Cover by me
Moza Reffilia Abraham—fotografer berparas bidadari, jatuh hati sejak pandangan pertama. Abrizam Putra Bimantara—tentara teguh yang baru menyandang pangkat Kapten, justru mengunci rapat hatinya.
Pernikahan mereka lahir dari perjodohan, bukan pilihan. Abri menolak, dibayangi luka lama—pernah ditinggal kekasih saat bertugas di perbatasan. Ia takut jatuh cinta, takut kehilangan untuk kedua kalinya.
Namun kisah ini tak semudah itu.
Sosok dari masa lalu kembali hadir—seorang bawahan di kesatuan yang sejak dulu hingga sekarang menjadi pesaing dalam cinta, mengaduk luka lama dan membangkitkan kegelisahan yang nyaris tak tertahan.
Di antara tugas negara dan gejolak rasa, sang Kapten harus memilih membuka hati, atau kembali kehilangan.
Lanjut baca langsung ya disini ya👇
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika cha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Satu Peleton dan Satu Lagu Terlarang
Tepat di seberang restoran tadi. Alunan live musik terdengar dar8 sebuah cafe. Dari kejauhan, Abri bisa melihat beberapa wajah yang sangat ia kenal. Ternyata para anggotanya sedang asyik bernyanyi di sana. Pantas saja dari tadi tak satu pun membalas pesannya. Rupanya mereka sedang sibuk dengan dunia mereka sendiri.
Begitu Abri melangkah masuk ke dalam, suasana cafe langsung berubah. Semua mata gadis di ruangan itu seolah tertuju padanya. Wajah tampannya yang tegas, dengan sorot mata tajam khas tentara dan tubuh tinggi menjulang bak gapura kabupaten, benar-benar mencuri perhatian. Jika ayah dan kedua adiknya hanya berkisar di angka 180 cm, maka Abri unggul sendiri di angka 188 cm. Tak heran sang mama gemar menyebutnya "tiang listrik berjalan" atau "gapura kabupaten keliling".
Abri adalah anak sulung dari tiga bersaudara, dan semuanya pria. Hebatnya, ketiganya kompak mengikuti jejak sang ayah di dunia militer. Adik keduanya menjadi perwira TNI AU, sementara si bungsu yang baru saja menikah beberapa minggu lalu, kini telah resmi berseragam polisi.
Pokoknya mamanya yang paling cantik serumah.
Kembali pada Abri. Meski wajah termasuk dalam katagori tak bisa di anggap biasa saja, nyatanya statusnya masih jomblo karatan. Bukan karena tak laku, lihat saja gadis-gadis yang menatapnya barusan—semuanya tampak seperti ingin langsung melempar CV jadi calon istri. Di komplek rumahnya pun, para tetangga berlomba menjodohkan anak gadis mereka. Belum lagi di batalyon, anak para petinggi datang dari segala penjuru, dari yang sudah "matang", sampai yang masih "baru netas".
Masalahnya bukan pada daya tarik Abri. Masalahnya ada di luka lama.
Ya, Abri adalah salah satu korban "cinta kandas saat sayang-sayangnya". Kejadiannya saat ia sedang menjalankan tugas di NTT. Waktu itu, hubungannya dengan sang kekasih sudah berjalan bertahun-tahun—sejak SMA, lalu lanjut hingga lulus akademi. Rencana masa depan sudah disusun rapi. Tapi siapa sangka, saat dia sedang mengabdi untuk negara, perempuan itu justru menikah dengan pria lain. Tanpa aba-aba. Tanpa penjelasan. Ngenes kan?
Ia masih ingat nasihat papanya. "Ikatan yang bukan pernikahan hanya akan membuatmu terluka." Dan benar saja, kini luka itu bahkan belum sembuh. Terlalu dalam. Terlalu menyesakkan.
Sejak saat itu, Abri trauma. Ia tak percaya lagi pada yang namanya perempuan, kecuali pada mamanya sendiri. Ia menghindari segala bentuk investasi perasaan bodong berkedok pacaran. Kapok. Trauma. Lebih baik jomblo daripada harus disakiti lagi. Tapi diam-diam, dari sudut hatinya yang paling dalam, ada keinginan untuk mencoba lagi. Mencoba membuka diri, mungkin menikah. Apalagi adik bungsunya sudah lebih dulu berumah tangga. Bohong jika Abri tidak terusik dengan pernikahan si bungsu. Mamanya pun sesekali menyelipkan harapan agar Abri membuka lembaran baru.
Sayangnya, luka itu belum sembuh. Dan sampai hatinya benar-benar pulih, ia memilih untuk tidak memulai apa pun. Belum saatnya. Biarlah Abri menepi dulu.
Kembali ke suasana cafe—Abri langsung membelalak ketika menyadari seluruh anggotanya ada di sana. Iya, seluruhnya. Satu peleton, tanpa terkecuali. Yang biasa ikut saat makan bareng paling lima-enam orang. Tapi ini? Lima puluh! Komplit. Catat. Tanpa ter.kecuali.
Alarm tanda bahaya langsung menyala di dompet Abri.
"Ya Allah, mereka semua bener-bener niat mau jebolin dompet saya ternyata." Ia mengusap wajah dengan frustasi. Dalam benaknya, kalkulasi kasar sudah dimulai. Kartu debit, kredit, bahkan tabungan di rekening lain mulai dia pikirkan. Sanggup nggak nih traktir satu peleton?
Dasar anggota semprul!
"Ini dia bintang utama kita malam ini" ucap Gilang saat menyadari kehadiran Abri.
Semua orang yang tadinya sedang asyik mengobrol langsung bersorak heboh ketika mendengar teriakan Gilang. Sementara Abri hanya bisa nyengir miris. Otaknya menghitung ulang... kira-kira kalau semuanya pesan dua piring, bisa habis berapa ya?
Intinya habis berapa pun sudah di pastikan dengan jelas jika sepulang dari sini dompetnya langsung kering kerontang.
Gak papa bang, asal jangan sampai gadai ginjal aja mah masih aman🤣
Begini ini mau mikirin nikah? Anggotanya saja tidak bisa melihat dompetnya tebal sedikit, mereka langsung tandaskan sampai ke akar-akarnya kalau sedang bersama Abri.
"Kirain gak jadi datang bang," itu Marvin yang berucap. Lagi Abri langsung nyengir saja menanggapinya kepalanya sambil memutar kesana kemari mencari keberadaan seseorang.
"Sini bang duduk disini," ujar Marvin menggeser duduknya. Abri menurut.
"Ibam sama Denis kemana ini?" nah itu adalah dua tersangka utamanya, dalang di balik kerusuhan ini. Abri pikir tadinya hanya lima atau sepuluh orang yang mereka ajak. Tapi ternyata satu peleton.
Benar-benar ingin membangkrutkannya bukan?
"Siap kapten! Kita disini" seru Denis membawa beberapa nampan makanan bersama dengan Ibam dan juga beberapa karyawan.
Jangan lupakan dua manusia itu tersenyum tanpa dosa kearahnya.
Abri nyaris tersedak melihat jumlah piring dan gelas yang mereka bawa. Banyaknya nggak ketulungan. Tabungan bertahun-tahun jadi tentara kayaknya akan ludes malam ini.
"Makasih ndan atas traktirannya." seru mereka semua begitu makanan mulai di sajikan di atas meja.
Abri cuma bisa tertawa... pura-pura. Dalam hati meratapi isi dompetnya yang sebentar lagi akan ludes tak bersisa. "Hahaha, iya. Tambah lagi kalau kurang," tawa terdengar di paksa. Namun masih Harus jaga image.
"Gak ndan ini aja udah cukup" Seru beberapa anggota Abri. Abri sedikit lega mereka masih tau diri.
Namun beda cerita dengan Ibam dan Denis dengan tidak tau dirinya dua orang itu berseru "wop, boleh nambah ndan? Serius?"
Semua mata langsung tertuju pada Abri.
Hening. Sunyi. Tekanan tak kasat mata langsung menghimpit.
Akhirnya, sambil memaksa senyum selebar sabit, Abri mengangguk. “Iya. Serius.”
Sorak dua penjahat itu langsung pecah. Sepertinya keberhasilan mereka menjebol dompet komandan akan jadi cerita legendaris.
"Tambo ko! TAMBO!" seru Ibam saat Dico—si biduan timur andalan batalyon—menyelesaikan satu lagu. Suaranya memang paling enak seangkatan. Jadi mereka memberi cap pada pria timur itu biduan Avengers.
Intro lagu berikutnya mulai dimainkan.
Denis langsung diam. Matanya menyipit.
Dan bukan hanya dia, beberapa anggota lain juga ikut menoleh. Mereka tampak seperti sedang menebak sesuatu.
Lagu pun dimulai.
Angin datang kasih kabar...
Dia bilang se su sanang deng dia di sana...
Abri langsung tegang.
Malam datang seng bawa bintang...
Tanda hujan turun seng suara...
Ia mengenal lagu ini. Terlalu mengenal. Lagu yang selalu ia hindari. Lagu yang… terlalu menyakitkan.
Deng barat hati bet bajalang...
Dong carita se su tunangan...
Air mata jatuh di dermaga...
Tempa katong terpisah...
Seketika, suasana jadi canggung. Seluruh anggota secara refleks melirik Abri.
Ombak su bawa jauh, jauh, jauh...
Tapi Nona yang putar bale...
Beta panggayung jauh, jauh, jauh...
Arus pukul beta tebale...
Menyadari tatapan beberapa anggotanya Abri langsung menatap seluruhnya, ia berusaha biasa saja. "kenapa lihatin saya? Lanjut makan." Perintahnya datar padahal otaknya sudah kembali ke kilasan masa lalu yang membuatnya cukup sakit yang sayangannya sampai saat ini masih menggerogoti perasaannya sampai sekarang. Ia mencoba pura pura baik-baik saja dengan menelan makanan di hadapannya mencoba terlihat tak terpengaruh oleh lagu itu.
Ini Nona punya mau, mau, mau...
Par bikin kantong dua tapele...
Dong datang kasih tau, tau, tau...
Kal Nona su ada yang kele...
“Ndan, baik-baik aja?” bisik Gilang hati-hati.
"Memang saya kenapa?" Tanya Abri, masih berusaha terlihat tenang.
Gilang melirik beberapa rekannya yang ternyata juga meliriknya. Ia lantas menggeleng.
Sementara itu...
Dico baru turun dari panggung dan disambut tatapan tajam dari Ibam.
Ibam mencolek lengannya "gak ada otak kau. Lagu berkabung komandan malah kau nyanyikan. Lihat aja besok mati kau di buatnya betol ku lah ko." Bisik Ibam gemas.
"Beta tra da lihat kalau komandan su datang." Jawab Dico tak enak hati karena ia tau letak kesalahannya dimana.
"Kepala bapak kau itu! Matamu baling hah?! gak nampak kau bilang? Orang setinggi tiang PLN kek gitu kau bilang gak nampak? Perlu di Bawak ke dokter mata ku rasa matamu ini ko."
"Lagi kan ko yang suruh Beta pung tambah punya lagu. Ya Beta bikin to." Dico malah tak terima.
"Iya, tapi gak lagu itu juga dong ko!" Gemas Ibam karena Dico malah melemparkan kesalahan itu padanya.
Sementara dua manusia itu masih sibuk adu mulut, suara Abri tiba-tiba muncul. "Jangan buat uang saya mubazir."
Ibam dan Dico langsung diam seribu bahasa. Menoleh ke arah Abri, lalu... cengengesan.
"Makan," ucap Abri singkat.
Jujur saja, mood-nya sudah hancur. Bukan karena terlalu baper. Tapi lagu itu... terlalu mewakili luka yang belum sembuh. Terlalu nyata. Dan terlalu menyakitkan, bahkan untuk dikenang.
...Haduh, perempuan mana yang menyakiti orang ganteng sepertimu bang Abri. Sini bang sama author aja, di jamin author bahagiain dunia akhirat....
kmren2 aq dukung ABRI mski msih galon ma masa lalunya tpi krna kjdian ini kok jdi agak ilfeel aq... trusan meremehkan bnget
tp juga bukan sepenuhnya salah abri. . .
kn yg jdi incaran jendral Hamzah...
penjahatnya aja yg bikin mereka semua terlibat.
semoga kedepannya mereka ber 3 dpt hidup jauh lebih baik...
dalam banget Thor 👍🏻👍🏻👍🏻