Restu? lagi-lagi restu yang jadi penghalang, cinta beda agama memang sulit untuk di satukan, cinta beda alam juga sulit untuk di mengerti tetapi cinta terhalang restu berhasil membuat kedua belah pihak dilema antara maju atau mundur.
Apa yang akan dipilih oleh Dirga dan Klarisa, karena cinta terhalang restu bukanlah hubungan yang bisa dikatakan baik-baik saja untuk keduanya.
Ikuti kisah mereka didalam novel yang bertajuk "Melawan Restu".
Salam sehat
Happy reading
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Goresan_Pena421, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Masa Lalu yang tiba-tiba datang
Hubungan Dirga dan Klarisa sedang berada di ujung tanduk, mereka bingung harus bagaimana, ditambah ibunda Dirga yang juga tak kunjung memberi alasan pasti mengapa ia tidak setuju dengan hubungan putranya, dan ditengah-tengah kerumitan ini masa lalu Dirga datang kembali menghampiri Dirga yang tengah dilanda kebingungan dalam menjalani hubungannya dengan Klarisa.
Tingtong..... Tingtong.....
Bel rumah Dirga bergema dan ibundanya yang membukakan pintu dan betapa terkejutnya ibunda Dirga saat pintu dibuka menampakan Lea mantan kekasih Dirga yang telah lama hilang kabar.
"Bunda, Lea pulang bunda," ucap Lea sambil memeluk ibunda Dirga.
"Lea, akhirnya kamu pulang," ucap ibunda Dirga.
" Iya bunda, Lea sudah selesai kuliah dan kini balik ke Indonesia lagi, tapi sepertinya Mas Dirga sudah punya kekasih ya bunda?" ucap Lea.
"Tapi bunda tidak merestui hubungan mereka, karena bunda hanya ingin Dirga menikah dengan wanita pekerja keras seperti mu nak, " ucap ibunda Dirga.
" Iya bunda, saat ini Lea juga sudah mulai bekerja di perusahaan milik om Angga, yang baru saja grand opening bun, jadi habis wisuda Lea langsung pulang dan mengurus persyaratan untuk melamar kerja di perusahaan om Angga, dan kini Lea sudah kerja disana sebagai HRD bun, emm mas Dirganya dimana ya bunda?" ucap Lea panjang lebar.
"Wah hebat banget kamu nak, makanya bunda hanya ingin Dirga menikahi wanita pekerja keras seperti mu, Dirga sedang di gereja nak kerja sebagai koster,"ucap ibunda Dirga.
"Oalah mas Dirga masih betah jadi koster ya bunda? Kenapa tidak cari pekerjaan lain saja?" ucap Lea.
"Dirga kalau sudah memilih satu ya satu nak, tapi untuk sambilan Dirga juga menjadi driver dijalan nak, ya buat uang jajannya saja,"ucap ibunda Dirga.
Senja mulai turun ketika lonceng gereja berdentang. Dirga masih setia di dalam, merapikan bangku-bangku dan menyapu altar. Keringatnya menetes, tapi wajahnya tampak tenang. Baginya, bekerja sebagai koster bukan hanya pekerjaan, melainkan panggilan hati.
Namun sore itu, ada sesuatu yang berbeda. Dari arah pintu masuk gereja, seorang jemaat mendekat dan berbisik,
“Mas Dirga, barusan ada telepon masuk dari rumahmu. Katanya penting sekali.”
Dirga mengangguk cepat. Ia mengusap keringat, meraih ponselnya, lalu melihat panggilan tak terjawab dari ibunya.
“Kenapa Bunda nelpon berkali-kali?” gumamnya pelan.
Belum sempat ia menekan nomor balik, ponselnya kembali berdering.
“Dirga, Nak, pulanglah cepat,” suara ibunya terdengar ceria di seberang.
“Ada apa, Bun? Suara Bunda kok senang sekali?”
“Pulang saja. Bunda janji kamu bakal kaget.”
Dirga mengernyit bingung, tapi ia menuruti. Ia berpamitan sebentar kepada rekan kosternya, lalu bergegas pulang dengan hati penuh tanda tanya.
Sesampainya di rumah, langkahnya terhenti di depan pagar. Ia melihat ibunya duduk di ruang tamu bersama seorang perempuan. Sosok itu membuat darahnya berdesir.
“Lea?” lirihnya tak percaya.
Perempuan yang pernah begitu ia cintai, yang dulu pergi tanpa kabar, kini duduk dengan anggun sambil tersenyum.
“Mas Dirga...” ucap Lea lirih.
Dirga membeku. Tangannya bergetar. Semua kenangan masa lalu yang ia paksa lupakan kini muncul kembali—senyum Lea, janji-janji yang pernah terucap, sekaligus luka saat Lea tiba-tiba menghilang tanpa penjelasan.
“Lihat, Nak,” ujar ibunya riang. “Lea sudah pulang dari luar negeri. Sekarang dia kerja di perusahaan besar, jadi HRD. Pantaslah Bunda selalu bilang, hanya perempuan pekerja keras seperti Lea yang cocok untukmu.”
Dirga menatap ibunya dengan mata tajam. “Bunda...” suaranya berat, “kenapa Bunda bicara begitu? Bukankah Bunda tahu aku sudah bersama Klarisa?”
Ibunya hanya mengangkat dagu. “Bunda tidak pernah merestui hubunganmu dengan Klarisa. Sekarang lihatlah, Lea jauh lebih pantas.”
Hati Dirga seperti diremas. Ia ingin marah, tapi tak bisa di depan Lea.
Malam itu, suasana makin canggung. Lea banyak bercerita tentang pengalamannya kuliah di luar negeri, pekerjaannya, juga betapa ia bangga bisa kembali ke Indonesia. Ibunda Dirga tertawa senang, sesekali memuji Lea.
Dirga hanya diam, pikirannya melayang. Setiap kata Lea menusuk telinganya, bukan karena benci, tapi karena luka lama yang kembali terbuka.
Ponselnya bergetar. Nama Klarisa muncul. Hatinya makin berdegup.
“Maaf, aku angkat dulu,” katanya buru-buru lalu keluar ke teras.
“Halo, Ris?”
“Ga, kamu sibuk?” suara Klarisa lembut, tapi terdengar lelah.
“Nggak, aku lagi di rumah. Ada apa?”
“Entah kenapa... aku merasa kamu makin jauh. Mungkin karena kita LDR, aku jadi sering cemas. Kamu jarang cerita akhir-akhir ini.”
Dirga menghela napas panjang. Ia menatap ke dalam rumah, di mana Lea masih duduk dengan ibunya. “Ris, aku... lagi bingung.”
Klarisa terdiam lama. “Bingung? Bingung karena aku, atau karena seseorang kembali ke hidupmu?”
Pertanyaan itu membuat Dirga tercekat. Ia tahu Klarisa terlalu peka.
“Ris, tolong percaya sama aku,” ujarnya akhirnya. “Aku sayang sama kamu.”
Tapi sebelum Klarisa bisa menjawab, suara ibunya terdengar dari dalam. “Dirga! Antar Lea pulang dulu.”
Klarisa mendengar jelas nama itu. Suaranya berubah serak.
“Lea...? Jadi benar. Dia kembali?”
“Ris, aku bisa jelasin—”
Tuut... sambungan telepon terputus.
Keesokan harinya, Dirga mencoba menghubungi Klarisa berkali-kali, tapi tak ada jawaban. Ia tahu, hubungannya sedang berada di ujung tanduk. Klarisa jauh di kota lain, hanya bisa menebak-nebak dari kejauhan. LDR yang mereka jalani makin berat dengan kehadiran Lea yang tiba-tiba kembali.
Sementara itu, Lea semakin sering berkunjung ke rumah Dirga. Ia membantu ibunda Dirga memasak, bahkan kadang membawakan oleh-oleh. Semua itu membuat ibunda Dirga semakin yakin hanya Lea yang pantas jadi menantunya.
“Lihat, Nak,” ujar ibunya suatu malam. “Lea tidak hanya pintar, dia juga tahu cara menghormati orang tua. Bunda ingin kamu serius dengan dia.”
“Bunda, tolong jangan campuri hidupku. Aku sudah memilih Klarisa,” jawab Dirga keras.
“Pilihlah dengan logika, bukan hanya hati! Klarisa itu apa? Dia jauh, kerjaannya biasa saja, tidak ada masa depan cerah. Kamu hanya buang waktu dengannya.”
“Bunda!” Dirga membentak, membuat ruangan hening. “Jangan hina dia. Klarisa lebih tulus dari siapa pun.”
Lea yang kebetulan mendengar percakapan itu hanya menunduk. Namun senyum tipis sempat muncul di bibirnya.
Hari berikutnya, Klarisa akhirnya memberanikan diri menelpon lagi. Suaranya terdengar serak, jelas habis menangis.
“Ga, aku nggak sanggup kalau harus bersaing dengan masa lalumu. Apalagi ibumu sendiri lebih pilih Lea daripada aku.”
“Ris, jangan bilang gitu. Kamu tetap yang aku cintai.”
“Tapi kalau ibumu nggak pernah restu, apa kamu yakin kita bisa bertahan? Aku lelah, Ga. Aku takut kamu akhirnya lebih pilih dia...”
Dirga tak bisa menjawab. Kata-kata Klarisa benar. Ia memang ragu.
Beberapa hari kemudian, Klarisa mengirim pesan singkat.
“Ga, aku mau ketemu. Aku akan datang ke kotamu.”
Dirga membalas cepat. “Baik, aku tunggu.”
Namun di sisi lain, Lea yang mendengar kabar itu melalui ibunda Dirga, justru menanggapi dengan tenang.
“Biar saja dia datang. Justru saat itu, Mas Dirga akan sadar siapa yang lebih pantas.”
Hari pertemuan pun tiba. Klarisa turun dari bus dengan wajah lelah, tapi matanya penuh tekad. Ia ingin memperjuangkan cintanya, meski harus menghadapi Lea sekalipun.
Di depan gereja tempat Dirga bekerja, Klarisa menunggu. Tak lama kemudian, Dirga muncul dengan langkah terburu. Senyum lega sempat muncul di wajah Klarisa.
Namun senyum itu langsung pudar ketika Lea tiba-tiba datang, berdiri di samping Dirga, seolah memang milik yang sah.
“Kamu pasti Klarisa,” ucap Lea dengan nada ramah tapi menyengat. “Akhirnya kita bertemu juga.”
Klarisa menatapnya dengan mata berkaca-kaca, lalu menoleh pada Dirga.
“Jadi ini yang selama ini kamu sembunyikan? Dia... bersama ibumu... dan sekarang, berdiri di sampingmu?”
Dirga tercekat. Ia ingin menjelaskan, tapi lidahnya kelu.
Hujan tiba-tiba turun deras, menambah dramatis suasana. Klarisa berdiri basah kuyup, menunggu jawaban. Lea di sisi lain menatap dengan tenang, yakin pada posisinya.
“Dirga...” suara Klarisa bergetar, “pilih aku... atau dia.”
Dirga terdiam. Pandangannya berpindah dari Klarisa ke Lea, lalu kembali lagi.
Hatanya bimbang, pikirannya kacau.
Eaakk🤭😂