Anara adalah siswi SMA berusia 18 tahun yang memiliki kehidupan biasa seperti pada umumnya. Dia cantik dan memiliki senyum yang manis. Hobinya adalah tersenyum karena ia suka sekali tersenyum. Hingga suatu hari, ia bertemu dengan Fino, laki-laki dingin yang digosipkan sebagai pembawa sial. Dia adalah atlet panah hebat, tetapi suatu hari dia kehilangan kepercayaan dirinya dan mimpinya karena sebuah kejadian. Kehadiran Anara perlahan mengubah hidup Fino, membuatnya menemukan kembali arti keberanian, mimpi, dan cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aulia risti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5
Anara tersenyum menatap Fino, dan kali ini, tatapan itu berbalas. Akhirnya, setelah begitu lama, Fino kembali merasa sedikit lebih hidup.
“Anara...” panggilnya lirih.
“Ehmm?” sahut Anara pelan.
"Apa kita bisa berteman?"
Sejenak Anara terdiam, matanya membelalak pelan. Lalu, senyum itu kembali merekah, lebih hangat dari sebelumnya.
“Akhirnya... akhirnya,”
Tanpa sadar, jemarinya meraih tangan Fino, menggenggamnya erat.
Namun Anara segera tersadar, dia telah mengengam tangan Fino, Anara ingin menarik nya, tapi Fino tidak menolak, dia justru menarik tangan Anara, menggenggam lebih erat.
sudut bibir Fino lagi-lagi terangkat. Dia tersenyum tipis.
sepertinya Anara berhasil membuat Fino luluh.
“Kalau begitu...” suara Anara bergetar, namun senyum tak pernah lepas dari bibirnya, “mulai sekarang kamu nggak boleh menghindar dariku lagi.”
Fino terdiam sejenak. Pandangannya jatuh pada jemari Anara yang masih bertaut dengan miliknya. Ia menghela napas, lalu mengangguk pelan.
“Aku akan mencoba,” jawabnya singkat.
Anara menunduk, berusaha menyembunyikan rona bahagia yang merona di wajahnya. Dia tidak bisa berbohong jika sangat bahagia.
Namun senyum itu seketika pudar saat suara berat mengagetkan mereka.
“Kalian berdua sedang apa di sini?”
Anara dan Fino sontak melepaskan genggaman tangannya. Pak Guru berdiri tak jauh dari mereka, menatap dengan sorot tajam.
“Eh... anu, Pak...” Anara terbata, wajahnya memerah.
“Jam pelajaran malah asyik sendiri. Kalian pikir saya tidak melihat?” nada Pak Guru terdengar tegas.
Fino menunduk dalam, suaranya pelan. “Maaf, Pak.”
“Tidak ada maaf. Setelah jam istirahat nanti, kalian berdua bersihkan lapangan. Mengerti?”
“Bersihkan... lapangan?” Anara terbelalak.
Pak Guru hanya mengangguk singkat sebelum kembali berjalan pergi.
Anara menghela napas panjang, lalu melirik Fino yang tetap diam. “Gara-gara kamu, nih,” bisiknya kesal.
Fino menoleh, sudut bibirnya terangkat samar. “Kamu yang genggam tangan aku duluan.”
“Ya tapi... kamu kan bisa nolak,” balas Anara,
Fino tidak lagi menjawab, tapi dari sudut matanya jelas terlihat ada senyum yang dia sembunyikan.
**
Jam istirahat berakhir, murid-murid kembali ke kelas. Namun Anara dan Fino justru berjalan menuju lapangan dengan sapu di tangan.
“Aduh... panas banget lagi,” keluh Anara sambil mengibas-ngibaskan tangan ke wajahnya.
Fino tetap cuek dengan ekspresi wajahnya yang datar, namun setiap geraknya menunjukkan betapa pekanya ia terhadap Anara. Hanya dengan sekali tatap, ia bisa tahu gadis itu mulai kelelahan.
“Duduklah di sana. Biar aku yang bersihkan,” ucap Fino singkat.
Anara mengerjap, menatapnya heran. “Tapi, Fino... nanti kamu capek.”
Fino berhenti sejenak, lalu menoleh pada Anara.
“Ini salahku. Kalau kamu tidak mengejar dan berusaha menghiburku, semua ini tidak akan terjadi.”
Sebelum Anara sempat membantah, Fino sudah mengambil alih sapu dari tangannya. Gerakannya tegas, seakan tak memberi ruang bagi Anara untuk menolak.
Anara hanya tersenyum, matanya tak lepas dari sosok Fino yang kini tengah menyapu lapangan dengan tenang.
Tiba-tiba, langkah seseorang berhenti tak jauh darinya. Bagas. Ia memandang dengan dahi berkerut, jelas terkejut melihat pemandangan itu.
“Nar... Anara?” panggilnya.
Anara menoleh cepat, lalu bergegas menghampiri Bagas. “Ada apa?” tanyanya ringan.
“Kalian... dihukum?” Bagas menunjuk ke arah Fino yang masih menyapu.
Anara mengangguk singkat.
“Bagaimana bisa?”
Alih-alih menjawab, Anara justru tersenyum. Tatapannya kembali terarah pada Fino—
"Wah, baru kali ini aku lihat orang dihukum malah seneng." celetuk Bagas saat Anara hanya diam menatap Fino dan tidak menjawab pertanyaan nya.
Bagas akhirnya menghela napas, lalu menepuk pundak Anara singkat.
“Ya udah, aku balik dulu. Jangan kelamaan di sini.”
Anara hanya mengangguk sambil tersenyum. Setelah Bagas pergi, lapangan kembali terasa sunyi, hanya suara sapu yang bergesek dengan tanah.
Anara menatap Fino lama, pikirannya penuh dengan rasa ingin tahu. Gosip yang ia dengar dari teman-teman masih terngiang—tentang Fino yang pernah jadi atlet panah, tapi kemudian berhenti mendadak.
“Fino...” panggilnya hati-hati.
“Hm?” sahut Fino singkat, tetap fokus dengan sapunya.
“Aku boleh tanya sesuatu?”
Fino berhenti sejenak, menoleh dengan wajah datar. “Tanya saja.”
Anara menggigit bibirnya, ragu sejenak.
“Kenapa kamu berhenti jadi atlet panah?”
Pertanyaan itu membuat suasana mendadak hening. Fino terdiam, tatapannya kosong ke arah lapangan. Jemarinya menggenggam gagang sapu lebih erat.
Anara langsung menyesal. “Maaf... kalau kamu nggak mau jawab, nggak apa-apa kok,” katanya buru-buru.
“Selama ini aku sudah banyak kehilangan orang-orang yang aku sayangi. Menjadi atlet... mungkin bukan pilihan yang baik, untuk seseorang sepertiku yang akhirnya hanya akan menyakiti mereka.”
Ucap Fino Wajahnya tetap datar, tapi jelas—ada luka dalam yang tersimpan di balik tatapannya.
Anara terdiam. Ia bisa merasakan beratnya kata-kata itu, meski Fino mengucapkannya dengan nada tenang.
“Maksud aku...” Fino menarik napas panjang, lalu melanjutkan dengan suara yang lebih pelan, “bukankah lebih baik tidak menyakiti siapa pun, hanya karena keinginanku mengejar mimpi?”
“Tapi... bukankah kehilangan mimpimu juga bisa menyakitimu sendiri, Fino?”
Fino menoleh pelan, menatap Anara dengan mata yang sayu, seolah mencari jawaban yang tak pernah ia temukan.