Sang raja terakhir tiada, dan bayangan mulai merayap di antara manusia.
Ketika dunia runtuh, satu-satunya harapan tersisa hanyalah legenda yang tertulis di sebuah buku tua. Riski, pemuda yang mencari ibunya yang menghilang tanpa jejak, menemukan bahwa buku itu menyimpan kunci bukan hanya untuk keluarganya… tetapi juga untuk masa depan dunia.
Dalam perjalanannya, ia harus melewati misteri kuno, bayang-bayang kutukan, dan takhta yang menuntut pengorbanan jiwa.
Apakah ia akan menemukan ibunya… atau justru menjadi Raja Terakhir yang menanggung beban akhir zaman?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dranyyx, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29 : Lorong Rahasia
Di tengah pelarian mereka, Riski entah kenapa terlihat seperti tanpa ada penyesalan yang terukir." Jujur, aku puas sekali. Tapi di sudut perasaan ini seperti ada yang mengganjal." Langkah kaki mereka bergema di antara lorong-lorong kecil gang kota hujan ini.
"Maaf memotong pembicaraanmu Riski. Kau itu seperti seorang psikopat. Yah masing-masing orang punya sifat tersembunyi yang mereka simpan. Tapi jujur, hal yang aku lihat di kamu itu agak berbeda." Tangan Amira terlihat sedikit gemetaran. Langkahnya pelan, sesekali ia menatap wajah Riski yang sedari tadi tersenyum puas.
Tiba-tiba Amira menghentikan langkah kakinya." Bukan nenekmu yang di incar sebenarnya."
Riski pun berhenti dan seketika ia menoleh ke Amira. Keningnya mengerut seolah ada hal besar yang akan ia dengan saat ini." Hmm? Tolong jelaskan kalau begitu." Ia perlahan mendekat ke Amira. Tangannya dengan ringan menyentuh dagu Amira." Aku bukan musuhmu, saat ini kamu juga seharusnya sudah tak terdata di organisasi itu lagi." Sambungnya.
Tangan Amira menepis sentuhan Riski itu." Tidak usah kau pakai trik murahanmu ini. Meski tak kau coba rayu aku, aku pasti akan tetap mengatakannya."
"Katakanlah nona manis, jangan biarkan aku menunggu terlalu lama."
"Maaf tadi sedikit lancang. Di toko tua itu, ada sebuah ruang bawah tanah. Aku curiga sesuatu itu ada di sana. Tapi untuk bentuknya masih misterius."
"Hmm... Mencurigakan. Oke, jadi fix yah. Kita akan mencari tahu apa itu. tapi untuk esok hari." Riski melanjutkan langkahnya.
"Kamu yakin? Setelah apa yang kamu perbuat kepada dua orang agen itu." Amira menatap Riski dengan dalam.
Riski pun menghentikan langkahnya." Maksudmu apa?" ia menoleh kembali ke arah Amira." Jangan bertele-tele. Cepat katakan biar kita bisa tenang."
"Kau terlalu polos. Kucing tidak akan pernah melepaskan matanya dari ikan asin yang sudah tercium. Kau paham maksudku kan?"
"Baiklah kita kembali."
Mereka memutar arah kembali ke toko. Di tempat kejadian, terlihat aparat kepolisian dan pemadam kebakaran sudah ada di lokasi. Pandangan mereka tak di alihkan sedikitpun. Riuh warga yang memadati area tak terbendung. Tapi, Riski dan Amira berjalan seolah tak terjadi apa-apa untuk menutupi jejak perbuatan mereka.
Sesampainya di depan toko, mereka langsung menghambur masuk. "Hmm Amira, coba kamu jelaskan kembali hal yang kamu maksud tadi?" Riski berjalan pelan memperhatikan kembali toko tua milik neneknya itu.
"Di dalam sini seharusnya ada lorong atau lebih tepatnya ruang bawah tanah. Yang di incar oleh organisasi, bukan nenekmu, tapi sesuatu yang terkunci di toko ini. Mungkin buku tua itu bisa memberikan kita informasi?" Riski berjalan menyusuri lorong utama toko tua itu, langkahnya pelan, sepatu kulitnya memantul di lantai kayu yang mulai melengkung dimakan usia. Aroma debu bercampur wangi samar kapur barus menyeruak dari rak-rak yang dijejali buku-buku tua dan barang antik berlapis kaca. Lampu gantung di langit-langit hanya berayun pelan, cahayanya redup, seakan ikut menyembunyikan sesuatu dari pandangan mereka.
Amira mengikut di belakang, jemarinya menyusuri permukaan rak, merasakan tekstur kayu yang retak-retak.
"Kalau ada ruang bawah tanah, logikanya pintunya tidak akan terlalu mencolok," katanya sambil memperhatikan sudut-sudut toko. "Tempat seperti ini menyimpan rahasia di balik hal-hal yang tampak biasa."
Riski mengangguk tipis, matanya menyapu lantai. "Kamu lihat motif ubin yang berbeda di bagian tengah?" Ia menunjuk ke sebuah area di dekat meja kasir tua, di mana warna kayu sedikit lebih gelap dibandingkan sekelilingnya.
Amira berjongkok, mengetuknya pelan. Bunyi yang terdengar lebih hampa dari seharusnya. "Kosong di bawah sini."
"Berarti kita sudah dekat," Riski menurunkan suaranya, matanya berkilat seolah sedang menikmati permainan berburu rahasia ini. Ia lalu berjalan ke belakang meja kasir, memeriksa bagian bawah laci. Jemarinya menemukan sebuah tuas besi kecil tersembunyi di balik panel kayu. "Hmm… sepertinya ini."
Amira melirik cepat ke arah pintu depan, memastikan tidak ada yang memperhatikan. "Kamu yakin mau membukanya sekarang? Polisi masih di luar."
Riski hanya tersenyum tipis. "Semakin mereka sibuk di luar, semakin aman kita di dalam." Ia menarik tuas itu perlahan.
Terdengar bunyi klik halus, diikuti gesekan kayu tua yang berat. Papan lantai di depan meja kasir bergeser sedikit, membuka celah yang mengarah ke tangga menurun gelap gulita. Udara dingin dan lembap langsung menyergap, membawa bau besi berkarat dan kertas yang membusuk.
Amira menelan ludah. "Tempat ini… seperti perut dari toko yang sudah mati."
"Atau justru jantungnya," Riski membalas, menyalakan senter kecil dari sakunya. Cahaya putih menembus kegelapan, menyingkap tangga sempit dengan dinding batu bata yang lembab, catnya terkelupas seperti kulit tua.
Mereka mulai menuruni tangga perlahan. Setiap langkah memicu bunyi berderit atau rontokan debu, seakan ruang itu menolak kedatangan orang baru. Sesampainya di bawah, mereka menemukan ruangan sempit berisi rak-rak besi berkarat, sebagian rebah ke samping, dipenuhi kotak kayu, botol kaca berlabel pudar, dan tumpukan buku berdebu.
Amira mengambil salah satu buku, meniup lapisan debu yang menutupinya. Tulisan di sampulnya nyaris tak terbaca, tapi simbol aneh terukir di tengah, seperti gabungan huruf dan angka.
"Ini bukan buku biasa," katanya sambil membuka halaman pertama. Kertasnya rapuh, beberapa bagian menghitam seperti terbakar.
Riski memeriksa sisi ruangan. Di pojok, ada sebuah lemari besi kecil tertutup rantai. "Kalau ini isinya sesuai perkiraan, kita baru saja menemukan alasan kenapa mereka mengincar toko ini."
Amira menatapnya. "Dan kalau benar… berarti mereka akan kembali."
"Kalau mereka kembali, aku lebih senang lagi. Jujur, aku tidak tau mengapa jiwaku jadi aneh seperti ini." Riski membalas tatapan Amira.
"Maksudmu apa? Bisa tolong di jelaskan lebih rinci lagi pak Riski yang tau segala hal."
Riski berjalan pelan mendekati kursi kayu, kemudian ia duduk dengan perlahan. Cahaya redup dari lampu bohlam tua di atas kepala membuat bayangan wajahnya terpotong-potong. Tangannya bergerak pelan, menggeser sebilah pisau lipat di atas meja kayu yang penuh bekas goresan.
“Kalau mereka kembali…” suara Riski pelan, hampir seperti gumaman, tapi justru itulah yang membuat Amira menajamkan telinga." Aku tidak akan sekadar mengusir mereka lagi.”
Amira yang berdiri di seberang meja memandangnya dengan kening berkerut. “Maksud kamu?” tanyanya, mencoba terdengar santai, meski bulu kuduknya mulai berdiri.
Riski menatapnya, tersenyum tipis — senyum yang tidak sampai ke matanya. “Kamu tahu kan, ada batas kesabaran? Nah, mereka sudah lewati itu. Jadi kalau mereka datang lagi… aku akan pastikan mereka tidak akan pulang. Setidaknya… tidak dengan tubuh yang utuh.”
Pisau di tangannya diputar, ujungnya menggores meja, meninggalkan suara seret yang membuat Amira tersentak. Dia mencoba mengalihkan pandangan, tapi sulit mengabaikan sorot mata Riski yang tidak berkedip.
“Riski, ini tidak lucu,” katanya, setengah tertawa gugup.
“Aku juga tidak bercanda.” Riski mencondongkan tubuh ke depan, kedua lengannya bertumpu di meja. “Aku sudah hitung langkah-langkahnya. Mereka masuk lewat pintu mana, jebakan di mana, berapa lama tubuh mereka butuh untuk… berhenti bergerak.”
Amira menelan ludah. Rasa dingin dari lantai semen merambat ke kakinya, tapi bukan itu yang membuatnya bergidik — melainkan cara Riski mengucapkannya seperti sedang membicarakan resep masakan.
Dia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. “Kamu… serius, ya?”
Riski hanya tersenyum, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. “Kalau kamu di sini waktu itu, kamu akan mengerti. Beberapa orang memang… layak dihilangkan.”
Amira diam. Jantungnya berdetak lebih cepat, tapi dia tahu terlalu banyak bertanya hanya akan membuatnya tahu hal-hal yang mungkin dia sesali.