NovelToon NovelToon
Kutukan Seraphyne

Kutukan Seraphyne

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Cintapertama / Reinkarnasi / Iblis / Fantasi Wanita / Cinta Istana/Kuno
Popularitas:644
Nilai: 5
Nama Author: Iasna

Dua abad lalu, Seraphyne membuat satu permintaan pada Batu Api yaitu menyelamatkan orang yang ia cintai. Permintaan itu dikabulkan dengan bayaran tak terduga—keabadian yang terikat pada kutukan dan darah.

Kini, Seraphyne hidup di balik kabut pegunungan, tersembunyi dari dunia yang terus berubah. Ia menyaksikan kerajaan runtuh, kekasih yang tak lagi mengenalnya, dan sejarah yang melupakannya. Batu itu masih bersinar merah dalam genggamannya, membisikkan harapan kepada siapa pun yang cukup putus asa untuk mencarinya.

Kerajaan-kerajaan jatuh demi kekuatan Batu Api. Para bangsawan memohon, mencuri, membunuh demi satu keinginan.
Namun tak satu pun dari mereka siap membayar harga sebenarnya. Seraphyne tak ingin menjadi dewi. Tapi dunia telah menjadikannya iblis.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Iasna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 5: Dinginnya Pengampunan

Aroma daun mint dan akar pahit menguap perlahan dari tungku besar di sudut rumah Ephyra. Rae menggiling rempah-rempah dengan penuh perhatian, sementara Mareen berdiri di dekat rak kayu, mengambil botol kecil berisi cairan kuning keemasan.

Yang membuat suasana berbeda sore itu adalah kehadiran Alvaren, sang Panglima. Lengan bajunya digulung hingga siku, dan tangannya—yang biasanya menggenggam pedang—kini sibuk mengaduk campuran herbal dengan sendok kayu. Wajahnya sedikit cemberut, tidak karena kesulitan, tetapi karena Rae terus mengoreksinya.

“Jangan terlalu cepat. Obat luka bakar harus dibuat dengan sabar,” gumam Rae, senyum tipis tersungging di wajahnya.

Mareen terkikik. “Panglima seperti anak magang hari ini.”

Alvaren hanya mendesah. “Lebih baik begini daripada menatap medan perang lagi.” dia melihat sekitar lalu kembali menatap Rae seperti akan bertanya tapi Rae terlebih dahulu menjawab.

"Ephyra keluar semalam, mungkin akan kembali malam ini atau sebentar lagi." ucap Rae yang membuat Alvaren menganggukkan kepalanya.

"Apa kau sudah lama tinggal bersama Ephyra?" tanyanya yang mulai penasaran.

"Aku sudah dua tahun tinggal bersama Ephyra. Dia sudah aku anggap sebagai ibuku karena Ephyra mengajariku banyak hal, memberikan aku kehangatan, Ephyra juga memberikanku pendidikan yang sama seperti para bangsawan." jelas Rae sambil mengaduk ramuan obat.

Tiba-tiba suara langkah cepat terdengar dari luar. Pintu terbuka keras.

Seraphyne—berdiri di ambang pintu, napasnya berat, rambutnya kusut dan basah oleh keringat. Matanya yang tertutup kain putih itu sudah sayu, dan tubuhnya menggigil.

“Ephyra?” Rae segera melangkah menghampiri.

Seraphyne menatap mereka dengan pandangan kosong. Tangannya bergetar, dan sebelum siapa pun bisa bertanya, tubuhnya ambruk… jatuh tepat ke pelukan Alvaren.

“Ephyra!” seru Mareen panik.

Alvaren menahan tubuhnya yang dingin dan lemas. “Apa yang terjadi?!”

Mareen tak menjawab. Ia berlari ke belakang rumah dan kembali dengan seember air. “Bawa dia ke kolam! Sekarang!”

“Kolam?” Alvaren bingung.

“Tolong, jangan tanya. Jika kau percaya padaku—bawa dia ke sana sekarang!” raung Mareen dengan nada yang membuat Rae ikut bergerak cepat.

Tanpa ragu lagi, Alvaren mengangkat Seraphyne dalam gendongannya. Tubuhnya begitu ringan, begitu rapuh, tidak seperti perempuan kuat yang ia lihat menyembuhkan puluhan prajurit kemarin.

Kolam itu terletak di belakang rumah, tertutup rerimbunan dedaunan dan angin pegunungan yang berembus sejuk. Airnya bening, hampir berkilau biru.

Alvaren melangkah masuk, hingga lututnya terendam, lalu perlahan menurunkan tubuh Seraphyne ke dalam air.

Begitu kulitnya menyentuh air, semburat merah menyebar perlahan, bukan darah… tapi seperti luka-luka yang tak terlihat kini melepaskan diri. Seperti batu panas yang akhirnya mereda.

Mareen berlutut di tepi kolam, menggenggam tangan Seraphyne yang setengah tenggelam. “Dia terlalu banyak menanggung. Terlalu banyak membakar permintaan orang. Tubuhnya terbakar dari dalam.”

Alvaren menatap wajah wanita itu, kini jauh lebih damai dalam ketidaksadarannya. Hatinya bergemuruh. Ia tidak tahu siapa sebenarnya wanita ini… tapi setiap hari, ia merasa jiwanya ditarik semakin dekat, seperti magnet pada potongan yang hilang.

“Siapa kau sebenarnya, Ephyra?” bisiknya.

Air kolam bergelombang pelan… seolah mengingatkan bahwa pertanyaan itu, suatu hari nanti, akan dijawab oleh api.

"Ramord, darimana saja kau?" tanya Mareen pada Ramord yang baru tiba di belakangnya.

Ramord menghela napas sambil menatap Seraphyne di dalam kolam bersama Alvaren. "Dia tidak seharusnya menjalani takdir yang seperti ini." gumamnya yang membuat Mareen ikut menghela napas. Cepat atau lambat Mareen juga tahu siapa Seraphyne sebenarnya dan bagaimana takdir wanita itu.

"Ephyra terlalu banyak mengeluarkan energi hari ini, dia mungkin akan sangat kesakitan. Tolong siapkan obat penahan rasa sakit yang banyak, Mareen." ucap Ramord sambil menatap Mareen.

Mareen mengangguk, ia melirik Rae yang masih menatap Seraphyne. "Ayo, Rae, bantu aku meracik obat."

Tanpa menjawab, Rae langsung mengikuti Mareen. Ramord juga meninggalkan kolam sehingga yang tersisa kini hanya Seraphyne dan Alvaren.

Udara malam di Narathor begitu sejuk. Embusan angin membawa harum bunga liar dari lereng-lereng utara, namun yang mengisi ruang hening malam itu hanyalah suara riak air dari kolam di belakang rumah.

Seraphyne masih terbaring setengah tubuhnya dalam air. Rambutnya tergerai, membentuk lingkaran hitam di permukaan kolam. Kelopak matanya perlahan bergetar… dan terbuka.

Sinar bintang di atas kolam memantul di matanya, membuatnya bingung sesaat.

"Syukurlah... kau sadar," kata Alvaren, suaranya terdengar lega dan penuh kekhawatiran.

Seraphyne mengerjap pelan. Ia belum sepenuhnya sadar. Tapi tubuhnya mengenali pelukan ini. Erat. Hangat. Seperti dua abad lalu, saat tangan itu adalah tangan yang sama… milik pria yang ia cintai. Raja yang ia perjuangkan mati-matian.

Tapi pria ini—yang memeluknya sekarang tidak mengenalnya. Tidak lagi.

“Kenapa kau…” gumamnya, lalu terhenti. Bibirnya gemetar.

“Mareen bilang kau harus masuk kolam. Katanya tubuhmu... seperti terbakar dari dalam. Apa yang sebenarnya terjadi padamu, Ephyra?” tanya Alvaren, menatapnya tajam tapi lembut.

Ia menggeleng pelan, terlalu lelah untuk menjawab kebohongan baru.

“Maaf… karena membuatmu khawatir.” suaranya nyaris tidak terdengar.

Alvaren menghela napas. Ia menyingkirkan beberapa helai rambut dari wajah Seraphyne, dan saat jari-jarinya menyentuh kulitnya, ada kilatan dalam benaknya—sekelebat bayangan, mahkota emas, ruangan takhta, dan wanita dengan tatapan yang sama, berdiri di sisinya.

Ia terdiam, terkejut… tapi tak mengatakannya.

Seraphyne merasakan tubuhnya menggigil, bukan karena air dingin, tapi karena tatapan pria itu—tatapan yang seperti dulu. Tapi ada jarak. Ada ketidaktahuan yang membuatnya pedih.

"Aku akan ke kamarku, apa kau bisa meminta Mareen kesini?"

Alvaren tidak mengatakan apa-apa, dia masih menatap wajah Seraphyne yang ia yakini pernah melihatnya di suatu tempat.

"Alvaren?"

"Aku tidak tahu Ephyra. Saat melihatmu aku merasa kita pernah bersama, mungkin di kehidupan lain.."

Seraphyne hanya diam.

"Mungkin ini terdengar gila, tapi aku bermimpi jika dulu aku adalah raja dan kau adalah ratu. Aku tidak bisa membedakan mimpi dan kenyataan, Ephyra."

"Kau hanya kelelahan dan bermimpi yang tidak masuk akal, Alvaren."

"Begitukah?" Seraphyne hanya mengangguk.

Lalu tanpa berkata lagi, Alvaren menggendong Seraphyne dan membawanya ke kamarnya. Ia mendudukkan Seraphyne ke kursi sesuai permintaannya, setelah itu Rae dan Mareen masuk dengan membawa baju kering dan obat-obatan.

Alvaren menatap Seraphyne sekali lagi sebelum pintu kamarnya benar-benar di tutup.

Malam itu dia duduk di depan barak, menatap rumah Seraphyne yang masih di terangi cahaya lentera. Dia juga mendapati Rae dan Mareen bolak-balik mengambil air dingin dan obat, menandakan betapa menderitanya Seraphyne malam itu.

Sedangkan di dalam kamar, Seraphyne terlihat sangat kesakitan. Batu api itu benar-benar menyiksanya kali ini sebagai bayaran karena dia sudah menggunakannya untuk merenggut nyawa orang lain.

"Apa tidak ada cara lain agar Ephyra tidak semenderita ini?" tanya Mareen cemas sambil menatap Ramord yang berdiri di sampingnya.

"Aku akan pergi ke batu api purba."

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!