Di balik gemerlap lampu malam dan dentuman musik yang memekakkan telinga, seorang gadis muda menyembunyikan luka dan pengorbanannya.
Namanya Cantika, mahasiswi cerdas yang bercita-cita menjadi seorang dosen. Namun takdir membawanya pada jalan penuh air mata. Demi membiayai kuliahnya dan membeli obat untuk sang ibu yang sakit-sakitan, Cantika memilih pekerjaan yang tak pernah ia bayangkan: menjadi LC di sebuah klub malam.
Setiap senyum yang ia paksakan, setiap tawa yang terdengar palsu, adalah doa yang ia bisikkan untuk kesembuhan ibunya.
Namun, di balik kepura-puraan itu, hatinya perlahan terkikis. Antara harga diri, cinta, dan harapan, Aruna terjebak dalam dilema, mampukah ia menemukan jalan keluar, atau justru terperangkap dalam ruang gelap yang semakin menelan cahaya hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Efi Lutfiah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Demi Ibu
Menjelang pagi, barulah Cantika bisa pulang. Tubuhnya sudah kembali berbalut pakaian semula, karena tak mungkin ia mendatangi rumah sakit dengan busana seksi yang dikenakannya semalam.
“Tika, nanti malam kamu harus sudah bisa melayani sendiri,” peringatan Jesika masih terngiang di telinganya. “Jangan kayak semalam. Mami Viola sampai marah besar.”
Cantika hanya mengangguk kecil, menahan sesak di dada. “Iya, Jes,” jawabnya pelan.
“Bagus. Sekarang istirahat. Nanti malam wajahmu harus lebih fresh.”
“Iya… aku pamit dulu.”
Tanpa banyak kata, Cantika segera keluar dari ruangan yang membuatnya seperti tercekik sepanjang malam. Langkahnya cepat, seolah ingin segera menjauh dari tempat itu. Ia langsung berjalan ke jalan utama untuk mencari angkot.
Udara pagi yang dingin menusuk kulit, tapi ada sedikit kelegaan dalam hatinya. Setidaknya hari ini ia bisa membawa pulang uang dua juta rupiah. Walau perasaan itu tak sepenuhnya utuh, bayangan semalam masih menghantui. Teguran, amarah, bahkan wajah pelanggan yang kecewa… semuanya masih jelas menempel di ingatannya.
Setibanya di rumah sakit, Cantika langsung melangkah menuju ruangan ibunya. Kakinya terasa lemas, tubuhnya lunglai karena semalaman tak tidur. Namun begitu pintu terbuka, ia memaksakan senyum.
“Ibu…” sapa Cantika, berusaha terdengar ceria meski ada sesak yang menekan dadanya.
Bu Hasna yang tengah berbaring menoleh. Wajah pucat itu menegang, matanya memancarkan kecemasan. “Tika, kamu baru pulang? Kenapa sampai sepagi ini, Nak?”
Jantung Cantika berdetak lebih cepat. Lidahnya kelu, pikirannya berputar mencari alasan yang masuk akal. Ia tak mungkin mengatakan kebenaran.
“Emm… anu, Bu… semalam ada pemotretan,” jawabnya kikuk.
“Pemotretan kok malam? Bukannya siang lebih bagus, kan? Cahaya matahari lebih terang,” tanya Bu Hasna polos, membuat Cantika makin gelisah.
Gadis itu refleks menggaruk kepalanya, menunduk sejenak sebelum tersenyum kaku. “Kalau malam suasananya lebih tenang, Bu. Jadi hasilnya lebih… bagus. Lagian pemotretannya di dalam ruangan kok, bukan di luar.”
Bu Hasna tampak berpikir sebentar, lalu mengangguk pelan. “Oh begitu… ya sudah, Ibu percaya.”
Cantika menarik napas panjang diam-diam. Senyum yang tadi ia paksakan kini terasa makin berat. Ada rasa perih menusuk, karena kebohongan kecil itu kembali ia tambahkan pada ibunya, satu kebohongan yang justru semakin membuat hatinya hancur.
“Permisi…” suara seorang laki-laki terdengar dari pintu. Seorang pria dengan seragam dokter masuk sambil membawa map pasien. Dialah Dokter Arkana.
Cantika yang tadinya duduk termenung langsung mendongak. Senyum tipis segera ia pasang, menutupi lelah yang tersisa.
“Bagaimana kondisi Ibu? Apa masih ada yang terasa sakit?” tanya Dokter Arkana ramah, lalu sempat melirik ke arah Cantika. Ia membalas senyum gadis itu sejenak sebelum kembali fokus.
“Pinggang saya masih sakit, Dok…” jawab Bu Hasna jujur, suaranya terdengar lemah.
Dokter Arkana mengangguk pelan, lalu mulai memeriksa denyut nadi dan kondisi tubuh Bu Hasna. “Pagi ini sudah minum berapa banyak?”
“Emm… baru satu gelas,” ucap Bu Hasna lirih.
Dokter Arkana tersenyum hangat. “Harus banyakin minum ya, Bu. Jangan malas, ini penting.”
Bu Hasna hanya mendengus pelan dan mengangguk.
“Oke, karena waktu semakin siang, kita mulai cuci darahnya sekarang.”
Cantika yang duduk di sisi ranjang segera menunduk hormat. “Iya, Dok. Lakukan yang terbaik untuk Ibu.”
Namun Bu Hasna menoleh pada putrinya dengan mata berkaca. “Tapi, Cantika… cuci darah itu biayanya mahal…”
Sesaat ruangan terasa sunyi. Cantika menggeleng cepat, menggenggam tangan ibunya erat-erat. “Cantika nggak peduli soal biaya, Bu. Yang penting Ibu sehat lagi.”
Ada getar dalam suaranya, sebuah keteguhan yang menyembunyikan rasa takut akan besarnya angka yang harus ia bayar.
Beberapa perawat masuk setelah Dokter Arkana memberi instruksi. Mereka mendorong ranjang Bu Hasna perlahan menuju ruang tindakan. Cantika ikut berjalan di sampingnya, menggenggam tangan ibunya erat-erat.
Di dalam ruangan, aroma obat langsung menusuk hidung. Mesin cuci darah sudah menyala, menimbulkan bunyi bip… bip… yang teratur. Jarum besar tampak menakutkan di mata Cantika, namun ia berusaha tetap tersenyum agar ibunya tidak semakin takut.
“Tenang saja, Bu. Prosesnya tidak lama,” ucap Dokter Arkana lembut, sambil memberi isyarat kepada perawat untuk menyiapkan lengan pasien.
Bu Hasna menoleh pada putrinya, wajahnya pucat. “Tika… Ibu takut.”
Cantika menelan ludah, lalu meremas tangan ibunya semakin erat. “Jangan takut, Bu. Cantika ada di sini. Semua ini demi kesehatan Ibu.”
Jarum perlahan menembus kulit, membuat Bu Hasna meringis. Cantika refleks memalingkan wajah, matanya berair, tapi ia segera menahan tangis. Ia tidak boleh terlihat rapuh di hadapan ibunya.
Mesin mulai bekerja, darah mengalir melalui selang bening. Suara alat terus berdenting, seakan menghitung setiap detik perjuangan mereka.
Dokter Arkana memantau layar monitor dengan tenang. “Bagus, kondisinya stabil. Proses ini akan memakan waktu beberapa jam. Cantika, kalau lelah silakan duduk dulu.”
Cantika menggeleng cepat. “Nggak, Dok. Saya akan tetap di sini.”
Ia menatap ibunya yang terbaring lemah, dan dalam hati berjanji: apa pun yang terjadi, ia akan terus berjuang. Meski harus mengorbankan dirinya sendiri, yang terpenting ibunya bisa terus bernapas dengan tenang.
Beberapa jam berlalu, suara mesin terus berdentang monoton, seakan menghitung setiap helaan napas Bu Hasna. Cantika tetap setia duduk di sisi ranjang, tak sekalipun melepaskan genggaman tangannya.
Peluh kecil muncul di keningnya, bukan karena lelah, melainkan karena hatinya yang terus diguncang rasa takut. Setiap kali ibunya meringis, jantung Cantika seolah ikut diremas.
Akhirnya, jarum perlahan dicabut. Perawat menempelkan kapas di lengan Bu Hasna, lalu menutupnya dengan plester. “Sudah selesai, Bu,” ucapnya lembut.
Dokter Arkana mendekat, memeriksa sebentar lalu mengangguk. “Alhamdulillah, prosesnya lancar. Tapi tubuh Ibu pasti terasa lemas. Tolong dijaga makannya, ya.”
Bu Hasna mengangguk pelan, matanya sayu. “Terima kasih, Dok…”
Cantika membantu membetulkan selimut ibunya. Namun begitu melihat wajah pucat itu, matanya langsung berkaca-kaca. Ia tersenyum, meski bibirnya bergetar. “Ibu istirahat saja. Jangan mikirin apa pun, biar Cantika yang urus semuanya.”
Bu Hasna mengelus tangan anaknya dengan lemah. “Nak… jangan terlalu capek cari uang. Ibu nggak mau kamu sengsara demi Ibu.”
Ucapan itu menusuk hati Cantika. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh juga. Ia menunduk, memeluk tangan ibunya erat-erat.
“Cantika nggak apa-apa, Bu… demi Ibu, Cantika sanggup ngelakuin apa aja.”
Setelah Bu Hasna tertidur lelah, Cantika pelan-pelan keluar dari ruang perawatan. Matanya masih sembap, langkahnya gontai. Begitu pintu menutup, ia terkejut mendapati Dokter Arkana sudah menunggunya di lorong.
“Cantika…” panggilnya dengan suara pelan.
Gadis itu buru-buru menyeka sisa air mata di pipinya, lalu mencoba tersenyum. “Iya, Dok?”
Dokter Arkana menatapnya dengan sorot mata penuh iba. “Kamu hebat, selalu ada di sisi Ibu. Tapi kamu tahu kan, biaya cuci darah tidak murah? Apalagi ini harus dilakukan rutin.”
Kata-kata itu seperti palu yang menghantam kepala Cantika. Ia hanya bisa menunduk, kedua tangannya saling meremas gelisah. “I-iya, Dok. Saya tahu… Tapi saya akan berusaha cari uangnya. Yang penting Ibu sehat.”
Arkana mendesah pelan. “Aku bisa coba bicarakan ke pihak administrasi soal keringanan biaya. Tapi tetap saja, tidak bisa hilang sepenuhnya.”
Cantika menatapnya, matanya kembali berkaca. Ada rasa terima kasih, tapi juga rasa takut. “Terima kasih banyak, Dok. Cantika benar-benar nggak tahu harus gimana lagi…”
Dokter Arkana menepuk pundaknya dengan lembut. “Kamu anak yang baik. Jangan sampai terlalu menekan diri sendiri, ya.”
Cantika hanya mengangguk, meski hatinya justru semakin remuk. Begitu Dokter Arkana melangkah pergi, ia menoleh sebentar ke pintu ruang ibunya. Air matanya jatuh lagi tanpa bisa ditahan.
Dalam hati, ia tahu, uang dua juta yang baru ia dapat semalam tak akan pernah cukup. Dan itu berarti, malam ini ia harus kembali menjalani semua hal yang membuatnya tercekik, demi satu-satunya orang yang paling ia cintai.