NovelToon NovelToon
Kez & Dar With Ze

Kez & Dar With Ze

Status: sedang berlangsung
Genre:Ketos / Teen Angst / Teen School/College / Keluarga / Persahabatan / Romansa
Popularitas:356
Nilai: 5
Nama Author: Elok Dwi Anjani

Mimpi bukan selesai saat sudah meraihnya, tapi saat maut telah menjemput. Aku tidak meninggalkan teman ataupun orang yang ku sayang begitu saja, melainkan mencetak sebuah kenangan terlebih dahulu. Walaupun akan meninggalkan bekas di situ.

Maaf jika aku pergi, tapi terimakasih atas semua kenangan yang kita cetak bersama. Suara tawamu akan selalu bergema, dan senyumanmu akan selalu menjadi canduku. Rela itu tidak semudah sebuah kata saja. Tapi hati yang benar-benar tulus untuk melepaskannya.
Mengikhlaskan? Harus benar-benar melepaskannya dengan merelakannya setulus mungkin.

Seperti biji-biji dandelion yang berhamburan tertiup angin, setelah usai di suatu tempat. Mereka akan kembali tumbuh di berbagai tempat. Entah kita akan dipertemukan kembali atau tidak, setidaknya aku pernah berbahagia karena dirimu.

Ada sebuah kata-kata yang bertuliskan "Di setiap pertemuan pasti ada perpisahan," tapi dengan perpisahan bukan berarti aku dapat melupakan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elok Dwi Anjani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Aneh

..."Sikapku berganda"...

...•...

...•...

Setelah menuruni bus, Zea langsung menyeimbangkan langkahnya dengan Arlan yang akan memasuki sekolah. Siswa-siswi yang berada di depannya langsung menghindar memberi jalan untuk Arlan. Hanya tatapan datar saja yang Arlan berikan saat melewati mereka. Zea yang semakin kesal dengan langkah lebar Arlan langsung berlari ke arahnya saat akan memasuki koridor sekolah.

"Ngapain lo ngikutin gua?" tanya Arlan. Ia sedari tadi sudah merasakan ada yang mengikutinya. Memelankan langkahnya saat Zea berada di sampingnya dan meliriknya sekilas saja.

"Makasih."

"Anggap aja nggak ada kejadian lo sama gua hari ini." Setelah mengucapkannya, Arlan langsung berjalan mendahului Zea dengan langkah lebarnya.

Zea yang bingung sekaligus heran dengan sikap Arlan yang aneh hari ini hanya menatap punggung laki-laki itu sampai menghilang dari pandangannya. Ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal dengan menenteng tas beratnya di punggung dan menariknya.

"Ngapain lo ngeliat si kutu buku kayak gitu?"

Zea terlonjak kaget saat Zevan tiba-tiba ada di sebelahnya dengan meletakkan kepalanya di bahunya. Hampir saja sebuah tamparan akan melayang ke wajah ngeselin Zevan yang membuatnya kaget. Tapi tangan Zevan lebih cepat memegangi tangan Zea sebelum tangan itu benar-benar bersilahturahmi dengan wajahnya.

"Nggak usah ngagetin bisa nggak? Dan satu lagi, jangan SKSD sama gua. Gua nggak kenal elo," tunjuk Zea.

"Mangkanya kemarin gua ajak kenalan. Galak amat lo, padahal Nathan dulu friendly sama gua."

"Lo mau sama-samain gua sama bang Nathan? Kalau gitu ya jelas beda. Minggir!"

Zea menabrak bahu Zevan dengan kasar dan meninggalkan laki-laki itu dengan kesal. Entah kenapa, wajah Zevan sangat menyebalkan saat muncul di hadapannya. Padahal Zevan tidak melakukan apa-apa.

"Gua kira bisa diajak main. Ternyata dia keras," batin Zevan.

Zevan melirik ke mading sekolah saat akan melewatinya. Sebuah nama Arlan Baswara terlihat paling atas dengan total nilai yang mengesankan. Bahkan namanya saja berada di peringkat kelima setelah ujian kemarin. Namun, satu nama perempuan yang tidak asing untuknya dengan total nilai yang tidak jauh oleh Arlan berada di peringkat kedua setelah Arlan di atas sana. Ia menyunggingkan senyumannya saat membaca nama Zea tertera di atas sana dengan warna biru karena masuk peringkat tiga besar seangkatan.

Perempuan itu ternyata lebih pintar darinya.

"Ngapain lo? Senyam-senyum nggak jelas."

Zevan mengelus dadanya saat temannya tiba-tiba ada di sebelahnya menatap ke mading. "Gua tampol lo lama-lama! Hobi banget ngagetin orang."

"Minimal sadar diri. Nyindir orang kok sama halnya dirinya sendiri!" balas Glen.

Zevan memutar bola matanya malas dan meninggalkan Glen begitu saja. Pagi-pagi moodnya sudah hancur karena kalimat yang Glen lontarkan dengan sengaja untuk mencibirnya.

"Eh! Mau kemana? Ikutt!"

...••••...

"Yang bisa silahkan maju. Kalau bisa mengerjakannya akan mendapatkan nilai tambahan dari saya."

Seluruh kelas menjadi senyap karena sibuk dengan dirinya sendiri. Mereka semua berpura-pura sibuk dan mengalihkan pandangannya. Ada yang sibuk menulis sesuatu, padahal tidak ada sangkut-pautnya dengan pembelajaran ini. Arlan dengan keberanian dan kepintarannya langsung maju dan mengerjakan soal pertama. Walaupun hanya ada dua soal saja, tapi kedua soal tersebut memiliki bobot.

Sementara itu, Zea sedang mengerjakan soal-soal di papan ke dalam bukunya untuk diperhitungkan terlebih dahulu. Kimia itu merumitkan, tapi sangat seru. Jika bisa mengerjakannya! Sama halnya seperti matematika. Ia menimbang-nimbang jawabannya dan mengambil kalkulator kecilnya untuk memperhitungkannya kembali. Apakah hasil perhitungannya benar? Yap! Zea tersenyum tipis saat melihat angka yang tertera sama dengan angka yang ia tulis di bukunya.

Arlan melirik teman-temannya saat akan menuliskan jawaban terakhirnya setelah memperhitungkan. Ia tersenyum puas dan melihat soal nomor dua yang belum dijawab. Berhubung tidak ada yang menjawabnya, Arlan berinisiatif untuk menjawab soal tersebut. Namun, saat spidolnya akan menjawab soal tersebut. Ia kaget saat Zea tiba-tiba berada di sampingnya dan membuka tutup spidol.

Zea menjawab soal kedua dengan buku yang sudah ia bawa dengan lancar. Setelah mengerjakannya, ia melirik Arlan sekilas dan duduk kembali ke kursinya. Di sekolahnya yang sekarang, ia tidak memiliki teman sebangku karena mereka semua duduk dengan mejanya sendiri-sendiri dari pihak sekolah.

Sedikit malu saat Arlan kembali ke kursinya. Padahal spidolnya tadi akan menuliskan jawaban, tapi keduluan dengan Zea yang tiba-tiba datang dan langsung menjawabnya. Ia melonggarkan dasinya dan menatap soal di papan.

"Oke. Sekarang mari kita koreksi bersama. Untuk nomor dua itu benar hasilnya 6,2 dan nomor satu..." Bu Killa memperhitungkan jawaban Arlan di luar kepala dan mengerutkan keningnya. Ia mencoret angka yang salah pada jawaban Arlan dan menggantinya. "Ini caranya benar, tapi jawabannya salah. Kamu ketinggalan dua angka yang aslinya jawabannya sepuluh menjadi delapan. Lain kali lebih teliti ya, Ar?"

"Baik, Bu." Jauh di lubuk hatinya sudah meronta-ronta dan tidak menerimanya. Walaupun benar itu kesalahannya, tapi Arlan tidak menyukai kesalahannya dalam sebuah mata pelajaran. Ia meremas bukunya di meja dengan tersenyum ke arah Bu Killa karena beliau melihatnya.

Arlan menghadap kebelakang yang deretan bangkunya satu deret dengan Zea yang berada di belakangnya. Zea terlihat membersihkan mejanya yang penuh dengan alat tulis ke dalam kotak pensil yang bergambarkan beruang coklat. Zea yang menyadari ada yang menatapnya langsung celingak-celinguk melihat sekeliling. Arlan langsung mengalihkan pandangannya dan berpura-pura tidak tau apa-apa.

"Untuk Minggu depan kita buat eksperimen, ya? Kalian jangan lupa siapkan kelompok masing-masing. Kalau ibu yang pilihkan nanti banyak yang komen dan nggak terima, jadi kalian pilih sendiri. Ketentuannya satu kelompok ada 3 anak, dan semuanya harus kerja. Jika ada yang tidak kerja, bilang sama ibu biar namanya saya coret." Bu Killa kembali menatap layar laptopnya dan menuliskan sesuatu di sebuah map hijaunya.

Tiba-tiba kelas menjadi kembali hidup karena mereka semua menghampiri teman-temannya untuk membentuk sebuah kelompok dan saling merundingkannya sesuatu. Zea menghela nafasnya. "Kenapa harus ada kerja kelompok sih?" gumamnya kesal.

Zea tidak berkenalan ataupun berbaur pada teman-temannya walaupun mereka sekelas. Bahkan, orang yang mengajaknya berkenalan hanya si muka menyebalkan, Zevan. Zea tidak memiliki teman di dalam kelas dan hanya diam menunggu seorang murid sisaan dari berbagai murid yang sudah mendapatkan kelompok.

Sama halnya, Arlan juga hanya diam dan menuliskan sesuatu di bukunya untuk Minggu depan. Bu Killa berdiri saat suasana kelas tiba-tiba lebih ramai dan ricuh. Beliau menepuk-nepuk meja untuk meredakan keramaian kelas dan menatap murid-muridnya. "Bagaimana? Sudah mendapatkan kelompok semua? Yang belum angkat tangan!"

Zea, Arlan, dan si culun kelas mengangkat tangannya bahwa mereka belum mendapatkan kelompok. Padahal awalnya Zea mengira akan mendapatkan kelompok karena ia pintar dan dapat dimanfaatkan oleh temannya, ternyata tidak. Mereka lebih memilih bersama teman-temannya dan tidak memilih orang yang pintar untuk masuk dalam kelompoknya.

"Kalian saja?" Si culun mengangguk, berbeda dengan Arlan dan Zea yang hanya diam melirik si culun. "Kalian satu kelompok. Untuk sekretaris kelas, nanti tulis nama-nama kelompok dan anggotanya, setelah itu kasih ke saya waktu istirahat nanti."

Bu Killa mengambil laptop dan barang-barang di meja lalu berjalan keluar kelas dengan membenarkan kacamatanya. "Maaf, saya lupa. Tugasnya ringan, kok. Kalian buat sebuah percobaan sederhana dan jangan yang terlalu berbobot. Tapi kalau kalian mau juga nggak apa-apa. Setelah melakukan eksperimen besok, kalian harus buat kesimpulan untuk dipresentasikan dan sebuah laporan. Untuk laporannya harus selesai setelah 2 hari prakteknya. Baik, terima kasih untuk hari ini dan selamat belajar."

Seluruh kelas terdengar menghela nafasnya panjang. Mereka lelah dengan berbagai ujian dan juga praktikum yang mengejar-ngejar mereka pada tengah semester ini. Tapi mau bagaimana lagi? Ini sudah tugasnya yang diberikan untuk sebuah nilai yang memuaskan di sini.

Zea termenung memikirkan eksperimen apa yang akan ia lakukan nanti. Setelah beberapa menit kemudian, dalam kondisi ruang kelas ramai dan banyak suara tawa yang menggelegar. Zea mendapatkan ide yang cukup baik dan dapat membuat nilainya bertambah. Walaupun eksperimen yang berbeda dalam otaknya itu seperti anak SMP, tapi itu juga dapat membuat nilainya bertambah.

"Eh! Kalian sekelompok, ya?" tanya sekretaris kelas yang bernama Titania.

"Iya," jawab Arlan dari depan Zea yang tidak menghadapnya sama sekali, tapi mendengar pernyataan Titania.

"Pinter sama pinter, nih!" seru Titania. "Btw, satunya lagi sama si WWN. Hati-hati cuman tumpang nama aja dia," lanjutnya.

"WWN? Apaan?" Bingung Zea.

"Wawan. Namanya kan, Wawan."

"Ohh.."

"Kalian kelompok empat, dan selamat bekerjasama."

Setelah itu, Titania berlalu untuk kembali mencatat nama kelompok yang lainnya dan menghampiri teman-temannya satu-persatu. Arlan memutar tubuhnya menghadap kesamping, tapi kepalanya menatap kebelakang, ke Zea lebih tepatnya. "Besok ke rumah gua. Kita buat eksperimen sekaligus praktik langsung buat memastikan lebih lanjut."

"Gua nggak bisa. Gimana kalau Senin aja? Setelah pulang sekolah," jawab Zea.

"Kenapa? Emang lo mau nilai lo turun karena nggak berpartisipasi sama tugas kelompok kita? Kalau lo nggak mau, mending keluar dari kelompok gua sama si WWN biar gua sendirian aja."

"Heh! Lo kira nilai itu cuman satu-satunya yang ada di otak gua? Enggak! Gua juga punya kesibukan yang harus gua urus dan nggak terus-terusan berpikir kalau nilai itu satu-satunya yang ada di sini," tunjuk Zea pada kepalanya. "Gua juga bisa ngerjain tugas ini sendirian. Tapi kita ini kelompok! Kalau salah satunya salah, ya, udah! Semuanya salah."

"Maks-"

"Gua bisanya hari Senin, dan lo jangan maksa gua buat batalin kegiatan gua 2 hari kedepannya karena tugas kita. Lagian tugasnya juga masih Minggu depan. Sekhawatir itu lo sama nilai?"

"Kalau iya kenapa!"

"Obsesi lo tinggi."

Arlan terdiam mendengar jawaban Zea dan memilih untuk menatap mata Zea yang saling bertabrakan dengan matanya. "Senin, lo sama Wawan ke rumah gua setelah pulang sekolah."

"Maksud gua sebelumnya itu cuman nggak mau kita ceroboh dan ngelakuin kesalahan yang berdampak sama nilai gua. Gua takut nilai gua turun," kata Arlan dengan sedikit pelan pada kalimat terakhirnya.

"Lo nggak sendiri. Kalau salah satu kita ceroboh, semuanya juga dapat minus nilai."

Beberapa menit kemudian, suara tawa dari Arlan membuat seisi kelas terdiam. Jarang sekali, bahkan hampir tidak sama sekali melihat atau mendengar suara tawa Arlan. Mereka hanya mendapatkan suara tawa meremehkan saja yang selalu Arlan tampilkan. Tidak jauh darinya, Zea juga tersenyum menahan tawanya saat mengingat sesuatu.

"Bu Killa emang gitu. Kalau ngelakuin kesalahan dan ceroboh, pasti di minus sepuluh ke nilai kita," kata Arlan.

"Mangkanya waktu pertama kali gua ke sini kaget," balas Zea.

"Tapi apanya yang lucu? Barusan lo ketawa cuman gara-gara Bu Killa suka kasih minus ke nilai?"

"Iya, berlebihan emang gurunya. Padahal semua orang pasti ngelakuin kesalahan."

"Btw, lo nggak jelas," ucap Zea menatap Arlan yang memang sangat aneh. "Udah tahu diminus malah ketawa."

...••••...

...TBC....

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!