di khianati dan di bunuh oleh rekannya, membuat zephyrrion llewellyn harus ber transmigrasi ke dunia yang penuh dengan sihir. jiwa zephyrrion llewellyn masuk ke tubuh seorang pangeran ke empat yang di abaikan, dan di anggap lemah oleh keluarga, bangsawan dan masyarakat, bagaimana kehidupan zephyrrion setelah ber transmigrasi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ncimmie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 6
Suara lembut halaman buku terdengar saat Valerian membalik lembaran usang itu.
Huruf-huruf kuno berpendar samar di bawah cahaya lilin, seolah hidup.
Ia menatap simbol-simbol yang melingkar seperti mata naga, rumit dan berlapis, membuat siapa pun yang melihatnya merasakan tekanan magis tak kasat mata.
“Sihir kuno ini… bukan kekuatan yang bisa digunakan sembarangan,” gumamnya pelan.
Valerian menelusuri tulisan itu dengan ujung jarinya, merasakan getaran halus dari tiap goresan tinta.
Tangannya perlahan membentuk gerakan sesuai instruksi dalam buku, dan udara di sekitarnya mulai berubah.
Bayangan di lantai merayap mengikuti arah gerakan Valerian, membentuk lingkaran gelap di bawahnya.
Udara terasa berat—seakan waktu di sekitar ikut melambat.
Valerian memejamkan mata, mencoba menyalurkan energi itu ke satu titik.
Seketika, cahaya biru pucat muncul di ujung jarinya, membentuk simbol berlapis yang menggantung di udara.
Namun saat lingkaran itu mulai stabil, suara langkah cepat terdengar dari arah pintu.
“Pangeran!”
Konsentrasi Valerian pecah. Lingkaran sihir itu meledak jadi debu hitam yang berputar di udara sebelum menghilang.
Ia menatap kesal ke arah sumber suara — Alaric berdiri di ambang pintu dengan napas memburu dan wajah panik.
“Alaric… aku sedang berlatih. Ada apa kali ini?”
“Maaf, Pangeran, tapi ini penting.”
Alaric berjalan cepat mendekat sambil membawa sebuah kotak panjang berukir perak.
Kotak itu tampak mahal — bahan kayunya halus dan mengeluarkan aroma cendana samar.
Valerian mengernyit. “Apa itu?”
Alaric meletakkannya di meja, lalu membuka perlahan.
Di dalamnya terlipat rapi pakaian pesta berwarna biru gelap dengan bordir perak di pinggir lengan dan dada, tampak elegan tapi tidak berlebihan.
“Barusan utusan dari istana pusat datang, Pangeran. Raja mengadakan pesta besar nanti malam… untuk merayakan ulang tahun Putra Mahkota.”
“Dan ini… pakaian pesta untuk Anda.”
Valerian menatap pakaian itu lama, seolah sedang membaca makna di balik setiap jahitannya.
“Mereka masih mengingat keberadaanku rupanya,” gumamnya dingin.
“Saya tidak tahu siapa yang mengirimnya, Pangeran. Utusan itu hanya bilang pakaian ini dari seseorang yang ingin Anda terlihat pantas di pesta nanti,” jelas Alaric dengan hati-hati.
Valerian mendengus pelan, menatap ke arah luar jendela di mana matahari mulai turun di ufuk barat.
“Seseorang yang ingin aku terlihat pantas?”
Senyum tipis melintas di wajahnya — samar, tapi penuh makna.
“Lucu sekali.”
Ia menutup buku sihir di hadapannya, debu hitam yang tersisa dari latihan tadi berhamburan pelan di udara.
“Baiklah. Siapkan semuanya untuk nanti malam. Jika mereka ingin aku datang… maka aku akan datang.”
Valerian menatap pakaian di dalam kotak itu sekali lagi, ujung jarinya menyentuh kain birunya perlahan.
Ada sesuatu pada pakaian itu — aroma yang tidak asing, halus tapi kuat.
Namun ia mengabaikannya dan berjalan menuju jendela.
“Mari lihat,” gumamnya lirih, “bagaimana reaksi mereka… saat tahu pangeran yang mereka anggap sudah mati, datang ke pesta sang pewaris.”
Mentari pagi menyinari lembut taman istana utara. Embun masih menempel di ujung dedaunan, berkilau seperti butiran kristal saat cahaya mengenai permukaannya. Angin berhembus pelan, membawa aroma tanah basah dan bunga liar yang tumbuh liar di sekitar taman.
Valerian berdiri di tengah taman dengan tenang. Rambut peraknya berayun lembut diterpa angin, sementara cahaya matahari membuat matanya yang berwarna emas tampak berpendar. Di tangannya, buku sihir kuno itu terbuka pada halaman bertuliskan simbol-simbol aneh berwarna keperakan.
“Sihir kuno… rasanya berbeda,” gumamnya pelan. “Tapi alirannya mengikuti kehendakku.”
Alaric berdiri di belakang, memperhatikan tuannya dengan perasaan campur antara takjub dan khawatir.
“Pangeran, mungkin Anda sebaiknya beristirahat dulu. Tubuh Anda baru saja pulih sepenuhnya.”
Valerian menoleh sekilas, senyum kecil muncul di wajahnya.
“Justru karena itu aku harus melatihnya sekarang, Alaric. Kekuatan yang tidur terlalu lama bisa menjadi liar.”
Ia menutup matanya, menenggelamkan diri dalam arus sihir yang berputar di dalam tubuhnya. Udara di sekitar mulai bergetar. Awan tipis di langit seolah tertarik ke satu titik — tepat di atas Valerian.
Seketika, lingkaran sihir kuno terbentuk di bawah kakinya. Garis-garis bercahaya biru gelap menyebar cepat di atas tanah, membentuk pola yang kompleks. Angin di taman berputar, daun-daun beterbangan ke segala arah.
Alaric menahan napas, tubuhnya refleks mundur setapak karena tekanan yang mulai terasa.
“Kekuatan ini… bahkan belum mencapai puncaknya…”
Valerian membuka matanya perlahan. Dari tubuhnya terpancar aura biru kehitaman yang berdenyut kuat. Burung-burung yang tadinya hinggap di pepohonan berterbangan panik, merasakan tekanan energi sihir itu.
Namun, hanya dalam hitungan detik, aura itu menghilang — seolah diserap kembali oleh tubuh Valerian. Rumput yang tadinya terangkat perlahan kembali ke posisi semula.
“Cukup untuk hari ini,” ucapnya dengan nada datar. “Aku sudah bisa menstabilkan sebagian aliran sihir kuno di tubuhku.”
Alaric menatap pangerannya dengan kagum.
“Anda luar biasa, Pangeran. Bahkan para penyihir agung di ibu kota belum tentu bisa mengendalikan sihir sebesar itu dengan mudah.”
Valerian menatap langit biru di atasnya. Sinar matahari menyorot wajahnya, membuat aura dingin dan agung itu semakin jelas.
“Kekuatan ini… masih terlalu kecil. Tapi suatu hari nanti, mereka semua akan menyadari siapa yang sebenarnya pantas disebut darah kerajaan.”
Alaric menunduk dalam, merasa sesuatu yang kuat sedang terbangun di dalam diri pangerannya — sesuatu yang mungkin akan mengubah seluruh kerajaan Astrein.
Setelah latihan sihirnya selesai, Valerian berjalan pelan menuju ruang kerja kecil di sisi taman belakang istana. Meja kayu di ruangan itu dipenuhi botol kaca, gulungan kertas resep, dan berbagai tanaman obat yang ia kumpulkan beberapa hari sebelumnya. Udara di sana dipenuhi aroma herbal yang menenangkan — campuran daun kering, bunga obat, dan minyak alami.
Alaric masuk membawa keranjang besar berisi tanaman segar.
“Saya sudah mengumpulkan semua bahan yang Anda minta, Pangeran,” ujarnya sambil menunduk.
Valerian menoleh sekilas, senyum tipis tersungging di bibirnya.
“Letakkan di meja. Kita akan mulai dari ramuan penyembuh luka dalam. Aku ingin membuat versi yang lebih kuat dari sebelumnya.”
Alaric segera menuruti perintah. Ia memisahkan akar, daun, dan bunga sesuai dengan jenisnya. Sementara itu, Valerian mengambil pisau kecil, memotong bagian akar dengan presisi, lalu memasukkannya ke wadah kaca. Gerakannya cepat tapi halus — menunjukkan bahwa tangan kecil itu sudah sangat terbiasa meracik sesuatu yang rumit.
“Akar ini mengandung zat peredam racun. Campur dengan bunga ini akan memperkuat daya regenerasinya,” ujar Valerian lirih sambil menakar ramuan dengan teliti.
Alaric memperhatikan setiap gerakan tuannya. Ada sesuatu yang menenangkan saat melihat Valerian bekerja — ketelitian dan ketenangannya kontras dengan usia mudanya.
“Anda tampak sangat berpengalaman dalam hal ini, Pangeran. Siapa yang mengajari Anda dulu?”
Valerian terdiam sesaat, lalu tersenyum samar tanpa menatap Alaric.
“Kehidupan, Alaric. Aku belajar dari kehidupan itu sendiri.”
Suaranya datar, tapi entah mengapa terasa berat. Alaric menunduk, tak berani bertanya lebih lanjut.
Uap tipis mulai keluar dari wadah kaca yang dipanaskan. Aroma tajam bercampur manis menyebar di ruangan. Valerian menambahkan sedikit cairan hijau dari botol kecil — cairan yang tampak berkilau saat terkena cahaya pagi.
“Satu tetes saja sudah cukup untuk menetralkan racun mematikan,” gumamnya, “tapi jika lebih… tubuh manusia mungkin tidak akan bertahan.”
Alaric menelan ludah pelan.
“Sungguh ramuan yang berbahaya tapi luar biasa.”
Valerian mengangguk kecil.
“Kekuatan dan pengetahuan selalu berbahaya jika berada di tangan yang salah, Alaric. Itulah sebabnya kita harus menjaganya.”
Setelah beberapa saat, ramuan itu berubah warna menjadi biru muda berkilau — tanda bahwa racikan itu berhasil sempurna. Valerian menatap hasilnya dengan mata puas.
“Ramuan ini bisa dijual dengan harga tinggi di pasar. Pastikan kita menyiapkan cukup botol untuk besok.”
Alaric tersenyum lega, lalu mulai mengisi botol-botol kaca kecil dengan ramuan itu. Cahaya pagi menembus jendela, memantulkan kilau biru lembut dari cairan tersebut, seolah menyimpan kekuatan tersembunyi.
Valerian menatap hasil kerjanya, senyum tipis menghiasi wajahnya.
“Kita mulai melangkah, Alaric. Sedikit demi sedikit… aku akan bangkit dari bawah, dan saat waktunya tiba, mereka semua akan menunduk.”
Valerian menatap hasil racikannya yang memenuhi meja kayu. Botol-botol kecil berisi cairan biru muda berkilau itu tampak cantik saat terkena cahaya matahari pagi yang masuk dari jendela. Ia mengambil salah satu botol, menimbangnya di tangan, lalu menatap Alaric yang masih sibuk membersihkan alat-alat racikannya.
“Alaric,” panggil Valerian lembut.
Pelayan muda itu segera menoleh. “Ada apa, pangeran?”
Valerian berjalan pelan mendekatinya, lalu menyerahkan satu botol kecil yang masih hangat. Cairan di dalamnya memantulkan cahaya seperti kristal cair.
“Minumlah ini.”
Alaric menatap botol itu ragu. “Ini… ramuan apa, Pangeran?”
Senyum tipis muncul di bibir Valerian.
“Ramuan penambah energi. Tubuhmu terlalu lemah karena terus menemaniku bekerja tanpa istirahat yang cukup. Kalau kau mau jadi pelindungku, kau tak boleh mudah lelah.”
Nada suaranya tenang, tapi caranya berbicara membuat Alaric merasa hangat — campuran antara perintah dan perhatian. Pelayan itu menatap Valerian sejenak, lalu mengangguk dan meminum ramuan itu. Cairan itu terasa dingin, tapi begitu sampai di tenggorokannya, tubuhnya langsung terasa ringan dan berenergi.
Alaric terkejut. “Tubuh saya… terasa lebih kuat, Pangeran.”
Valerian menyilangkan tangan, menatap pelayannya dengan ekspresi puas.
“Bagus. Sekarang, gunakan energi itu untuk sesuatu yang lebih berguna.”
Alaric berkedip bingung. “Sesuatu yang lebih berguna?”
Valerian melangkah menuju taman belakang. Daun-daun bergetar lembut diterpa angin pagi. Ia menoleh ke belakang, menatap Alaric dengan tatapan yang tajam tapi tenang.
“Latih sihirmu, Alaric. Aku ingin melihat kemampuan penyembuhmu sejauh apa. Tanpa latihan, sihirmu hanya akan menjadi hiasan.”
Alaric menelan ludah pelan, tapi segera mengangguk. Ia menatap telapak tangannya, lalu mulai memusatkan energi di sana. Cahaya hijau lembut muncul, bergetar kecil di udara.
Valerian berdiri di samping, memperhatikan.
“Kendalikan napasmu. Rasakan energi di sekitarmu. Jangan paksa alirannya, biarkan dia mengikuti kemauanmu.”
Suara Valerian begitu tenang, nyaris seperti instruktur berpengalaman. Alaric mengikuti arahannya perlahan. Cahaya di tangannya makin stabil, berubah dari redup menjadi terang dan hangat.
“Seperti ini, Pangeran?” tanya Alaric dengan napas terengah.
Valerian mengangguk pelan, senyum kecil muncul di wajahnya.
“Lebih baik dari sebelumnya. Jika terus seperti ini, kau akan mampu menyembuhkan luka berat dalam waktu singkat.”
Alaric menatap tangannya takjub.
“Semua ini berkat bimbingan Anda, Pangeran.”
Valerian hanya menghela napas ringan, menatap langit biru yang mulai cerah.
“Bukan. Itu hasil dari kerja kerasmu sendiri. Tapi ingat, Alaric—” ia menatap lurus ke arah pelayannya dengan sorot mata emas yang tajam, “—jangan gunakan sihirmu sembarangan. Dunia ini tidak sebaik yang kau kira. Bahkan cahaya pun bisa membakar bila berada di tempat yang salah.”
Angin pagi kembali berhembus pelan, membawa aroma herbal dari taman. Alaric hanya menunduk, sementara Valerian berbalik kembali ke ruang kerjanya, meninggalkan kesan mendalam dalam hati pelayannya — sosok muda yang bijak, dingin, tapi penuh ketegasan.