Sebuah kota dilanda teror pembunuh berantai yang misterius.
Dante Connor, seorang pria tampan dan cerdas, menyembunyikan rahasia gelap: dia adalah salah satu dari pembunuh berantai itu.
Tapi, Dante hanya membunuh para pendosa yang lolos dari hukum.
Sementara itu, adiknya, Nadia Connor, seorang detektif cantik dan pintar, ditugaskan untuk menyelidiki kasus pembunuh berantai ini.
Nadia semakin dekat dengan kebenaran.
Ketika Nadia menemukan petunjuk yang mengarah ke Dante, dia harus memilih: menangkap Dante atau membiarkannya terus membunuh para pendosa...
Tapi, ada satu hal yang tidak diketahui Nadia: pembunuh berantai sebenarnya sedang berusaha menculiknya untuk dijadikan salah satu korbannya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dev_riel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dante Frustasi karena Daniel!
Daniel yang menyusup ke bayang-bayang pribadiku.
Namun, sepertinya sudah cukup buruk jika aku mematung di sana sambil mengenakan jaket, sementara pikiran mengenai Reiker maupun sepatu merahnya menggelincir pergi dariku.
Aku tidak mendapat inspirasi untuk memikirkan hal yang lebih buruk. Aku cukup masuk ke dalam mobil, menyalakan mesinnya dan berkendara menembus hujan, kembali ke apartemenku.
Biasanya, perilaku pembunuh dari pengendara lain akan menenangkan diriku, membuatku merasa seolah berada di rumah. Akan tetapi mobil maroon yang mengikutiku dari belakang dalam jarak sangat dekat telah merenggut kesenangan itu.
Aku cukup mengenal Sersan Daniel untuk tau bahwa ini bukanlah sekedar iseng-iseng berkendara di tengah hujan. Bila memang mengawasiku, dia akan terus mengawasi hingga berhasil menangkap basah diriku yang sedang berbuat nakal, atau hingga dia tidak lagi mampu mengawasi.
Aku tau bahwa cepat atau lambat Sersan Daniel akan melakukan sesuatu atau hal-hal lain untuk memperkecil kemungkinan aku melakukan hobiku. Ide terbaik yang muncul di benakku hanyalah melihat dan menunggu.
Aku yakin, tetapi tidak punya bukti bahwa Daniel lebih dari seorang polisi pemarah dan pencuriga.
Lagi pula, memutilasi polisi sudah pasti akan membuat murka penduduk satu kota. Setelah kematian Detektif Sofia yang berlangsung begitu cepat, birokrasi Kepolisian hampir dipastikan akan menjadi lebih sedikit sensitif apabila ada polisi kedua yang pergi dengan cara yang sama.
Tidak peduli seberapa pentingnya hal itu, Daniel ada di luar untukku. Aku bisa melihat keluar jendela, ke arah mobil maroon yang di parkir di bawah pohon.
Akan tetapi, tidak ada keberuntungan malam ini. Jadi di sinilah aku, di gubuk kecilku, mondar mandir di lantai dengan perasaan frustasi.
Setiap kali mengintip keluar jendela, ada mobil yang diparkir di seberang. Kenangan akan pikiran menggembirakan sekitar satu jam yang lalu kini mengetuk-ngetuk kepalaku.
Namun, ada satu hal konstruktif yang bisa kulakukan, sekalipun harus mendekam di apartemenku. Dari saku, aku mengambil secarik kertas yang sudah diremas-remas, yang kuambil dari kapal Ethan Hunter, lalu meluruskannya kembali.
'Reiker' dan sebuah nomor telepon. Dua hal itu lebih dari cukup untuk sekedar memenuhi salah satu direktori terbalik yang bisa aku akses dari komputerku. Dalam beberapa menit aku berhasil melakukannya.
Nomor itu adalah nomor ponsel yang di daftarkan sebagai milik Pak Steven Reiker yang tinggal di jalan Liontail di Crystal Residence. Melalui sedikit cek silang kuketahui bahwa Pak Steven Reiker adalah seorang fotografer profesional.
Bisa jadi itu cuma kebetulan. Aku yakin ada banyak orang bernama Reiker di dunia ini yang berprofesi sebagai fotografer.
Spesialis Reiker adalah memotret anak-anak.
Teori kebetulan mungkin harus disingkirkan.
Aku membuat rencana untuk berjalan-jalan ke Liontail untuk melihat-lihat sebentar. Kenyataannya, tempat itu tidak terlalu jauh. Aku bisa ke sana sekarang, dan...
Dan membiarkan Sersan Daniel menguntit. Hal itu akan mengurangi investigasi yang sangat membosankan ketika akhirnya Reiker menghilang kelak.
Pada saat ini, kapan Reiker akan menghilang? Menahan diri karena diawasi meskipun sudah mempunyai tujuan di depan mata sungguh membuat aku frustasi.
Namun, setelah beberapa jam Daniel masih memarkir mobilnya di seberang jalan dan aku masih saja di sini. Apa yang harus aku lakukan? Dari sisi positif, sudah jelas bahwa Daniel belum melihat cukup banyak untuk bisa mengambil tindakan lebih jauh selain menguntitku.
Namun dari sisi negatif, bila dia terus mengikutiku, aku akan dipaksa untuk tetap berperan sebagai tikus laboratorium forensik yang bertabiat halus, menghindari segalanya dengan lebih hati-hati daripada jam-jam sibuk yang mematikan.
Hal itu tidak boleh terjadi. Aku merasakan adanya tekanan. Sebelum terlalu banyak waktu berlalu, aku harus menemukan sejumlah bukti bahwa Reiker adalah fotografer yang memotret Ethan Hunter.
Bila memang dia orangnya, aku harus mengajaknya bicara langsung ke pokok persoalan. Seandainya sadar bahwa Ethan Hunter telah menghilang, kemungkinan besar dia akan kabur. Jika rekan-rekanku di Kepolisian menyadari hal itu, segalanya akan menjadi sangat tidak nyaman.
Akan tetapi, tampaknya Daniel merasa nyaman untuk diam berlama-lama, sementara pada saat itu tidak ada lagi yang bisa aku lakukan. Sungguh frustasi rasanya ketika membayangkan Reiker sedang berjalan-jalan Alih-alih membayangkan aku menggebuki tubuhnya yang dibalut lakban.
Instingku adalah untuk melakukan sesuatu yang akan menyingkirkan Daniel dari jalur. Aku hanya bisa memikirkan satu hal yang mungkin akan menjauhkan aroma Kecurigaan dari penciumannya yang sangat tajam itu.
Baiklah kalau begitu. Dengan rendah hati aku akan menjadi orang biasa. Karena manusia umumnya dikendalikan seks, aku akan memulainya dengan mengunjungi pacarku, Abigail.
"Pacar" adalah istilah yang aneh, khususnya bagi orang dewasa.
Sebagai bonus, aku menyukai anak-anaknya. Ava dan Lucas. Mungkin aneh, tetapi aku yakinkan bahwa hal ini benar. Kedua anak Abigail telah melalui masa kanak-kanak yang traumatis. Mungkin karena mengalami hal yang sama, aku merasa ada hal istimewa yang mendekatkanku kepada mereka.
Aku melihat ke arah jam di mejaku. Pukul 17.30. Lima belas menit lagi Abigail akan pulang kerja. Ketika aku sampai ke rumahnya, seharusnya dia sudah ada di sana.
Dengan senyum yang ceria, aku berjalan ke arah pintu, melambaikan tangan ke Daniel dan mengendarai mobil menuju rumah Abigail yang sederhana di Shadowfall City Selatan.
Kurang dari dua puluh menit, aku memarkir mobilku di depan rumah Abigail. Sersan Daniel melajukan mobilnya ke ujung jalan, dan ketika kuketuk pintu rumah, dia memarkir mobil di seberang.
Pintu terbuka dan Abigail melongokkan kepalanya.
"Oh! Dante."
"Aku datang sendirian. Aku sedang berjalan-jalan di sekitar sini dan berpikir apakah kamu sudah tiba di rumah atau belum." Kataku.
"Aku baru saja masuk. Pasti aku kelihatan berantakan... mmm... Masuklah. Kamu mau kopi?"
Kopi. Sungguh menakjubkan. Segalanya begitu normal, sungguh sempurna rasanya untuk mengunjungi pacar setelah pulang kerja, bahkan Daniel seharusnya merasa terkesan.
"Wah. Tentu aku mau." Kataku. Kuikuti dia masuk ke ruang tamu yang sejuk.
"Duduklah. Aku mandi dulu sebentar. Anak-anak sedang bermain di luar, tetapi aku yakin mereka akan mengerubungimu kalau tau kamu ada di sini. Aku akan kembali sebentar lagi." Katanya dan pergi menuju ke kamarnya.
Aku duduk di sofa dan melihat ke arah kopi yang ada di tanganku. Aku menyesap kopi itu. Aku merasa rileks di setiap tegukan... Dan tidak terasa gelasnya kosong. Aku masih haus. Aku berdiri dan berjalan ke dapur dengan mantap. Ada beberapa kaleng bir di kulkas dan kuambil satu lalu kembali ke sofa.
Aku bukan seorang peminum. Sungguh! Minum-minum bukanlah kebiasaan yang direkomendasikan bagi predator. Aku menyesap bir itu. Rasanya pahit. Aku meneguk bir itu lagi. Rasanya tidak terlalu parah bila sudah terbiasa.
Ah, aku merasa sedikit lebih baik. Peduli setan dengan si Daniel. Mungkin aku harus membawakan bir untuknya.
Kusesap bir itu. Abigail kembali dengan mengenakan celana pendek dari bahan denim dan tank top berwarna putih. Perlu kuakui, dia terlihat cantik.
"Oke, aku senang melihat kamu datang tiba-tiba seperti ini." Ujarnya sambil duduk di sebelahku.
"Sudah pasti, dong." Balasku.
"Apakah harimu di kantor berat?"
"Parah. Aku harus membiarkan seorang penjahat pergi. Dia sangat jahat." Kataku sambil menyesap bir.
"Oh, kenapa? Mmm... maksudku, kenapa tidak kamu..." Katanya sambil mengernyitkan kening.
"Aku ingin. Tapi tidak bisa. Politik." Kusesap bir itu sekali lagi.
Abigail menggelengkan kepala.
"Aku masih belum terbiasa dengan hal itu, maksudku, dari luar sepertinya semua aturan sudah mantap. Kamu menangkap penjahat lalu kamu penjarakan dia. Tetapi politik? Apa yang dilakukan orang itu?"
"Dia membantu membunuh anak-anak," jawabku.
"Oh Tuhanku, tentu ada sesuatu yang bisa kamu lakukan." Dia terlihat syok.
Aku tersenyum ke arahnya. Ampun, dia langsung paham. Sungguh perempuan hebat.
"Ada sesuatu yang bisa aku lakukan. Dan dengan sangat baik. Aku tau kamu akan mengerti." Kataku.
Dia terlihat bingung. "Dengan cara... apa yang akan kamu lakukan?"
Kenapa aku tidak memberi tau dia saja? Aku bisa lihat kalau dia sudah menangkap maksudku. Kenapa tidak? Kubuka mulutku, tetapi sebelum sempat membisikkan satu patah kata tentang hobiku yang tidak membahayakan, Lucas dan Ava berlarian masuk ke dalam ruangan, terpaku melihatku.
"Hai, Paman Dante." Sapa Ava. Dia menyikut adiknya.
"Hai," sapa Lucas pelan.
"Apakah Paman akan makan malam bersama kami?"
"Paman rasa harus pulang," jawabku, tetapi Abigail mencengkeram bahuku dengan keras.
"Kamu tidak mungkin menyetir dalam keadaan seperti ini." Katanya.
"Seperti apa?" Tanyaku.
"Oke lah, aku tebak berarti kamu akan makan malam bersama kami?" Potong Abigail.
Aku duduk di sofa setelah makan malam dan menyalakan TV.
Abigail duduk di sampingku. "Anak-anak sudah tidur. Bagaimana perasaanmu?"
"Aku merasa bahagia. Andai saja aku bisa tau apa yang lucu dari semua ini." Kataku.
Abigail meletakkan tangannya di bahuku. "Hal itu sangat mengganggu pikiran kamu, kan? Maksudku, dengan membiarkan penjahat itu pergi. Anak-anak..."
Dia beringsut ke dekatku dan mendekapku. Dia menyadarkan kepalanya di bahuku. "Kamu adalah pria yang baik, Dante."
"Tidak, kok." Sahutku.
Abigail menegakkan posisi duduknya lalu menatapku. "Tetapi kamu memang baik, kamu tau kamu orang baik. Aku pikir... sungguh menyenangkan kamu datang kemari. Untuk melihatku. Ketika kamu merasa galau." Dia tersenyum lalu menyandarkan kepalanya kembali ke bahuku.
Memang benar jika aku datang hanya karena ingin membuat Daniel bosan, setelah merasa sangat frustasi kehilangan Reiker.
Dia sangat hangat dan wanginya harum. Kurengkuh dia sesaat yang aku bisa lalu kutempelkan pipiku di puncak kepalanya.
Kami duduk seperti ini selama beberapa menit, kemudian Abigail bangkit lalu menarikku dengan tangannya.
"Ayo, kita ke tempat tidur." Ajaknya.
Dan itulah yang kami lakukan, ketika aku berbaring di bawah selimut dan dia merangkak masuk ke sampingku, dia bersikap sangat baik dan wanginya begitu harum dan terasa sangat hangat dan nyaman sehingga...
Wah. Luar biasa, ya?