Jae Hyun—seorang CEO dingin dan penuh perhitungan—menikahi Riin, seorang penulis baru yang kariernya baru saja dimulai. Awalnya, itu hanya pernikahan kontrak. Namun, tanpa disadari, mereka jatuh cinta.
Saat Jae Hyun dan Riin akhirnya ingin menjalani pernikahan mereka dengan sungguh-sungguh, masa lalu datang mengusik. Youn Jung, cinta pertama Jae Hyun, kembali setelah pertunangannya kandas. Dengan status pernikahan Jae Hyun yang belum diumumkan ke publik, Youn Jung berharap bisa mengisi kembali tempat di sisi pria itu.
Di saat Jae Hyun terjebak dalam bayang-bayang masa lalunya, Riin mulai mempertanyakan posisinya dalam pernikahan ini. Dan ketika Seon Ho, pria yang selalu ada untuknya, mulai menunjukkan perhatian lebih, Riin dihadapkan pada pilihan: bertahan atau melepaskan.
Saat rahasia dan perasaan mulai terungkap, siapa yang akan bertahan, dan siapa yang harus melepaskan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Coffeeandwine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
A Growing Concern
Udara malam yang dingin menyentuh wajah Jae Hyun saat ia turun dari mobil dengan langkah tegap. Pikirannya masih dipenuhi samar-samar percakapannya dengan Jung Won di kafe tadi_kata-kata tajam, ketidakpuasan yang jelas terlihat di wajah sahabatnya, dan perasaan bertanggung jawab yang masih tersisa di hatinya untuk seseorang yang seharusnya sudah menjadi masa lalu.
Tapi saat tatapan matanya tertuju pada sosok Riin yang berdiri di depan pintu rumah mereka, segala beban itu perlahan lenyap.
Riin tampak begitu cantik dalam dress semi formal berwarna biru tua yang membalut tubuhnya dengan anggun, ujung gaunnya jatuh tepat di atas lutut. Rambutnya tergerai lembut, sedikit bergelombang di ujungnya, dan wajahnya berseri dengan sedikit riasan yang menonjolkan fitur alaminya.
Jae Hyun mengamati istrinya dengan tatapan lembut. Ada sesuatu dalam dirinya yang selalu merasa tenang saat melihat Riin, seolah kehadiran wanita itu bisa meredakan segala kegelisahan dalam hidupnya.
"Kau terlihat sangat cantik malam ini," ucapnya dengan suara rendah, tapi cukup jelas untuk membuat Riin mendongak dan menatapnya dengan mata berbinar.
Riin mengerjapkan mata, lalu tersenyum kecil. "Jadi aku hanya cantik malam ini saja?" godanya dengan nada ceria.
Jae Hyun menyunggingkan senyum tipis lalu berkata, "Kau selalu cantik, Ny. Cho. Tapi malam ini, ada sesuatu yang membuatmu terlihat jauh lebih istimewa."
Panggilan itu_Ny. Cho_ selalu membuat wajah Riin memanas. Meski Jae Hyun sudah mengatakannya lebih dari beberapa kali, tapi setiap kali mendengar sebutan itu keluar dari mulut Jae Hyun dalam nada yang begitu mesra tetap saja membuatnya gugup.
Riin berdeham pelan, berusaha menutupi rona malu di wajahnya. "Kau memang ahli dalam merayu," ujarnya sambil tersenyum tipis.
Jae Hyun tersenyum kecil, menikmati bagaimana Riin selalu berusaha mengalihkan rasa gugupnya.
"Tapi... aku tidak tahu kau akan mengajakku ke mana. Apakah penampilanku sesuai untuk tempat tujuan kita?" tanya Riin, menatapnya dengan mata penuh rasa ingin tahu.
Jae Hyun menatapnya lekat, lalu mengulurkan tangan untuk merapikan helaian rambut yang tertiup angin di pipi Riin. "Tentu saja. Kau terlihat sempurna, seperti biasa," katanya. "Ayo berangkat, sebelum kau benar-benar kelaparan," ujar Jae Hyun sembari membukakan pintu mobil untuknya.
Namun, sebelum melangkah masuk, Riin menatap Jae Hyun ragu. Ada sesuatu yang masih mengganjal dan mengganggu pikirannya.
"Tunggu sebentar," Riin menggigit bibir bawahnya perlahan, seolah ragu untuk bertanya, namun ia memutuskan untuk bertanya dengan lebih berhati-hati, "Urusanmu... sudah selesai, kan?"
Jae Hyun tahu persis apa yang dimaksud istrinya. Untuk sesaat, ia terdiam, merasakan pergolakan dalam dirinya sendiri. Ia bisa saja mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja, tetapi Riin berhak mengetahui kebenarannya.
"Tidak berjalan seperti yang aku harapkan," akunya dengan nada tenang, meskipun nada suaranya terkesan sedikit tegang. “Tapi… mungkin ini bukan waktu yang tepat untuk membahasnya,” ucap Jae Hyun dengan suara yang sedikit melembut, mencoba menenangkan perasaannya sendiri. “Saat ini, yang lebih penting bagiku adalah kita… rumah tangga kita. Aku ingin kita fokus pada apa yang kita miliki sekarang, bukan apa yang belum terselesaikan. Aku ingin kita manfaatkan momen ini untuk lebih dekat dan memahami satu sama lain."
Mata Riin memperhatikan ekspresi di wajah Jae Hyun, seolah mencari celah untuk menemukan apa yang mungkin sedang disembunyikan suaminya. Namun, tatapannya berhenti pada sorot mata pria itu_begitu jernih dan penuh keyakinan. Riin menarik napas perlahan, membiarkan keheningan tercipta di antara mereka sebelum akhirnya ia memilih untuk mempercayainya. Sebuah senyum tipis menghiasi wajahnya, seolah ingin menunjukkan bahwa ia ingin memberikan kepercayaan itu tanpa ragu. "Kau benar. Waktu yang kita miliki saat ini terlalu berharga untuk memikirkan hal lain."
Jae Hyun mengangguk kecil, lalu menutup pintu mobil setelah Riin masuk. Saat ia sendiri duduk di kursi pengemudi dan menyalakan mesin, sudut bibirnya terangkat.
Untuk malam ini, ia hanya ingin menghabiskan waktu bersama wanita yang sekarang menjadi pusat dunianya_Riin.
***
Mobil Jae Hyun meluncur mulus menuju sebuah restoran mewah bernama Korea House, tempat yang terkenal dengan arsitektur tradisionalnya yang berpadu dengan sentuhan kemewahan modern.
Bangunan restoran itu berdiri megah, menyerupai hanok klasik dengan atap melengkung dan pilar kayu kokoh, namun dengan pencahayaan elegan yang memberikan kesan eksklusif. Di bagian depan, terdapat halaman luas yang terbuat dari batu, menciptakan suasana yang rapi dan bersih. Penerangan lampu kuning hangat di sepanjang bangunan menambah kesan nyaman dan menonjolkan keindahan detail arsitektur saat senja. Disana juga terdapat pepohonan hijau yang menambah kesejukan dan memperkuat nuansa tradisional Korea.
Begitu tiba, seorang pramusaji segera menyambut mereka dengan senyum sopan dan membimbing mereka ke ruangan privat yang telah dipesan sebelumnya oleh Jae Hyun.
Saat melangkah di sepanjang koridor restoran dengan lampu-lampu temaram yang memancarkan aura elegan, Riin berjalan lebih dekat ke sisi Jae Hyun. Tangannya secara tak sadar menyentuh lengan suaminya, mencari kenyamanan. Sambil melirik sekeliling dengan mata yang sedikit membesar karena terkesan, ia berbisik pelan, "Jae Hyun~a, bukankah tempat ini terlalu mahal hanya untuk sekadar makan malam?" Ada nada cemas bercampur kagum dalam suaranya, seolah ia masih mencoba memahami alasan di balik pilihan restoran mewah ini.
Jae Hyun menoleh ke arah istrinya kemudian tersenyum kecil, memberi kesan bahwa ia sudah memikirkan segalanya dengan matang.
Ia bisa melihat dengan jelas kecanggungan yang terpancar dari gerak-gerik istrinya. Riin tampak sedikit gelisah, mungkin karena belum terbiasa berada di restoran semewah ini hanya untuk makan malam biasa. Namun bagi Jae Hyun, ini bukan sekadar makan malam. Ini adalah momen istimewa, sebuah perayaan kecil untuk hubungan mereka yang terus tumbuh, semakin dalam, semakin intim, dan semakin erat.
Dengan lembut, Jae Hyun menggenggam tangan istrinya. Seolah ingin menyampaikan bahwa kehadiran Riin di tempat ini adalah hal yang paling berharga. "Kenapa masih mengkhawatirkan hal itu?" Tanya Jae Hyun dengan senyum penuh percaya diri. "Apa kau lupa jabatan suamimu ini?" Godanya.
Riin mendesah pelan, meski ujung bibirnya sedikit melengkung. "Ck, aku tahu kau memiliki banyak uang. Hanya saja ini seperti pemborosan."
"Aku sedang ingin memanjakanmu, Sayang." Ada jeda sejenak, seolah ia sengaja membiarkan kata-katanya menggantung sebelum melanjutkannya dengan nada ringan, "Jadi tak ada istilah pemborosan dalam hal itu." Bibirnya melengkung membentuk senyuman lembut, memperjelas alasan bahwa bagi Jae Hyun, membahagiakan istrinya adalah prioritas utama.
Riin hendak membuka mulutnya untuk balas berkomentar, tapi kalimatnya tertahan ketika langkah mereka terhenti di sebuah ruangan privat yang dituju.
"Silahkan, ini ruangan kalian," ujar pramusaji dengan nada sopan dan profesional. Ia meraih pegangan pintu geser lalu membukanya perlahan. Ruang makan ekslusif itu memiliki suasana hangat dan juga elegan. Pramusaji itu memberi sedikit anggukan hormat lalu melangkah mundur, membiarkan Jae Hyun dan Riin menikmati keindahan ruangan yang kini menjadi milik mereka untuk malam itu.
***
Ruang makan itu bergaya tradisional Korea dengan jendela kayu berpola khas hanok yang menghadap ke taman hijau di luar.
Pelayan itu tersenyum ramah, lalu membungkuk sedikit sebagai bentuk sopan santun. "Harap tunggu sebentar, pesanan kalian akan segera kami antarkan," ujarnya dengan suara lembut, lalu berbalik meninggalkan meja.
Jae Hyun mengangguk kecil. "Terima kasih," ucapnya singkat, suaranya terdengar datar namun tetap sopan. Ia kemudian mempersilakan Riin masuk lebih dulu, tangannya dengan sigap menarik kursi untuk istrinya. Gerakan itu begitu alami, seperti sesuatu yang sudah menjadi sebuah kebiasaan, tentang bagaimana ia selalu memperhatikan setiap detail kecil yang berkaitan dengan Riin.
Tak lama kemudian, seorang pelayan datang membawa beberapa hidangan yang sudah dipesan. Berbagai menu khas kerajaan tersaji di atas meja, lengkap dengan dekorasi mewah yang menambah kesan istimewa.
Jae Hyun meraih sumpitnya dengan gerakan presisi, lalu mengambil sepotong daging yang masih mengepul di piring. Ia meniupnya perlahan sebelum menyodorkannya ke depan bibir Riin. "Ini, cobalah. Kudengar ini menu paling enak di sini," ujarnya nampak begitu yakin.
Riin tertegun sesaat, tidak menyangka jika Jae Hyun akan melakukan hal itu. Pipinya memanas, tapi akhirnya ia membuka mulut dengan ragu. Begitu rasa gurih daging yang lembut berpadu dengan saus khas kerajaan menyentuh lidahnya, matanya langsung berbinar. Kehangatan bumbu yang kaya dan tekstur daging yang hampir lumer di mulutnya membuatnya takjub.
"Wah, ini masakan Korea terenak yang pernah aku makan!" serunya dengan ekspresi kagum. Ia menatap piringnya dengan penuh antusias. "Tidak heran kalau harganya cukup mahal," tambahnya sambil mengangguk-angguk puas.
Jae Hyun terkekeh pelan melihat reaksi istrinya yang begitu polos dan jujur. Ada rasa puas yang menyelinap dalam hatinya karena bisa melihat bagaimana Riin terlihat begitu menikmati makanan_yang ia pilih sendiri untuk wanita itu_dengan begitu lahap. "Syukurlah kalau sesuai dengan seleramu. Kau harus makan yang banyak," ujarnya lembut.
Riin mengangguk bersemangat. "Dengan selera makanku saat ini, aku pasti bisa menghabiskan semuanya."
Riin baru saja hendak menyendok lebih banyak makanan ke dalam mangkuknya namun gerakannya terhenti oleh pertanyaan Jae Hyun yang terdengar khawatir.
"Apa kondisi perutmu sudah membaik?" tanyanya dengan suara yang lebih lembut dari biasanya. "Seharian ini tidak merasa kram lagi, kan?" Nada suara Jae Hyun jelas terdengar penuh kekhawatiran, membuat Riin terdiam. Ia menatap pria itu, menyadari betapa seriusnya pertanyaan yang baru saja dikatakan suaminya.
Riin menurunkan sumpitnya perlahan, memilih untuk menatap meja kayu di hadapannya alih-alih menatap balik suaminya. Memang, dibanding tadi pagi, rasa nyeri di perutnya sudah jauh berkurang, tetapi sesekali masih terasa sedikit mengganggu_seperti nyeri samar yang sesekali datang dan pergi. "Semakin membaik, tapi terkadang masih sedikit sakit," akunya jujur. Riin menatap Jae Hyun dengan ekspresi tenang, meski dalam hatinya ia sedikit khawatir dengan reaksi suaminya nanti.
Jae Hyun menghela napas berat, kedua alisnya sedikit berkerut sementara tatapannya tak lepas dari wajah Riin. Nada khawatir jelas terdengar dalam suaranya, seolah ia tengah menahan diri untuk tidak langsung melarang Riin melakukan apa pun.
"Kau tidak mungkin mengurangi pekerjaan kantor, aku tahu itu," ujarnya pelan, tetapi juga sedikit frustrasi. "Tapi kau juga tidak boleh kelelahan."
Riin tersenyum kecil. Meskipun ia tahu Jae Hyun khawatir, tapi ia juga tidak ingin membuatnya semakin cemas. "Aku baik-baik saja, aku masih bisa mengatasi semuanya," ujarnya pelan mencoba menghapus kekhawatiran di wajah suaminya.
Namun, Jae Hyun tidak mudah diyakinkan begitu saja. Ia menatap Riin dalam-dalam, matanya seakan menyadari kebohongan kecil yang berusaha disembunyikan istrinya. "Bagaimana kalau aku mencari seseorang yang bisa membantu pekerjaan rumah?" usulnya tanpa ragu. "Jadi kau bisa langsung beristirahat setelah pulang bekerja," ujarnya lebih menyerupai keputusan daripada sekadar tawaran, seolah ia sudah memikirkan ini sejak lama dan hanya tinggal menunggu persetujuan Riin.
Riin menunduk, berpikir sejenak. Sejujurnya, belakangan ini tubuhnya memang terasa lebih cepat lelah, seolah energi dalam dirinya terus terkuras tanpa alasan yang jelas. Bukan hanya kram perut, ia bahkan sempat merasa nyeri di beberapa bagian tubuhnya terutama pinggang dan punggung. Pekerjaan di kantor, tekanan mental, dan kurangnya istirahat mungkin menjadi penyebabnya, tapi tetap saja, ia tak ingin membuat Jae Hyun semakin khawatir.
"Baiklah," akhirnya ia memilih untuk menyerah, tidak lagi ingin berdebat dengan keputusan Jae Hyun yang kemungkinan besar tidak akan berubah. "Sebenarnya, selain kram perut, akhir-akhir ini beberapa bagian tubuhku juga terasa sakit."
Jae Hyun yang sejak tadi sudah tampak khawatir kini langsung menegang. Rahangnya mengeras, matanya menajam saat menatap istrinya. "Kenapa kau tak mengatakannya sejak awal?"
Riin menggigit bibirnya, merasa sedikit bersalah. "Maaf," ucapnya pelan, namun Jae Hyun masih bisa mendengarnya dengan cukup jelas. "Aku hanya tidak ingin menambah beban pikiranmu karena hal sepele seperti ini."
Tatapan Jae Hyun semakin dalam, suaranya terdengar lebih rendah, dan terdengar seperti sebuah peringatan alih-alih perhatian. "Kesehatanmu bukanlah hal yang sepele, Ny. Cho.."
Riin tak bisa membantah. Ia tahu Jae Hyun tidak akan membiarkan hal ini berlalu begitu saja. Namun, sebelum percakapan mereka berlanjut, suara getaran ponsel tiba-tiba memecah keheningan.
Riin dan Jae Hyun sama-sama melirik ke arah meja. Layar ponsel Jae Hyun menyala, menampilkan satu nama yang langsung membuat atmosfer di antara mereka berubah.
Youn Jung.
***