Salsabillah Khairunnisa Kirani, 25 tahun. Terpaksa harus menikah dengan Adrian Mangku Kusumo, 25 tahun. Karena perjodohan orang tua mereka, padahal mereka sama-sama memiliki kekasih.
Sabillah tak tahu mengapa Adrian selalu menuduhnya menjadi penyebab kehancuran Ajeng, kekasih Adrian.
Hingga di tujuh bulan pernikahan mereka, Sabillah melihat Adrian bersama wanita yang tengah hamil tua, dan wanita itu, kekasih Adrian.
Apakah Adrian sudah mengkhianati pernikahan mereka? Meski mereka sepakat untuk berpisah setelah dua tahun pernikahan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Isma Wati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kekasih Adrian
Sabillah tak putus asa, dipecat dengan alasan sepele dia tak terima, kesalahanya tidak fatal, ada yang lebih fatal darinya, tapi masih dipertahankan, dia bukan koruptor. Bergabung dengan perusahaan telekomunikasi bukan setahun dua tahun, dia tahu itu. Apalagi mereka yang memiliki keahlian khusus, pasti akan dipertahankan. Jadi Sabill menemui sendiri Mr. Kim yang ada dilantai 11, diatas satu lantai, dari lantainya, tanpa sepengetahuan pak Budiman.
Namun, Sabill harus menerima kenyataan pahit, jika pembelaanya ditolak mentah-mentah oleh atasan yang berasal dari negeri ginseng tersebut. Bukan karena kesalahan yang Sabillah buat, tapi karena juga sebulan ini Sabillah sering datang terlambat.
Sabill menyandarkan tubuhnya di kotak besi yang mengantarkanya ke lantai dimana ruangannya berada, meratapi nasibnya.
"Bill, gimana? Apa Mr. Kim mau menerima alasan kamu?" Vania langsung memberondong Sabillah dengan pertanyaan. Sambil berjalan gontai, Sabillah menjawab dengan gelengan kecil, mendudukkan pantatnya di kursi yang sudah lebih tiga tahun menemaninya.
Vania dan Edo ikut lemas melihat jawaban Sabilla.
"Pt Golden Royal, milik si cecunguk itu kan? Lo gak curiga semua ada campur tangan dia?" kata Edo, laki-laki dengan kemeja hitam itu menyender dikubikel kaca Sabill sambil melipat tangan di dada.
"Bener juga kata Edo, Bill. Bukanya kata Lo, sebulan ini dia selalu bikin drama, dan selalu buat Lo telat sampe kantor." Vania membenarkan ucapan Edo.
Sabill diam, memikirkan pendapat sahabatnya. Benar, kenapa dia sampai tidak kepikiran kesana? Dan yang membuatnya tertawa miris, mau maunya dia mengikuti perintah Adrian sebulan ini, sangat konyol bukan?
Tiga puluh menit berlalu, Sabillah selesai membereskan barang-barang yang ada di mejanya, dibantu Vania dan Edo.
"Selalu kasih kabar ke kita ya, jangan ngilang," ucap Vania memeluk tubuh kurus Sabill, dia terisak, sedih, harus dipaksa berpisah dengan sahabatnya, apalagi Sabill dipecat secara tidak hormat. Gaji terakhir tidak dibayar, tak ada pesangon juga, memang Sabill bukan anak orang susah, tapi seharusnya keloyalitasan Sabillah dihargai.
"Udah lama nggak meluk, lo berasa kerempeng banget," komen Vania, melepaskan pelukannya, meneliti tubuh Sabill dari atas hingga bawah, sambil tanganya mengusap wajahnya yang basah.
"Hubungan ini nggak normal, Lo harus jujur sama orang tua lo, Bill. Kalo suami lo," Edo menjeda ucapanya, mau bilang Adrian iblis, rasanya tak enak. "Orang-orangan sawah dikasih nyawa." Istilah itu yang akhirnya dipilih Edo.
Vania dan Sabillah tak bisa menahan tawanya dengan julukan Edo.
"Lo jangan diem aja, jangan nunggu sampe dua tahun juga, kita sebagai sahabat, nggak terima lo diginiin. Mau nuntut si makhluk itu, kita nggak punya bukti, mau ikut campur, bukan hak kita juga. Jadi kita cuma bisa ngomong ama ngedumel dibelakang doank." Vania berujar.
Sabill masih memberikan senyumnya. "Tenang, gue nggak selemah seperti yang kalian duga," Sabill menatap kedua sahabatnya bergantian. "Makasih atas dukungan kalian selalu. Gue seneng punya sahabat yang selalu ada kayak kalian, jangan lupain gue." Sabill mengambil kotak berisi peralatan kantor miliknya.
"Gue pamit, ya. Jaga diri kalian, jangan lama-lama sebar undanganya." Sabillah masih bisa membercandain Vania dan Edo.
"Iyuwww, kayak nggak ada cewek lain aja. Dia lagi, dia lagi." Edo selalu tak mau jika di jodohin dengan Vania.
"Do, sampe Sabill keluar juga Lo masih nolak gue. Please deh, tar gue pelet biar lo ngejar-ngejar gue, baru tahu rasa." Cibir Vania. Sabillah terkikik, dia pasti akan sangat rindu canda tawa sahabatnya ini.
"Udah ah, gue pulang. Kalian nggak ada yang mau nganterin gue untuk yang terakhir kalinya nih?" tanya Sabill menyipitkan sebelah matanya dengan kepala ditarik kebelakang. Dia pengin banget pulang diantar kedua sahabatnya hingga ke lobby kantor.
"Iya Bill, pasti kita anterin," sahut Vania cepat. "Gara-gara Lo sih, Do." Dia menyalahkan Edo.
"Iya, iya, salah Gue. Kalian yang salah juga, tetep aja gue yang disalahin." Gerutu Edo cemberut, itu membuat Vania gemas, dan mencubit pipi Edo.
* * *
Sebelum masuk ke taksi yang sudah menunggunya, Sabill mendongakkan kepala, melihat gedung dua puluh lantai, yang rutin ia datangi selama hampir empat tahun itu untuk mengais rejeki, dan juga pengalaman. Karena memang tujuan utamanya bekerja, bukan dipabrik papanya, untuk mencari pengalaman lain, yang tidak bisa ia dapat dipabrik papanya.
Kemudian Sabill memeluk Vania dan Edo bergantian, mereka sama-sama menahan air yang akan jatuh.
Sabill melambaikan tanganya dari balik jendela taksi, diikuti Vania dan Edo yang melepas kepergianya. Setelah mobil menjauh menerobos jalanan ibu kota yang padat merayap di jam kerja, barulah mereka sama-sama menumpahkan air mata yang sejak tadi ditahan. Sabill terguguh sepanjang perjalanan, tak menyangka jika dia harus berakhir karena ulah suaminya, suami diatas kertas lebih tepatnya.
Dia memikirkan apakah dia akan jujur saja pada orang tuanya, apa membiarkan ini hingga dua tahun kedepan? Tapi ... dia tak kuat lagi, Adrian sudah melewati batas.
Ditower Royal Golden. Adrian yang sudah dipercaya menjabat menjadi direktur utama setelah pernikahanya dengan Sabillah, duduk menyandarkan badan, sambil bicara dengan seseorang dari balik telepon.
"Sabillah sudah resmi dipecat, Pak Adrian. Sesuai keinginan Anda. Jadi, apa Anda jadi bekerja sama dengan perusahaan kami sebagai penyedia perangkat dan menanam modal yang tinggi?" tanya sekretaris Mr. Kim.
"Pasti, siapkan pertemuan ku dengan Mr. Kim. Aku tidak pernah ingkar dengan ucapan ku," jawab Adrian penuh keyakinan.
"Baik kalau begitu, Pak. Akan saya sampaikan ke Mr. Kim. Dan akan segera beri kabar secepat mungkin, waktu dan tempatnya." Telepon berakhir, Adrian sangat senang mendengar kabar Sabillah sudah dipecat, dia akan menghukum Sabillah dengan membuat Sabillah terus berada dirumah.
"Dia sudah mendapatkan hukuman yang setimpal, Ajeng. Aku tidak rela dia hidup bahagia, sedang kamu menderita. Sebab dialah kamu harus mengalami ini." Adrian meremas ponselnya, rasa bencinya pada Sabillah semakin besar, karena setiap hari, kesehatan mental Ajeng memburuk.
* * *
Dirumahnya.
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, Sabill belum tidur, dia menunggu Adrian pulang, tapi hingga dua jam berlalu, asap knalpot mobil Adrian pun tak terlihat. Sabill sudah menutup mulutnya berkali-kali, sekuat tenaga dia menahan matanya agar tak tidur.
Tapi, hingga dua hari berlalu, dan sudah memasuki pernikahan mereka yang ke tujuh bulan, laki-laki itu sama sekali tak menampakkan wajah menyebalkanya. Sabillah ingin menyusul kerumah mertuanya, tapi apa alasan dia menanyakan keberadaan Adrian? Bisa ketahuan dia jika bertanya tentang Adrian, sedangkan mereka tinggal bersama.
Sialnya lagi, Sabillah tak ada tahu satupun teman Adrian yang bisa ia tanyai keberadaanya.
Karena suntuk, Sabillah menelepon Vania dan Edo untuk diajak bertemu.
Direstoran roti dan kopi yang cukup terkenal ditanah air, yang tak jauh dari rumah Sabillah. Sabillah mengajak Vania, dan Edo bertemu.
Mereka memilih tempat duduk yang memperlihatkan jalanan raya, dindingnya dari kaca transparan, diseberangnya, terdapat rumah sakit yang menyatu dengan mall.
"Si kunyuk itu nggak pulang-pulang udah dua hari ini?" tanya Edo dengan mata melebar hampir keluar, setelah Sabillah menceritakan, jika Adrian tak pulang kerumah.
Sabillah mengangguk. "Biasanya dia tetap pulang tiap hari, meski kami nggak pernah saling sapa."
"Fix, dia sengaja menghindar. Dia tahu kalau dipecatnya Lo, ada hubungannya sama dia." Vania yang bicara. "Gila, sebel banget gue jadinya."
Sabillah menarik nafas. Dia apalagi, padahal dia ingin sekali memberi cap tangan dipipi makhluk menyebalkan seperti Adrian.
"Eh Bill, Bill." Edo mencolek tangan Sabillah yang ada diatas meja. "Gue emang nggak begitu paham sama muka orang-orangan sawah itu. Tapi gue pernah ngedit mukanya. Itu bukan sih suami lo?" Tunjuk Edo pada tiga orang yang baru keluar dari rumah sakit.
Vania dan Sabillah melihat arah yang ditunjuk Edo. Sabillah melihat, Adrian sedang mendorong kursi roda yang diduduki seorang wanita cantik dan masih muda, hanya saja, wanita itu terlihat pucat, disamping Adrian juga seorang wanita yang sudah cukup berumur.
"Dia hamil nggak sih?" celetuk Vania.
Pandangan Sabillah turun pada perut wanita yang duduk itu.
Degh.
Dada Sabillah langsung sesak, mukanya berubah pucat pasi, darah Sabillah seakan berhenti mengalir. Memang dia tak mencintai Adrian, tapi Adrian suaminya, melihat Adrian sudah punya istri, dan wanita itu hamil, hati Sabillah cukup sakit.
Berbagai pertanyaan muncul dikepala Sabillah.
Apa dia kekasih Adrian? Dia hamil? Anak Adrian?