Milea, Gadis yang tak tahu apa-apa menjadi sasaran empuk gio untuk membalas dendam pada Alessandro , kakak kandung Milea.
Alessandro dianggap menjadi penyebab kecacatan otak pada adik Gio. Maka dari itu, Gio akan melakukan hal yang sama pada Milea agar Alessandro merasakan apa yang di rasakan nya selama ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SelsaAulia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Tok… tok… tok…
“Gio, makan malam sudah siap!” seru Gisela dari balik pintu, suaranya bergema lembut di lorong yang sunyi.
Gio, yang tertidur pulas di balik selimut tebal, tersentak. Tubuhnya langsung menegang, lalu dengan sigap ia bangun.
Milea, yang berbagi kamar dengannya, mendengus kesal. Ia menyaksikan Gio bergerak dengan kecepatan yang luar biasa, kecepatan yang hanya muncul saat Gisela memanggil.
“Cih, bisa-bisanya dia langsung sigap begitu mendengar suara wanita itu,” gumam Milea, bibirnya mengerucut. Kecemburuan menusuk hatinya seperti jarum.
Gio membuka pintu kamar. Gisela berdiri di sana, siluetnya diterangi cahaya remang dari lampu lorong.
Rambutnya yang panjang terurai, wajahnya yang cantik memancarkan kelembutan. Senyum tipis menghiasi bibirnya.
“Gio, makan malam sudah siap. Ayo ke bawah,” ajaknya, suaranya seperti alunan musik yang menenangkan.
Gio menjawab dengan datar, “Hmm, tunggu aku di bawah. Aku akan segera menyusul.” Ekspresinya tak menunjukkan sedikit pun rasa antusiasme.
Ia kembali masuk ke kamar, meninggalkan Gisela yang berdiri di sana, sedikit bingung.
Milea, yang menyadari niat Gio yang akan membangunkannya, ia langsung bangkit dari tempat tidur, seolah menghindari kontak fisik dengan Gio.
Ia melompat turun, gerakannya gesit dan penuh kewaspadaan. Ia tak mau bersentuhan dengan pria menyebalkan itu, bahkan sedetikpun.
Di ruang makan, aroma kari dan nasi hangat memenuhi udara. Namun, Milea tak terlalu memperhatikannya. Matanya terpaku pada Gisela yang duduk di seberang, penampilannya malam ini terasa berbeda.
Gaun sutra berwarna merah marun itu seakan sengaja dipilih untuk menonjolkan lekuk tubuhnya. Rambutnya ditata dengan rapi, dan riasannya—Milea yakin—jauh lebih tebal dari tadi pagi.
“Sepertinya, dia sedang ingin menggoda Gio,” gumam Milea dalam hati. Seutas senyum tipis mengembang di bibirnya, campuran rasa iri dan—entah mengapa—sedikit lega. “Baguslah, jika Gio tertarik. Setidaknya, dia akan melepaskan aku dan tak menjadikan aku budak lagi.”
Gisela makan dengan anggun, setiap suapan dilakukan dengan penuh kelembutan. Namun, Milea menangkap kilatan-kilatan pandang yang ditujukan pada Gio.
Pandangan penuh harap, penuh rayuan. Berbeda sekali dengan Gio yang tampak acuh. Ia fokus pada piring di hadapannya, memakan makanannya dengan tenang, tanpa menengok ke kanan atau ke kiri.
Tatapannya datar, tak terpengaruh sedikit pun oleh pesona Gisela. Milea mengernyit. Apakah Gio benar-benar tak menyadari usaha Gisela? Atau… ia memang sengaja mengabaikannya?
Milea mendorong piring makannya menjauh. Makanan itu terasa hambar, pahit bahkan, di lidahnya.
Pandangannya terpaku pada Gisela yang dengan sengaja menebar pesona pada Gio. Rambutnya terurai, senyumnya yang sedikit dibuat-buat... Mual. Itulah yang Milea rasakan.
“Aku sudah selesai,” gumamnya, suaranya datar, tanpa emosi. Ia bangkit, meninggalkan kursi makannya dengan langkah pasti.
“Tunggu,” sahut Gio, juga berdiri. Nada suaranya lembut, menunjukkan perhatian. Milea merasakan sesak di dadanya.
Gisela, melihat kesempatan itu, bergerak cepat. Dengan langkah tergesa-gesa, ia mendekati Gio, lalu—dengan akting yang terlalu sempurna—terhuyung dan jatuh tepat ke dalam pelukan Gio.
“Ahhh! Sakit sekali!” Pekiknya, suaranya penuh kepura-puraan. Milea bisa merasakannya.
Gio, sigap menangkapnya. Adegan itu tertangkap sempurna oleh mata Milea.
Ia hanya menatap sejenak, kemudian berbalik, meninggalkan ruang makan tanpa sepatah kata pun. Langkahnya tegas, menunjukkan kekecewaan yang terpendam.
“Maaf, Gio,” Gisela merengek, memeluk lengan Gio erat-erat. “Sepertinya aku terkilir.”
“Aku akan membantumu,” jawab Gio, suaranya datar. Ia memapah Gisela dengan hati-hati.
“Sebaiknya kau tinggalkan aku di ruang tengah,” Gisela berbisik, suaranya terdengar lirih. “Aku tidak mau Milea salah paham dan marah padamu.”
“Tenang saja,” Gio menenangkannya, suaranya penuh keyakinan. “Dia tidak akan berpikir macam-macam.”
Namun, di balik kata-kata itu, Gisela merasakan sedikit rasa cemburu. Cemburu karena Gio begitu mengenal Milea, begitu memahami wanita itu. Sebuah kedekatan yang tak pernah ia miliki. Dan itu menusuk hatinya lebih dalam dari sekedar terkilir.
Gio membantu Gisela masuk ke kamarnya. Saat hendak berlalu, sebuah jeritan kecil memecah kesunyian.
“Ahhh… sakit!” Gisela meringis, mengoperasikan tube salep di dekat mata kakinya sendiri. Gerakannya dibuat-buat, terlalu dramatis.
Gio berbalik. “Sini, biar ku bantu,” katanya, langkahnya kembali mendekat. Ia mengambil alih tube salep dan mulai mengoleskan dengan lembut.
Di balik pintu, Aulia berdiri terpaku. Ia menyaksikan adegan itu dari balik celah pintu yang sedikit terbuka, genggamannya mengepal erat tube salep di tangannya.
Rasa sesak memenuhi dadanya. Ia memutuskan untuk mundur, tak ingin menjadi pengganggu kemesraan—atau sandiwara—yang tengah terjadi.
Langkah kaki Aulia yang menjauh tak luput dari perhatian Gio. Ia menoleh, firasatnya mengatakan ada seseorang di sana. Sebuah perasaan tak enak mulai menggelitiknya.
“Sudah… aku harus kembali,” gumam Gio, tergesa-gesa meninggalkan kamar Gisela. Ia merasa ada yang tak beres.
Benar saja, di tangga, ia melihat Milea. Wajahnya datar, tanpa ekspresi.
“Milea? Apa barusan kau baru saja ke kamar Gisela?” tanya Gio, suaranya sedikit tegang.
“Hmm… tadinya aku membawakan salep,” jawab Milea, suaranya datar, tanpa sedikit pun menunjukkan emosi. “Tapi sepertinya kedatanganku malah mengganggu kalian. Maaf.”
Kecemasan Gio berubah menjadi jengkel. Wajah datar Milea, ketenangannya yang berlebihan, membuatnya frustrasi.
Tidak ada sedikit pun kecemburuan, tidak ada sedikit pun amarah. Dan itu artinya… Milea tidak memiliki perasaan padanya. Pikiran itu menusuk hatinya lebih dalam dari apapun.
“Apa kau senang ada wanita lain di sini selain kau?” Gio melontarkan pertanyaan itu, suaranya sengaja dipenuhi provokasi. Ia ingin melihat api cemburu menyala di mata Milea.
“Ya, senang,” jawab Milea, enteng. Suaranya datar, tanpa sedikit pun menunjukkan emosi. “Setidaknya kau akan melampiaskan hasratmu pada wanita itu, bukan aku.”
Alih-alih memicu amarah Milea, jawaban itu justru membuat Gio tersulut emosi. Ia tak menyangka Milea akan sesantai itu.
“Milea! Apa aku pria seperti itu di matamu?” Gio membentak, suaranya bergetar karena marah.
“Lalu? Seperti apa kamu? Penculik? Pemerkosa? Disebut apa pria seperti dirimu, Gio?” Milea membalas dengan nada yang sama tajamnya. Kata-katanya menusuk, menciptakan luka yang lebih dalam dari sekedar amarah.
Tanpa berpikir panjang, Gio menarik kasar Milea ke dalam kamar. Pintu dibanting keras, suara dentumannya menggema di ruangan itu.
“Milea! Kau tahu jika aku marah, aku akan melakukan apa?” Suara Gio berat, mengancam.
“Kau marah… atau birahi?” Milea membalas dengan tatapan menantang. Ia tak gentar sedikit pun.
“Berani sekali kau!” Gio membentak lagi, suaranya menggelegar. Milea tersentak, tapi tetap teguh berdiri.
Dengan gerakan kasar, Gio menyeret Milea ke kamar mandi. Ia menyalakan shower dengan air dingin yang mengguyur, kemudian mengurung Milea di dalam.
Pintu dibanting keras, meninggalkan Milea sendirian di dalam ruangan yang mulai dipenuhi uap air dingin.
Gio keluar, meninggalkan Milea di sana. Tidak ada perlawanan, tidak ada jeritan. Milea hanya diam, menerima hukuman itu dengan tenang—atau mungkin pasrah.
Gengsi Gio yang tinggi membuatnya enggan membuka pintu kamar mandi segera. Ia ingin Milea merasakan kedinginan, merasakan konsekuensi dari perkataannya. Ia ingin wanita itu mengerti, bahwa ia tidak akan membiarkan perlakuan seperti itu berlalu begitu saja.
Semangat terus kak 💪
di tunggu back nya 🥰