suara berat Ardi memecah keheningan.
“Aku… lelah, Rima.”
Rima berhenti. Menatapnya dengan mata yang membulat tak percaya.
“Lelah? Ini… malam kita. Malam pengantin kita, Ardi!”
Ardi hanya melangkah ke sisi ranjang, menarik selimut, lalu berbaring membelakangi istrinya yang baru.
“Aku butuh tidur.” Suaranya datar, dingin.
Rima terdiam di tempat. Napasnya tercekat. Malam yang seharusnya menjadi klimaks kebahagiaan justru menjelma penolakan pahit.
Namun ia tidak menyerah. Perlahan, ia ikut berbaring. Tubuhnya merapat ke punggung Ardi, tangannya melingkari pinggang lelaki itu. Ia menciumi bahu Ardi, membisikkan rayuan.
“Ayolah, Ardi… jangan dingin begini. Aku istrimu sekarang. Aku ingin kau… ingin aku.”
Namun tubuh Ardi tetap kaku. Tak ada desah. Tak ada respon. Napasnya teratur, bahkan terdengar seperti orang yang benar-benar tidur.
Rima menggigit bibirnya, menahan getir. Semakin ia merapat, semakin jelas terasa jarak di antara mereka. Bukan jarak fisik, tapi hati.
"Dia tidak menginginkanku. Sama sekali tidak. Sial!" umpatnya dalam hati.
Ia menatap punggung Ardi yang tak kunjung berbalik. Mata Rima panas, bukan karena cinta, melainkan karena harga dirinya diremukkan.
Malam itu, bukannya merasakan pelukan penuh gairah, Rima hanya merasakan dingin.
Dingin tubuh lelaki yang ia idamkan selama ini.
Dan di dalam hati Ardi sendiri, hanya satu nama yang bergaung, mengalahkan semua rayuan dan godaan yang mencoba mendekat.
Kemala…
***
Malam kian larut. Hawa dingin menyusup lewat celah jendela, menempel di kulit. Ardi yang pura-pura tidur membuka matanya menatap dinding kamar. Dari belakang, Rima masih memeluknya erat, wajahnya menempel di punggungnya. Napas perempuan itu teratur, seakan tenang dalam mimpi. Perlahan, dengan hati-hati, Ardi melepaskan lengan Rima dari tubuhnya.
Ia duduk sejenak di tepi ranjang, menunduk. "Aku tak nyaman tidur dengan wanita selain Kemala," batinnya bergetar.
Kemarin malam ia masih memeluk Kemala. Baru satu malam, tapi kerinduan itu sudah mencengkeramnya.
Pelan-pelan, Ardi melangkah keluar. Koridor rumah senyap, hanya suara detak jam dinding yang menemani. Saat pintu kamar Kemala dibuka, dada Ardi seketika terasa sesak. Di sana, di atas kasur tipis yang sederhana, istrinya berbaring pucat namun tetap memancarkan ketegaran. Hatinya mencelos. Betapa kejamnya keadaan, membuat perempuan yang begitu ia cintai harus berbagi kasih dengan orang lain.
Ardi mendekat, lalu tanpa suara merebahkan tubuh di sisinya. Lengan hangatnya melingkar ke pinggang Kemala, menariknya dalam dekap yang begitu dirindukan.
Kemala tersentak kecil, terbangun. Namun saat ia merasakan siapa pemilik lengan itu, ia memilih diam. Matanya tetap terpejam. "Ardi… apa kau tak bisa tidur bersama Rima? batinnya lirih, getir.
Ia menghela napas panjang. "Aku tak tahu sampai kapan cintamu akan bertahan. Mungkin sebentar lagi semuanya akan pudar. Tapi malam ini… biarkan aku merasakan dekapmu sekali lagi. Aku tak tahu apakah aku masih bisa merasakannya saat ajalku tiba."
Ardi tak menyadari istrinya terjaga. Perlahan matanya terpejam, lelap dalam pelukan itu. Hanya dengan memeluk Kemala, mencium aroma tubuhnya, merasakan hangatnya kulitnya, ia sudah merasa pulang. Sudah merasa tenang.
Sementara Kemala, diam-diam menahan air mata. Ia membiarkan suaminya tidur dengan damai, meski hatinya sendiri kian remuk oleh kenyataan.
***
Pagi menyapa dengan cahaya tipis yang menerobos jendela, menyingkap bayangan malam. Kevia sudah terbangun sejak lama, matanya menatap langit-langit kamar baru itu tanpa tahu harus berbuat apa. Di rumah lama, bahkan di kontrakan kecil mereka sebelumnya, pagi adalah waktunya sibuk menanak nasi, menyapu lantai, menyiapkan sarapan sederhana untuk Ayah, dan terutama untuk Ibu.
Namun kini, di rumah ibu tirinya, semua terasa asing. Ia menggigit bibir.
"Bagaimana dengan makanan Ibu? Ibu tidak boleh sembarangan makan… aku harus bagaimana?"
Pelan-pelan ia keluar kamar. Hatinya berdebar, tapi langkahnya berani. Ia berhenti di depan kamar orang tuanya, mengetuk ragu.
Ardi yang baru terjaga saling pandang dengan Kemala. “Biar aku,” gumamnya, bangkit dari ranjang.
Ketika pintu terbuka, ia tertegun melihat putrinya berdiri di ambang dengan wajah serius, lebih dewasa dari usianya.
“Kevia?”
“Ayah…” suara Kevia lirih, tapi matanya tegas. “Bagaimana dengan makanan Ibu?”
Kemala terperangah. Matanya langsung berkaca-kaca. Ada haru yang menusuk dadanya, anaknya memikirkan dirinya, bahkan sebelum memikirkan dirinya sendiri. Tekadnya untuk tetap hidup seakan diberi bahan bakar baru.
Ardi menatap putrinya lama, lalu tersenyum hangat. Tangannya mengelus lembut rambut Kevia. “Ayo kita ke dapur. Ayah tahu, kamu pasti bingung… dan tak berani melakukan apa pun di rumah orang lain tanpa izin.”
Kemala hanya bisa menghela napas, menatap pintu yang kembali tertutup. "Kevia… Ibu akan bertahan. Untukmu. Untuk ayahmu."
...🌸❤️🌸...
Next chapter...
“Jangan bilang dia… tidur di kamar itu,” gumamnya dengan tangan terkepal.
Dengan langkah terburu-buru, ia turun dari ranjang, menuju kamar Kemala. Tanpa mengetuk, ia membuka pintu cukup keras hingga membuat Kemala tersentak.
To be continued
tenang saja Kevia jika ada yang mengusikmu lagi Kevin tidak akan tinggal diam,,Kevin akan selalu menjadi garda terdepan untukmu..
rasain Riri dan Ani kamu harus tanggung jawab atas semua perbuatanmu
makanya jadi orang jangan jail dan berbuat jahat.
semangat kak lanjutkan makin seru aja...
Karena bila ketauan Riri, nasib Kemala & Kevia jadi taruhannya, disiksa di rumah tanpa ada yang berani menolong 🤨
Wali kelas akan menyelidiki dengan minta bantuan pak Anton untuk mengecek CCTV.
Di Aula suasana semakin panas semua menghujat Kevia.
Wali kelas datang meminta Kevia untuk berkata jujur apa benar mencuri uang kas dan alasannya apa.
Kevia menjawab dengan menceritakan secara runtut kenapa sampai dituduh mencuri uang dan bukti bisa berada di dalam tasnya.
Kita tunggu rekaman CCTV
lanjut kak Nana sehat dan sukses selalu 🤲
Kevin tentunya akan melindungi Kevia dengan diam²,,demi menyelamatkan dari amukan si anak ular betina,,good Kevin biar dua anak ular itu di kira kamu benci sama Kevia...padahal sebaliknya Kevin sangat peduli sama Kevia dan akan melindunginya...
sabar banget Kevia...
orang sabar di sayang Alloh..
menolong Kevia secara tidak langsung di depan 2 ulet bulu yang tidak sadar diri....mantap..
ayo mau di hukum apa nih jedua ulet bilu itu...
enaknya disruh ngapain ya...
bersihin kelas yang bau kali ya..kna seru tuh ngebayangin mereka berdua beraihin kelas sambil muntah2 ...
alhasil bersihin kelas plus muntahannya sendiri...
rasain tuh hukuman yang sangat setimpal Dan jnagan lupa hubungi kedua orang tuanya terus mereka berdua di skorsing selama 1 minggu....
cukup lah ya hukumannya.....
setuju ga ka....