NovelToon NovelToon
Ini Cinta 365 Hari Atau Cinta 669 Masehi?

Ini Cinta 365 Hari Atau Cinta 669 Masehi?

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Time Travel / Transmigrasi ke Dalam Novel / Fantasi Wanita / Peramal / Cinta Istana/Kuno
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: Naniksay Nay

Kerajaan Galuh, sebuah nama yang terukir dalam sejarah tanah Sunda. Namun, pernahkah kita menyangka bahwa di balik catatan sejarah yang rapi, ada sebuah kisah cinta yang terputus? Sebuah takdir yang menyatukan seorang pangeran dengan gadis desa, sebuah janji yang terikat oleh waktu dan takdir.

Kisah tragis itu membayangi kehidupan masa kini Nayla, seorang wanita yang baru saja mengalami pengkhianatan pahit. Di tengah luka hati, ia menemukan sebuah kalung zamrud kuno peninggalan neneknya, yang membawanya masuk ke dalam mimpi aneh, menjadi Puspa, sang gadis desa yang dicintai oleh Pangeran Wirabuana Jantaka. Seiring kepingan ingatan masa lalu yang terungkap, Nayla mulai mencari jawaban.

Akankah di masa depan cinta itu menemukan jalannya kembali? Atau akankah kisah tragis yang terukir di tahun 669 Masehi itu terulang, memisahkan mereka sekali lagi?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naniksay Nay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 5 - Cinta Terputus Paksa

Di gerbang istana, matahari pagi memantulkan cahaya keemasan pada tembok batu. Derap kuda para prajurit sudah berbaris rapi. Wira berdiri di samping tunggangannya, mengenakan pakaian perang ringan. Sebelum naik, ia menoleh ke arah Puspa yang menunggu di sisi tangga.

“Puspa, aku pergi dulu, ya…” ucap Wira, sembari mengulurkan tangan, membelai rambut gadis itu lembut.

Puspa menggenggam jemarinya erat. “Hati-hati, Kakang. Jangan terpisah dari prajurit, dan jangan pula terpisah dari Kakang-Kakang Pangeran. Aku tak akan tenang bila kau lengah.”

Wira tersenyum kecil, matanya teduh. “Kau yang jangan terlalu khawatir. Justru aku yang lebih mengkhawatirkanmu bila ditinggal sendirian.”

Pangeran Suraghana, yang sejak tadi mengatur pelana kudanya, menyahut sambil tertawa. “Hei, hei! Kalian ini seperti pengantin baru saja. Aku jadi iri, ingin juga dilepas dengan tatapan penuh cinta begitu.”

Pangeran Sempakwaja ikut menimpali, suaranya penuh canda. “Ayolah, Wira. Kita hanya tiga hari tiga malam, bukan tiga purnama! Tak perlu drama perpisahan begitu.”

Puspa menunduk, pipinya memerah. Ia pura-pura membenarkan selendangnya, mencoba menyembunyikan rasa malu.

Suraghana melirik adiknya nakal. “Beri dia peringatan, Puspa. Jangan sampai dia pulang membawa Putri baru. Bisa panjang urusannya!”

Wira menepuk lengan Suraghana. “Kakang Suraghana, kau jangan meracuni pikiran Puspa.” Semua tertawa, menambah hangat suasana sebelum keberangkatan.

Wira akhirnya naik ke kudanya, menunduk sebentar pada Puspa. “Aku kembali sebelum kau sempat merindukanku terlalu lama.”

Puspa hanya tersenyum, menyimpan rasa haru yang tak diucapkan. Ia melambai sampai rombongan itu hilang di tikungan jalan.

Hari-hari berikutnya Puspa kembali ke rutinitas di kaputren: belajar menari, membatik, dan kadang sekadar duduk di serambi sambil membaca lontar. Namun hatinya sering melayang, membayangkan wajah Wira.

...Muslihat...

Menjelang hari ketiga, kabar kepulangan rombongan membuat hatinya berdebar. Namun sebelum Wira tiba, seseorang lain datang.

Kencana, dengan langkah anggun, memasuki kaputren. Bibirnya tersenyum manis, meski sorot matanya sulit ditebak. “Puspa, kau sibuk? Aku bosan belajar membatik sendiri. Mau ikut aku ke kediamanku? Kita bisa bercengkerama sambil berlatih.”

Puspa terkejut, tapi cepat menunduk hormat. “Tentu, Kencana. Aku senang bisa menemanimu. Lagipula, aku juga masih kaku membatik, siapa tahu bisa belajar darimu.”

Kencana tersenyum tipis, menepuk tangan Puspa. “Bagus. Denganmu, waktuku tak terasa sepi. Kita akan bersenang-senang bersama.”

Puspa mengikuti Kencana ke pendapa yang luas. Udara sore berhembus lembut, membawa aroma malam cair dan kain yang baru dipanaskan. Beberapa emban sibuk menyiapkan canting dan kain putih panjang.

Kencana duduk anggun, mengambil sehelai kain, lalu mulai menggambar pola. “Puspa, coba kau pegang canting ini. Lihat caraku, biarkan malam menetes perlahan, jangan tergesa.”

Puspa menirukan, tapi tetesan malamnya justru meleber. Ia buru-buru menutup mulut, menahan tawa. “Aduh, jariku ini seperti tak mau menuruti perintah. Canting ini nakal, Kencana.”

Kencana tersenyum kecil, menoleh sekilas. “Bukan cantingnya yang nakal, tapi hatimu yang terlalu berdebar. Kau harus tenang, Puspa.”

Puspa menatapnya polos. “Benarkah? Aku kira aku tak akan pernah bisa seanggun kau.”

“Jangan merendahkan dirimu. Kau punya keindahan yang berbeda… meski, tak semua orang akan menerimanya.”

Puspa terdiam sejenak, lalu mencoba mencairkan suasana. “Kalau suatu hari kain batikku jadi bagus, kau yang pertama harus memakainya, ya.”

Kencana tertawa lembut, lalu mengusap pipinya dengan ujung jarinya—gerakan yang manis, tapi tatapannya menyimpan sesuatu yang dingin. “Tentu saja, Puspa. Aku akan memakainya dengan bangga.”

Beberapa emban mulai masuk satu per satu, membawa baki berisi kudapan sore: onde-onde yang baru digoreng, serabi hangat, dan cawan wedang jahe. Lampu minyak berkelip lembut, menebarkan bayang-bayang di kayu pendapa. Kencana berdiri anggun; suaranya manis saat memanggil.

“Ah, sudah sore. Kita siapkan makanan untuk jamuan kecil. Kau mau membantuku, bukan?” katanya sambil tersenyum.

Puspa mengangguk riang, matanya berbinar. “Tentu. Aku senang bisa membantu.”

Mereka duduk melingkar; suasana ringan, tawa kecil mengisi sela-sela obrolan. Emban-emban mulai mencicipi—seperti biasa, ramuan rempah dan gula membuat suasana hangat. Namun, kehangatan itu runtuh dalam sekejap.

Seorang emban tiba-tiba tersedak. Tubuhnya berguncang, kedua tangannya meraih leher. Air liur berlumuran bibirnya yang mengeras. Ia roboh, menimpa lantai kayu dengan bunyi yang memekakkan.

Seketika, yang lain menatap heran, lalu batuk keras, darah memercik dari mulut. Satu per satu mereka kejang, tubuh menyentak tak terkendali, napas terhenti seperti lilin yang ditiup angin. Piring-piring jatuh pecah, bau rempah yang semula menggoda kini tercampur dengan bau besi dan takut.

Kencana menjatuhkan mangkuknya sendiri, berpura-pura terperanjat. Air matanya mengalir dramatis. “Tidak! Apa ini? Siapa berani melakukan ini?!” Ia menjerit seakan-akan baru sadar.

Tatapan Kencana beralih cepat, penuh tuduhan. Dengan suara yang dibesarkan agar sampai ke setiap sudut pendapa, ia menunjuk Puspa. “Ini pasti ulah Puspa! Dia anak dukun — dia yang tahu racun dan ramuan seperti ini!”

Semua kepala berputar; mata yang tadi bersahabat kini berubah menjadi tombak. Puspa meraih udara, suaranya nyaris putus. “Tidak! Aku tak mengerti… Kumohon, beri aku kesempatan untuk menolong mereka! Aku bisa mencari penawarnya—”

Namun teriakan dan bisik-bisik menenggelamkan permohonannya. Prajurit yang sudah diberi isyarat masuk menyeretnya keluar. “Tangkap dia! Dia dukun! Anak dukun jahat!” sebuah suara membahana, diikuti sorak massa.

Jagatpati menempatkan dirinya di depan kerumunan, wajahnya keras seperti pilar batu. Ia mengangkat tangan, suaranya dingin dan pasti. “Lihatlah sendiri, rakyat Galuh! Gadis ini membawa maut. Bila dibiarkan, ia akan meracuni keluarga kerajaan. Hukumannya tentu: mati!”

Puspa roboh berlutut, tubuhnya lemah. Emban pribadinya, yang setia selama ini, maju, suaranya gemetar penuh keberanian. “Ampun...Tuan Jagatpati, mohon! Bawa perkara ini ke pengadilan kerajaan. Biarlah Yang Mulia Raja Wretikandayun yang memutuskan. Jangan hukum di sini!”

Kerumunan mendesak; amarahnya lebih kuat daripada alasan. “Tidak! Ini wilayah Jagatpati! Kami yang berhak menegakkan hukum di sini!” seru mereka, mata menyala, lidah bernyala-nyala dengan kebencian yang baru disulut.

Emban yang membela Puspa didorong mundur, lalu ia berpaling dan berlari—meski menghantam tanah, napasnya tersengal. dengan langkah tergesa, ia menembus kerumunan membawa berita itu ke abdi kepercayaan Wira; kabar bahwa Puspa ditangkap dan akan segera diadili — bahkan dihukum — di alun-alun Jagatpati harus segera sampai ke para Pangeran dan Raja.

Di alun-alun, tiang sudah disiapkan. Orang-orang berkumpul, obor dinyalakan, sorak menggema seperti gelombang waktu yang memanggil ajal. Puspa, yang tadi masih berlega hati membatik dan bercanda, kini diikat erat pada tiang, rambutnya berantakan, wajahnya pucat namun matanya tetap berkilau—sebuah cahaya kecil yang menolak padam.

...Terlambat...

Air mata mengalir deras di pipi Puspa. Bukan karena takut akan mati, melainkan karena kerinduannya. Dalam hati ia merintih lirih, “Wira… aku ingin melihatmu sekali saja sebelum aku mati.”

Di perbatasan, seorang abdi dalem berlari tergopoh-gopoh, napasnya hampir habis. “Tuanku! Putri Puspa… dituduh meracuni para emban! Ia… ia akan dibakar hidup-hidup!”

Langkah Wira terhenti. Dunia seakan beku. Darahnya berhenti mengalir, matanya membelalak tak percaya. Lalu tanpa pikir panjang, ia melompat ke pelana kuda dan memacu tunggangannya secepat angin badai.

Jangan terlambat… kumohon, jangan terlambat.

Genderang perang seakan bertalu di dadanya. Jantungnya berdentum lebih keras dari derap kuda yang menghantam tanah.

Saat ia tiba di alun-alun, api sudah menjilat tiang. Asap hitam mengepul, melayang ke langit senja yang muram. Di balik kepulan itu, Wira melihat wajah yang dicintainya. Sayu. Pasrah. Namun tetap secantik cahaya bulan.

“PUUUSPA!!” teriaknya, suaranya pecah menyayat udara. Ia berlari hendak menerobos api.

Jagatpati sudah menunggu, bersama prajuritnya. Mereka menahan Wira dengan paksa.

“Lepaskan aku! Lepaskan! Dia tidak bersalah! Puspa!!” Wira meraung, air matanya tumpah, tubuhnya bergetar hebat.

Jagatpati menghardik, matanya menyala dingin. “Jaga wibawamu, Wira! Gadis itu pembawa sial. Kau ingin Galuh hancur karena cinta buta?”

“Tidak!” Wira berontak, suaranya pecah. “Dia bukan pembawa sial! Dia bisa menyembuhkan! Dia bisa membuat obat! Lepaskan dia!”

“Diam! Dia anak dukun! Pembunuh rakyat kita!” seru Jagatpati, suaranya menggema di tengah kerumunan.

Wira berusaha melepas cengkeraman pamannya. Di balik asap tebal, mata Puspa menatapnya. Ada keputusasaan di sana, tapi juga sesuatu yang lain—bisikan diam yang hanya Wira mengerti: “Aku mencintaimu.”

Amarah Wira meledak. Ia menghantam pamannya, melepaskan diri dari cengkeraman prajurit, dan berlari ke arah api. Namun bara sudah terlalu tinggi. Lidah api menjilat tubuh Puspa, perlahan melahapnya. Senyum terakhirnya menghilang, tertelan asap.

“PUSPA!” teriak Wira, suaranya koyak, nyaris ikut terbakar bersama gadis itu.

Dua kuda datang melesat. Suraghana dan Sempakwaja, kakak-kakaknya, menarik Wira dengan paksa, menyelamatkannya dari jilatan api.

“Tenang, Wira! Kita akan cari keadilan!” seru Suraghana, menggenggam bahu adiknya dengan tegas.

“Kuatkan hatimu, adikku,” bisik Sempakwaja, menahan tubuh Wira yang meronta putus asa.

Namun di mata Wira hanya ada api. Api, Puspa, dan perpisahan yang tak sempat diucapkan.

...Rasa Sakit yang Sama...

Nayla terbangun dari tidurnya, napasnya terengah. Air mata membasahi pipinya. Tangannya meremas dada, seakan menahan luka yang tak tertahankan.

Rasa sakit itu begitu nyata. Sakit kehilangan, sakit cinta yang terputus paksa—seolah ia bukan Nayla, melainkan Puspa… yang mati terbakar, meninggalkan cinta di tengah kobaran api.

1
SENJA🍒⃞⃟🦅
keris kak? bukan kujang?
Naniksay Nay: betul sekali kak... sbnrnya naskah awal saya kujang... krn literasi Galuh dan Padjajaran, ada Guru Teupa yang membuat Kujang tapi trs ada tmn yg baca, dng beberapa pertimbangan...ya trs begitu...nanti kak selesai bab 30 sy masukin beberapa plot, skalian balikin ke teks awal
total 1 replies
SENJA🍒⃞⃟🦅
hmmm ini adegan yang lalu kan? ini dari sudut wisnu yang jadi wira 😳
SENJA🍒⃞⃟🦅
laaah kesurupan dia eh mimpi juga dia 🤣
SENJA🍒⃞⃟🦅
kok bisa main pergi gitu aja , kasian kan rendi 😤
SENJA🍒⃞⃟🦅
waddduh ...apa dia turunan jagatpati? weeeh 😳
SENJA🍒⃞⃟🦅
jadi ketagihan mimpi🤭
Irmha febyollah
lanjut kk
SENJA🍒⃞⃟🦅
ya balon gas yang tetiba gas nya dibuang yah .... pupus harapmu
SENJA🍒⃞⃟🦅
wah yah bagus itu jalurnya nay ikutin rendi aja kamu kan tinggal molor doang 🤭
SENJA🍒⃞⃟🦅
berdebar karena rendi atau wira? 😂😂😂
SENJA🍒⃞⃟🦅
modusmu diskusi padahal kencan 😂
SENJA🍒⃞⃟🦅
ihhh jagatpati, itu isterimu lhooo astaga jahatnya. kamu kencana durhaka banget ke ibu sendiri😤
SENJA🍒⃞⃟🦅
waaah penghinaan ini ngatain rajanya bodoh! wah hukum mati aja udah 😂
SENJA🍒⃞⃟🦅
hilih belangmu terlihat 😂 lagian wira ga mau sama anakmu lho 🤭
SENJA🍒⃞⃟🦅
bukannya dewi parwati dari kalingga yak? nanti mandiminyak sama parwati jadi penguasa kalingga utara atau bumi Mataram 🤭
Naniksay Nay: thx kak...

betul kak...
Pangeran Mandiminyak atau Prabu Suraghana atau Suradharmaputra emang berkuasa didua negara, yaitu Kerajaan Kalingga (Jawa Tengah dan Jawa Timur) dan Kerajaan Galuh (di Tatar Sunda).

hanya saja disini biar bisa menggambarkan aja bahwa Sempakwaja dan Mandiminyak itu saling terkait...

sama kaya Pangeran Jantaka, saya tambahkan nama Wirabuana krn dibuat cinta2an biar ga diprotes ahli sejarah, masa resi love2an ....
total 1 replies
SENJA🍒⃞⃟🦅
udah banyak buktinya itu jagatpati, serang aja daerahnya kan sempakwaja penguasa Galunggung , ehh belom kejadian yah 😂
Naniksay Nay: 😭nggak bs kak.... bs2 dia di killkill jg sm pamannya
total 1 replies
SENJA🍒⃞⃟🦅
naaah ini jejak yang di hilangkan 😳
SENJA🍒⃞⃟🦅
hilih jahatnya kamu 😤 wira mana mau sama kau
SENJA🍒⃞⃟🦅
hmmm bener kan jahat dia ini si kencana 😳
Naniksay Nay: jangan ditemenin dia kak... bapaknya jahat🤭
total 1 replies
SENJA🍒⃞⃟🦅
hmmm kencana ini nampaknya jahat ini 🥺😳
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!